Perubahan skema pengalokasian dan penyaluran dana desa bertujuan menggenjot serapan anggaran daerah pada awal tahun. Selain itu, mempercepat pembangunan desa tertinggal dan sangat tertinggal.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Keuangan mengubah skema pengalokasian dan penyaluran dana desa mulai tahun 2020. Perubahan skema tersebut dalam rangka menggenjot serapan anggaran daerah pada awal tahun. Selain itu, mempercepat pembangunan desa tertinggal dan sangat tertinggal.
Pada 2020, alokasi dana desa Rp 72 triliun untuk sekitar 74.950 desa di Indonesia. Alokasi dana desa terus meningkat dari Rp 20,8 triliun tahun 2015 menjadi Rp 69,8 triliun tahun 2019. Pada 2019, rata-rata setiap desa mendapatkan alokasi Rp 933,9 juta.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, kebijakan pengalokasian dana desa tahun 2020 dihitung dari alokasi dana dasar, alokasi afirmasi, alokasi kinerja, dan alokasi formula. Untuk pertama kali, formulasi dana desa memasukkan alokasi afirmasi bagi desa tertinggal dan sangat tertinggal dengan penduduk miskin tertinggi.
”Besaran alokasi afirmasi 1,5 persen dari total pagu dana desa. Karena itu, alokasi dana desa tahun 2020 meningkat Rp 2 triliun dibandingkan 2019,” kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komite IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD), di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (14/1/2020).
Dengan adanya alokasi afirmasi itu, pembangunan desa tertinggal dan sangat tertinggal diharapkan bisa lebih cepat. Sebab, desa-desa tersebut akan menerima lebih banyak dana desa dibandingkan dengan desa lainnya.
Selain alokasi afirmasi, Kemenkeu juga memberikan penghargaan bagi desa dengan kinerja terbaik sebesar 1,5 persen dari total pagu dana desa. Alokasi kinerja itu diberikan kepada 7.459 desa yang berkinerja paling baik. Tujuannya meningkatkan pendapatan asli desa dan mendorong status desa.
Secara keseluruhan, formula pengalokasian dana desa terdiri dari alokasi dasar 69 persen, alokasi formula 28 persen, alokasi afirmasi 1,5 persen, dan alokasi kinerja 1,5 persen. Setiap desa mendapatkan alokasi berbeda tergantung jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis.
Sri Mulyani mengatakan, penetapan rincian desa berdasarkan data-data dari kementerian/lembaga lain. Sebagai contoh, luas wilayah dan jumlah penduduk miskin dari Kementerian Dalam Negeri, luas wilayah dari Badan Pusat Statistik, indeks desa membangun dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
”Kemenkeu tidak memproduksi data. Kami menggunakan data dari instansi terkait untuk mengalokasikan dan menyalurkan dana desa,” kata Sri Mulyani.
Penyaluran dana desa dari pusat ke daerah tetap dilakukan bertahap melalui tiga termin, tetapi besaran berbeda. Pada 2020, penyaluran dana desa tahap I sebesar 40 persen pada Januari-Juni, tahap II sebesar 40 persen pada Maret-Agustus, dan tahap III sebesar 20 persen pada Juli-Desember.
Ini mengubah pola penyaluran tahun-tahun sebelumnya di mana termin I yang disalurkan setiap Januari hanya 20 persen, termin II 40 persen pada Maret, dan termin III 40 persen pada Juli.
Perubahan ini diharapkan dapat menggenjot serapan belanja di awal tahun. Selama ini serapan belanja beberapa daerah terkonsentrasi di akhir tahun sehingga pengaruh transfer dana dari pusat ke perekonomian kurang optimal.
”Serapan anggaran yang bermasalah tecermin dari anggaran transfer ke daerah dan dana desa yang mengendap di rekening pemda. Per November 2019, saldo mengendap sebesar Rp 186 triliun,” kata Sri Mulyani.
Untuk lebih memastikan dana desa terserap, pencairan dana desa di setiap termin hanya bisa dilakukan jika perangkat desa sudah melaporkan realisasi penyerapan anggaran termin sebelumnya.
Sementara itu, terkait dugaan adanya desa fiktif penerima alokasi dana desa di Konawe, Sulawesi Tenggara, Sri Mulyani mengatakan, Kemenkeu sudah memberhentikan penyaluran dana desa tahap III tahun 2019 ke 56 desa di Konawe. Penyaluran dana desa dihentikan karena berdasarkan hasil penelitian tim gabungan Kemendagri sebanyak 56 desa yang tercantum dalam Perda Nomor 7 Tahun 2011 secara yuridis cacat hukum.
”Penetapan Perda tersebut tidak melalui mekanisme dan tahapan di DPRD. Sebanyak 56 desa itu mendapatkan dana desa sejak 2017,” kata Sri Mulyani.
Pengelolaan dana desa dan alokasi dana desa ini sempat mendapat sorotan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam ikhtisar hasil pemeriksaan semester II-2018, BPK menemukan pembagian dan penyaluran dana desa oleh pemerintah kota/kabupaten yang tidak berdasarkan basis data terbaru.
Selain itu, pemerintah kota/kabupaten juga tidak melakukan perhitungan indeks kesulitan geografis sebagai salah satu variabel untuk menghitung pengalokasian dana desa. Akibatnya, alokasi anggaran sejumlah desa menjadi lebih besar atau lebih kecil dari yang seharusnya diterima. Hal itu karena pemerintah tidak melakukan pemutakhiran data.
Anggota Komite IV DPD, Sanusi Rahaningmas, berpendapat, pengawasan dan penyaluran dana desa harus diperketat. Penyaluran dana desa kerap kali tertahan karena digunakan oleh bupati. Ini seperti terjadi di Papua Barat. Dana desa baru disalurkan setelah ada desakan dari perangkat desa.
Wakil Ketua Komite IV DPD Novita Anakotta mendorong pemerintah untuk meningkatkan pemahaman kepala desa tentang pengelolaan dana desa. ”Melalui kegiatan sosialisasi di daerah sesuai program yang ada,” ujarnya.