Pemerintah mendorong penempatan pekerja migran di sektor formal. Namun, program pelatihan kerja yang terintegrasi sampai ke tingkat daerah menjadi tantangan.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Permintaan pekerja migran sektor formal terus meningkat di tingkat global terutama di negara-negara dengan struktur penduduk yang makin tua. Pemerintah mendorong para pekerja migran menyasar sektor itu.
Pelaksana Tugas Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Tatang Budie Utama Razak di Jakarta, Senin (30/12/2019), mencontohkan Pemerintah Jepang yang pada 1 April 2019 mengeluarkan kebijakan baru terkait dengan regulasi keimigrasian berupa status residensi bagi pekerja asing berketerampilan spesifik.
Lewat kebijakan itu, Pemerintah Jepang membuka peluang kerja 14 sektor industri bagi tenaga kerja asing dengan total kuota 345.150 orang. Indonesia menjadi salah satu sasaran.
Selain Jepang, pekerja sektor formal juga dibutuhkan antara lain oleh industri manufaktur di Korea Selatan dan industri kesehatan di Jerman. ”Pada masa depan, tak ada satu pun negara bisa independen. Mereka perlu pekerja asing,” ujarnya.
Berdasarkan data BNP2TKI, jumlah pekerja migran Indonesia di sektor informal mencapai sekitar 1,7 juta orang. Sementara menurut Bank Dunia, total pekerja migran Indonesia yang tersebar di sejumlah negara saat ini diperkirakan 9 juta orang.
Menurut Tatang, dorongan lebih mengutamakan pekerja sektor formal sebenarnya sudah berlaku sejak moratorium pengiriman pekerja migran ke pengguna perseorangan atau informal di Timur Tengah tahun 2015. Namun, hingga sekarang permintaan terhadap pekerja kategori itu masih tinggi. Apalagi, profil angkatan kerja Indonesia masih didominasi lulusan sekolah menengah pertama ke bawah.
Permintaan pekerja migran sektor formal terus meningkat di tingkat global terutama di negara-negara dengan struktur penduduk yang makin tua. Pemerintah mendorong para pekerja migran menyasar sektor itu.
“Pemerintah tetap membolehkan pengiriman pekerja migran untuk bidang pekerja rumah tangga, tetapi mereka diarahkan punya standar keterampilan dan sertifikasi profesi. Misalnya, profesi juru masak. Ketika terampil dan bersertifikat profesi tertentu, mereka bisa bekerja di sektor formal, daya tawar mereka jadi naik,” kata dia.
Tantangan
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, pemerintah daerah memiliki tugas dan tanggung jawab menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan kerja oleh lembaga milik pemerintah atau milik swasta yang terakreditasi. Menurut Tatang, hal itu jadi tantangan utama. Sebab masih sedikit balai latihan kerja luar negeri di daerah yang memiliki kualitas bagus.
Tantangan lainnya adalah masih banyak Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia memiliki pola pikir lebih suka mengirim pekerja migran berketerampilan rendah dan ditempatkan ke sektor informal.
Berdasarkan data BNP2TKI per November 2019, ada 10 profesi pekerjaan teratas yang paling banyak diisi oleh pekerja migran Indonesia, yaitu pekerja rumah tangga, perawat orang tua, profesional, dan teknisi hidro. Lalu, pekerja perkebunan, operator, operator derek, nelayan, pekerja konstruksi, dan pekerja pertanian.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo, yang dihubungi terpisah, memandang, orientasi perlindungan hak-hak pekerja tetap harus diutamakan pemerintah. Orientasi ini merupakan semangat UU No 18/2017.
Akan tetapi, pemerintah sering mengabaikan perlindungan hak-hak pekerja. Sebagai contoh, kebijakan penghentian dan pelarangan pekerja migran terhadap pengguna perseorangan di Timur Tengah yang dicetuskan tahun 2015 dinilai minim pengawasan.
Akibatnya, perekrutan pekerja ke kawasan itu tetap marak. Selain itu, pada tahun 2019, pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan mengeluarkan wacana uji coba penempatan pekerja ke pengguna perorangan di Arab Saudi melalui skema penempatan satu kanal.
Berdasarkan data BNP2TKI, selama 2019, total pengaduan permasalahan pekerja migran Indonesia mencapai 5.108 kasus. Adapun 10 negara penempatan pekerja yang paling banyak mengadukan persoalan yaitu Malaysia, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Taiwan, Yordania, Hongkong, Singapura, Qatar, dan Peru. Pada tahun yang sama, jumlah pekerja migran bermasalah yang berhasil dipulangkan ke tanah air sebanyak 8.072 orang.
Menurut dia, menjalankan amanat UU No 18/2017 tidak melulu dengan cara menerbitan peraturan turunan. Pemerintah semestinya sudah menyiapkan strategi transformasi tata kelola migrasi pekerja yang sebelumnya terpusat menjadi desentralisasi.
Pemerintah daerah mulai dari provinsi hingga tingkat desa harus disiapkan. Misalnya, memaksimalkan kegiatan pelatihan bagi calon pekerja migran dan fungsi lembaga layanan publik untuk mendukung kantor layanan terpadu satu atap (LTSA). Namun, sampai sekarang, upaya memaksimalkan tersebut belum menunjukkan hasil signifikan.
Sementara itu, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengimbau agar pekerja Indonesia yang mau berangkat ke luar negeri harus mempersiapkan diri dengan kompetensi yang memadai. Selain itu, pekerja harus mengantongi jaminan sosial dan mematuhi prosedur legal.
“Calon pekerja migran juga harus mempunyai kemampuan bahasa dan budaya negara tujuan. Jangan berangkat sebelum siap,” kata dia.