Sampai Oktober 2019, Pertamina Hulu Energi mengumpulkan laba bersih 370 juta dollar AS, jauh lebih rendah dari target sebesar 488 juta dollar AS.
Oleh
ARIS PRASETYO
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Turunnya harga minyak sepanjang tahun ini menggerus perolehan laba bersih PT Pertamina Hulu Energi atau PHE yang merupakan anak usaha PT Pertamina (Persero). Sampai Oktober 2019, PHE mengumpulkan laba bersih 370 juta dollar AS atau jauh lebih rendah dari target sebesar 488 juta dollar AS. Sampai November 2019, harga minyak Indonesia sebesar 61,9 dollar AS per barel.
Menurut Direktur Utama PHE Meidawati, perusahaan tidak mampu berbuat banyak terhadap dinamika harga minyak. Di satu sisi, perusahaan sudah melakukan banyak hal untuk mengoptimalkan produksi ataupun efisiensi. Proyeksi harga minyak 70 dollar AS per barel oleh perusahaan tidak tercapai.
”Kami sudah melakukan semuanya dengan optimal. Untuk faktor eksternal, seperti harga minyak, kami sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa,” kata Meidawati, Jumat (13/12/2019), di Jakarta.
Dari sisi produksi, sampai Oktober 2019, PHE mencatatkan produksi minyak mentah 77.364 barel per hari. Adapun produksi gas bumi sampai periode yang sama adalah 802 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD). PHE Offshore North West Java (ONWJ) adalah anak usaha PHE dengan kontribusi produksi minyak terbesar, yaitu 33 persen dari total produksi PHE.
Direktur Operasi dan Produksi PHE Taufik Aditiyawarman menambahkan, sampai Oktober 2019, PHE baru berhasil merealisasikan dua sumur pengeboran eksplorasi. Realisasi itu masih di bawah target sebanyak tiga sumur pengeboran eksplorasi. Mulanya, PHE menargetkan 13 sumur pengeboran eksplorasi, tetapi kemudian direvisi menjadi lima sumur.
”Kendalanya terletak pada ketersediaan rig yang kurang memadai sehingga kinerja pengeboran tidak maksimal,” ujar Taufik.
Berdasar pengumuman Tim Harga Minyak Indonesia pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), harga minyak Indonesia (ICP) untuk November 2019 adalah 63,26 dollar AS per barel. Harga tersebut lebih tinggi dari ICP Oktober 2019 yang sebesar 59,82 dollar AS per barrel. Salah satu pemicu naiknya harga ICP adalah adanya ekspektasi pasar terhadap pemangkasan produksi minyak di antara negara anggota pengekspor minyak (OPEC).
”Untuk kawasan Asia Pasifik, kenaikan harga minyak mentah juga dipengaruhi oleh tingkat pengolahan kilang yang terus menguat dengan mulai beroperasinya sejumlah kilang di China,” kata Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama pada Kementerian ESDM Agung Pribadi.