SEMARANG, KOMPAS - Saat petani di sejumlah sentra kopi di Jawa Tengah makin bergairah menanam kopi, harga komoditas ini di dunia justru turun. Salah satu penyebab adalah melimpahnya pasokan karena panen raya kopi juga berlangsung di sejumlah negara pesaing, seperti Vietnam, Brasil, dan Kolombia.
Wakil Ketua Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia Jawa Tengah Mulyono Susilo, Minggu (16/9/2018), di Semarang, mengatakan, harga kopi di pasaran dunia saat ini 1.500 dollar AS per ton, turun dari dua pekan lalu 1.800 dollar AS per ton.
”Padahal, sebentar lagi panen raya di Jateng. Ini cukup disayangkan karena pasar ekspor menjadi peluang baru petani, seperti Kanada, Italia, Jerman, dan Korea Selatan,” ujarnya.
Menurut Mulyono, kopi asal petani di Jawa Tengah masih prospektif karena sudah dikenal berkualitas. Beberapa sudah punya pasar, seperti kopi Temanggung, Gunung Kelir (Kabupaten Semarang), Kendal, Pati, dan Banjarnegara. Dia berharap pemerintah membantu membuka pasar baru bagi ekspor kopi. Hal ini sejalan dengan bertambahnya areal tanaman kopi. Komoditas ini mulai diandalkan meningkatkan kesejahteraan petani. Ekspor kopi tertinggi Jateng 4.500 ton per tahun.
Sejumlah petani di kebun kopi rakyat Gunung Kelir, Dusun Sirap, menyebutkan, kenaikan nilai dollar AS diharapkan menjadi momen positif bagi mitra petani kopi untuk mengoreksi harga kopi di tingkat petani. Mitra petani kopi adalah pedagang besar hingga eksportir kopi. ”Selama ini, kopi dari petani yang dikirim ke mitra berupa kopi kering siap giling, tetapi belum berperingkat (all grade). Dengan kopi all grade itu, harga di tingkat petani masih sekitar Rp 22.000 per kilogram (kg),” ujar Dulhadi (48), petani kopi di Jambu, Kabupaten Semarang.
Padahal, jika petani boleh melakukan pemeringkatan, kopi kualitas (grade) A mestinya laku Rp 35.000 per kg. Terlebih para petani mengetahui bahwa mitra tersebut menjual kopi kering ke eksportir sekitar Rp 44.000 per kg.
Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Kopi Gunung Kelir Ngadiyanto mengakui, sebagai kelompok usaha tani kopi yang dirintis sejak 2001, petani kopi rakyat di Desa Kelurahan, Gunung kelir, sudah mahir mengolah kopi pascapanen. Petani juga mampu melakukan pemeringkatan produk mulai dari kopi grade A, grade B, hingga grade C. Salah satunya ditunjang peralatan pengolah kopi yang dimiliki, termasuk alat-alat baru.
Koordinator Pengendali Organisme Pengganggu Tanaman Balai Perlindungan Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Provinsi Jateng Muji Slamet mengatakan, kemampuan petani kopi meningkatkan produksi panen semakin maju, seiring kemampuan menangani hama dan penyakit.
Hasilnya, terjadi peningkatan produksi. Satu pohon kopi siap petik bisa menghasilkan 20 kg-25 kg kopi basah. Jumlah ini naik dari panen dua tahun lalu 5 kg-10 kg kopi basah petik merah. Hal itu mendorong perluasan kebun kopi rakyat. Pada 2014, luas lahan kopi di Jateng 38.000 hektar (ha), kini menjadi 38.918 ha.
Untuk mendongkrak daya tawar petani kopi, Trikoyo, petani dari sentra kopi rakyat di Kandangan, Kabupaten Temanggung, mengatakan, sejumlah kelompok tani dari lima desa di Kecamatan Jumo dan Kandangan sepakat membentuk badan usaha milik desa. Lembaga ini dilengkapi gedung kantor, gudang, serta unit pengolahan kopi.
Di Temanggung, saat panen kopi, seorang pedagang pengepul bisa membeli hingga 650 ton. Di kabupaten itu ada tujuh pedagang pengepul, dua orang di antaranya mengekspor kopi melalui perantara di Jakarta. (WHO)