Dikotomi pekerja sektor formal dan informal masih jadi perdebatan, termasuk urusan penempatan di luar negeri. Pemerintah diminta fokus memacu keterampilan calon pekerja migran.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mendorong pekerja migran menyasar sektor formal sejalan dengan peningkatan permintaan di tingkat global. Namun, ada perbedaan definisi formal dan informal yang dinilai berdampak pada implementasi kebijakan.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Tatang Budie Utama Razak menyatakan, dorongan lebih mengutamakan penempatan pekerja migran di sektor formal sudah berlaku sejak penghentian dan pelarangan penempatan TKI pada pengguna perseorangan di negara-negara Timur Tengah. Namun, permintaan terhadap pekerja sektor informal, terutama pekerja rumah tangga, masih tinggi (Kompas, 31/12/2019).
Ketua Pusat Studi dan Kajian Migrasi Migrant Care Anis Hidayah saat dihubungi di Jakarta, Selasa (7/1/2020), berpendapat, pandangan pemerintah bahwa pekerja rumah tangga sebagai pekerja informal adalah keliru. Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) bahkan telah mengeluarkan Konvensi ILO 189 pada 2011 tentang Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga, tetapi Pemerintah Indonesia hingga sekarang belum meratifikasi konvensi itu.
”Pemerintah Indonesia belum ’memformalkan’ pekerja rumah tangga karena belum meratifikasi konvensi ILO 189 dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga,” ujarnya.
Koordinator Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga Lita Anggraini menyampaikan hal senada. Hingga saat ini, Indonesia baru punya satu peraturan yang eksplisit menyoal pekerja rumah tangga, yaitu Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2015. Namun, regulasi ini dinilai belum kuat dan mengikat karena tidak memberikan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan pengguna jasa.
Kompetensi
Menurut data ILO, berdasarkan survei tahun 2015, jumlah pekerja rumah tangga di Indonesia mencapai 4,2 juta orang. Berdasarkan data BNP2TKI, jumlah pekerja migran Indonesia sektor formal per November 2019 mencapai 10.378 orang dan sektor informal sebanyak 11.182 orang.
Berdasarkan tingkat pendidikan, jumlah pekerja migran berlatar pendidikan SD mencapai 6.260 orang, SMP 8.299 orang, SMA 6.671 orang, diploma 208 orang, dan sarjana 117 orang.
Menurut Anis, sumber daya manusia belum semuanya memiliki kompetensi yang sesuai kebutuhan pasar kerja di luar negeri. Sejauh ini, baru dua bidang profesi sektor formal yang siap, yakni jasa dan perawat.
”Balai-balai latihan kerja luar negeri mendesak direvitalisasi. Begitu pula balai latihan kerja komunitas yang kini digencarkan pemerintah,” katanya.
Direktur Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri Kemenaker Eva Trisiana menyatakan, penempatan pekerja migran Indonesia untuk bidang rumah tangga diupayakan agar setidaknya sesuai tujuh jabatan yang telah ditetapkan, seperti pengasuh anak, juru masak, dan pengurus rumah. Pengelompokan itu diharapkan bisa meningkatkan perlindungan.
”Pemerintah memang memiliki misi hanya menempatkan pekerja migran yang berketerampilan. Misi ini bersifat jangka panjang,” ujarnya.
Eva menambahkan, swasta akan dilibatkan dalam penempatan pekerja migran, tidak melulu mengandalkan skema penempatan pemerintah ke pemerintah. Pemerintah Indonesia juga bekerja sama dengan pemerintah negara penempatan untuk penyesuaian kurikulum keterampilan di balai-balai latihan kerja.