NUSA DUA, KOMPAS - Platform e-dagang global menjadi jalur menembus pasar ekspor, terutama bagi pelaku usaha kecil dan menengah yang ingin mencari akses pasar di luar negeri. Tetapi manfaat platform kepada ekonomi yang inklusif bergantung pada kualitas sumber daya manusia.
Pendiri Alibaba, Jack Ma, mengatakan jalur tersebut tetap menuntut kesiapan pelaku usaha. Kesiapan itu menyangkut kemampuan meningkatkan produksi dan skala bisnis yang bergantung pada kemampuan dan jumlah sumber daya manusia (SDM).
“Model binis e-dagang bisa diadaptasi ke negara manapun karena modal utamanya bukanlah kualitas infrastruktur (internet), melainkan sumber daya manusia,” ujarnya dalam diskusi bertajuk ‘Disrupting Development: How Platforms and Innovation are Changing the Future of Developing Nations\' di Nusa Dua, Bali, Jumat (12/10/2018).
Diskusi yang merupakan rangkaian dari Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia 2018 tersebut dipandu oleh Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim.
Jack Ma menilai potensi pengembangan platform e-dagang di Afrika tinggi meski infrastruktur, khususnya jaringan internet, belum sebaik regional lain. Selain memiliki jumlah pengguna telepon pintar yang tinggi, kualitas produk UKM di Afrika baik.
Pihaknya pun menginisiasi program pengembangan 1.000 pengusaha di bidang digital di Afrika hingga 2023. Program yang disebutnya The Netpreneur Prize itu bernilai 10 juta dollar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp 150 miliar.
Jack Ma mengundang 1.000 wirausahawan di sejumlah negara di Afrika datang ke pusat Alibaba Grup di Hangzhou, China. Di sana mereka dilatih membangun sistem pemasaran, melihat langsung rantai pasar, seperti membantu petani memasarkan produknya dari nol.
Menurut dia, kondisi sejumlah negara di Afrika saat ini seperti Nigeria, Pantai Gading, dan Senegal mirip dengan kondisi China 25 tahun lalu. Meski cukup tertinggal dalam hal infrastruktur masyarakat China saat itu memiliki semangat yang tinggi.
“Tahun lalu saya berkunjung ke Afrika. Saya terkejut, karena mereka muda, energik, dan tidak kenal takut padahal belakangan ini dunia sedang diliputi ketidakpastian sehingga dipenuhi dengan ketakutan dan kekhawatiran,” ujarnya.
Keamanan siber
Dalam kesempatan berbeda, Bank Indonesia (BI) dan seluruh bank sentral dari sejumlah negara di Asia Tenggara sepakat untuk memperkuat kerja sama guna memanfaatkan potensi keuangan digital bagi pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
Kesepakatan ini muncul dalam Dialog Kebijakan Tingkat Tinggi Mengenai Kerja Sama Kawasan untuk Mendukung Inovasi, Inklusi, dan Stabilitas di Asia yang diprakarsai oleh BI, Bank Pembangunan Asia, dan Kantor Riset Ekonomi Makro ASEAN (AMRO)
“Teknologi adalah pemberdaya yang menghubungkan perekonomian dan sistem keuangan kita. Selain menyebarkan manfaat, teknologi juga meneyebarkan risiko yang melintasi batas negara,” kata Direktur Amro Junhong Chang.
Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia Mirza Adityaswara mengatakan seluruh bank sentral di Asia Tenggara sepakat untuk mendorong regulator di masing-masing negara menciptakan aturan untuk mengurangi risiko keuangan digital.
“Aturan tersebut harus mencegah kegiatan ilegal, meningkatkan keamanan siber, dan melindungi hak dan privasi konsumen, kepercayaan masyarakat terhadap keuangan digital bertambah,” ujar Mirza.