JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah ekonom menilai banyak masalah dari sisi domestik yang harus segera ditangani untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4 persen pada 2018. Pertumbuhan ekonomi sebanyak 5,06 persen pada kuartal I-2018 dinilai masih tidak sesuai harapan.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati dalam seminar Kajian Tengah Tahun (KTT) Indef 2018 bertema ”Ekonomi Pasca Pilkada” di Jakarta, Selasa (31/7/2018), mengatakan, pertumbuhan ekonomi stagnan di kisaran 5 persen selama beberapa tahun terakhir akibat daya beli masyarakat menurun.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pertumbuhan konsumsi rumah tangga cenderung stabil di angka 4,9 persen selama tahun 2017 hingga kuartal I-2018.
Banyak hal yang memengaruhi hal tersebut, seperti tingkat pengangguran yang masih tinggi. BPS mencatat, tingkat pengangguran terbuka nasional sebesar 5,13 persen pada 2017. Adapun jumlah pekerja didominasi bekerja di sektor informal (58,22 persen) ketimbang formal (41,78 persen).
”Pengangguran hanya pindah ke sektor informal,” kata Enny. Bekerja di sektor informal membuat pekerja rentan terhadap gejolak harga-harga barang (inflasi) karena tidak menerima kenaikan upah seperti pekerja formal.
Pengajar ekonomi dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, menyampaikan, hal itu diperburuk dengan bertambahnya ketimpangan di perdesaan kendati jumlah penduduk miskin kini menurun. ”Sebanyak 61 persen penduduk miskin berada di perdesaan,” katanya.
Menurut dia, hal itu terjadi sebab beberapa pembangunan proyek infrastruktur masih berada di kota besar. Misalnya kereta api Bandara Soekarno-Hatta, mass rapid transit Jakarta, dan light rail transit Jabodebek.