Pengembang berharap pemerintah menyederhanakan dan mempermudah regulasi di sektor properti agar dapat tumbuh lebih baik.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kalangan pengembang berharap pemerintah menyederhanakan dan mempermudah regulasi di sektor properti. Dengan demikian, sektor properti dapat tumbuh lebih baik dan berdampak ke sektor lain.
Ketua Umum Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia (REI) Totok Lusida di Jakarta, Senin (1/6/2020), mengatakan, saat ini REI fokus untuk memberikan masukan ataupun mencermati regulasi-regulasi yang dinilai menghambat sektor properti. REI telah memberikan masukan mengenai undang-undang sapu jagat (omnibus law).
”Kami memikirkan terobosan-terobosan untuk mencari jalan keluar, baik untuk segmen menengah atas maupun menengah bawah dan bersubsidi. Tadi (Senin, 6/1), kami juga telah menyampaikan kepada Bapak Wakil Presiden (Ma’ruf Amin) agar omnibus law sesuai dengan kebutuhan sektor properti,” kata Totok.
Dalam jangka pendek, REI telah menyampaikan kepada Wakil Presiden mengenai skema pembiayaan untuk rumah subsidi yang diperkirakan sudah habis pada akhir Maret. Jika tidak diantisipasi, hal ini akan mengulang kejadian pada 2019, yakni anggaran pembiayaan pemerintah yang habis di pertengahan tahun.
Tahun ini, dana yang dialokasikan untuk skema fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan sebesar Rp 11 triliun untuk 102.500 rumah subsidi. Itu sudah termasuk pengembalian pokok Rp 2 triliun. Namun, dari dana tersebut sudah ditarik untuk talangan pada 2019 sebesar Rp 1,2 triliun.
Menurut Totok, pihaknya telah mengusulkan formula pembiayaan baru agar dana pemerintah yang terbatas itu dapat digunakan membiayai lebih banyak rumah. Caranya adalah dengan mengurangi tenor pemberian bunga kredit tetap 5 persen dari 20 tahun menjadi 10 tahun atau membuat jangka waktu fleksibel sesuai kapasitas keuangan debitor.
”Kami telah mengusulkan formulasi, tetapi belum ada tanggapan dari pemerintah,” ujar Totok.
Hal lain yang menjadi perhatian REI adalah Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 11/PRT/M/2019 tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah. Aturan tersebut dinilai berat sebelah dan merugikan pengembang.
Oleh karena itu, REI mengusulkan agar regulasi tersebut ditunda pemberlakuannya. Penundaan dilakukan sampai dibuat petunjuk teknis yang saat ini masih dibahas antara pemerintah dan REI tentang regulasi tersebut.
Wakil Ketua Umum Bidang Tata Ruang dan Pengembangan Kawasan REI Hari Ganie menambahkan, penerapan konsep hunian berimbang sulit diterapkan jika harga tanah tidak dapat dikendalikan pemerintah. Oleh karena itu, aturan mengenai hal itu mesti direvisi agar dapat diterapkan di lapangan.
Totok mengatakan, dalam kondisi ekonomi saat ini, hanya melalui deregulasi dan pemberian insentif, maka sektor properti akan lebih baik. Jika kebijakan pemerintah tersebut benar-benar dilaksanakan, bukan tidak mungkin pertumbuhan sektor properti tahun ini akan mencapai dua angka.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Daniel Djumali berharap deregulasi benar-benar dilakukan. Sebab, pengembang perumahan tak ubahnya investor yang menanamkan modalnya. Di sisi lain, sektor properti memiliki dampak berganda terhadap perekonomian karena menyangkut banyak industri lainnya.
Perumahan syariah
Hal lain yang menjadi pesan Wakil Presiden, kata Totok, adalah pengembangan perumahan berbasis syariah. Untuk itu, REI akan membina para pengembang yang bergerak di bidang perumahan syariah.
Menurut Totok, sistem dan kriteria syariah bagus untuk diterapkan dalam penyediaan perumahan. Namun, masalahnya terjadi penyelewengan ketika menerapkan. Akibatnya, terjadi penipuan sebagaimana terjadi selama ini.
Terakhir, 3.680 orang menjadi korban penipuan dengan modus perumahan syariah Amanah City Islamic Superblock di Maja, Banten. Namun, ternyata proyek itu fiktif. Total kerugian Rp 40 miliar. (Kompas, 17/12/2019)
Menurut Wakil Sekretaris Jenderal REI Bidang Properti Syariah Royzani Sjachril, kasus penipuan terkait proyek perumahan syariah memang memberi kesan buruk. Untuk menghindarinya, pembeli mesti cermat dan mengetahui apa yang menjadi hak-haknya, antara lain meminta penjelasan mengenai semua aspek legal proyek.
”Konsumen mesti hati-hati dan harus bertanya mengenai legalitas proyek, lalu legalitas tanah, sampai pengerjaan di lapangan. Kalau bisa rumah contohnya juga sudah ada. Jangan mudah percaya janji-janji seperti bonus berupa kebun kurma,” kata Royzani.