JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah mulai mengandalkan komponen investasi sebagai sumber pertumbuhan ekonomi. Investasi asing secara langsung atau penanaman modal asing diyakini akan banyak berkontribusi untuk menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Thomas Trikasih Lembong, menyatakan, upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi tidak lagi bergantung pada ekspor berbasis komoditas. Namun, harus mengarah pada pengembangan sektor perindustrian, pariwisata, dan jasa.
“Sebesar 40 persen dari total investasi di BKPM berasal dari sektor perindustrian, lalu disusul sektor pariwisata sebagai penyumbang terbesar kedua. Dapat dikatakan penyelamat ekonomi Indonesia adalah investasi,” kata Lembong di Jakarta, Selasa (24/7/2018).
Pertumbuhan investasi pada triwulan I-2018 sebesar 7,9 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Angka ini di atas pertumbuhan ekonomi Indonesia pada periode yang sama, yakni 5,06 persen.
Sejauh ini, lanjut Lembong, pemerintah terus berupaya menciptakan iklim investasi yang mampu meningkatkan kepercayaan investor.
Menurut dia, ada dua sektor yang dapat membuat investor asing menanamkan modalnya ke dalam negeri dalam lima tahun terakhir, yakni fasilitas pengolahan hasil tambang atau smelter, dan perdagangan elektronik atau e-dagang.
Industri pengolahan dan smelter dianggap menjadi primadona yang menarik investor asing untuk menempatkan modal dalam jumlah yang sangat besar di Indonesia. Sementara, sektor e-dagang di dalam negeri tumbuh secara signifikan dalam empat tahun terakhir.
Dengan nilai investasi yang besar, industri smelter bisa menjadikan Indonesia masuk dalam jajaran tiga teratas produsen dan eksportir baja di dunia. Adapun sektor e-dagang diyakini dapat menjadi mesin penggerak ekonomi Indonesia karena pertumbuhannya mencapai 20-25 persen per tahun.
“Dalam beberapa tahun ke depan, investasi bernilai puluhan miliar dollar akan masuk ke sektor smelter. Sementara arus modal masuk ke sektor e-dagang rata-rata mencapai 2-3 milliar dollar AS,” ujar Lembong.
Pasar modal
Selain dana investasi langsung, investasi dana asing di pasar modal juga perlu dijaga untuk mengamankan kapitalisasi pasar di Bursa Efek Indonesia. Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, A Tony Prasetiantono menilai, saat ini pasar modal masih bergantung pada investor asing mengingat penetrasi investor domestik belum terlalu tinggi.
Tony optimistis Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bisa menguat. Peluang penguatan IHSG dipengaruhi tren penurunan harga saham di Pasar Modal Amerika Serikat (AS), yang menarik investor untuk masuk ke pasar modal negara berkembang, termasuk Indonesia.
Indeks Dow Jones Industrial Average, lanjut Tony, sempat menyentuh level 26.600 pada Februari lalu. Namun pada penutupan perdagangan 23 Juli 2018, Indeks Dow Jones ditutup pada level 25.044,29.
“Artinya pasar modal sekuat apapun akan menghadapi titik jenuh, dan IHSG dapat memanfaatkannya,” ujarnya.
Menurut Tony, tantangan untuk mengembalikan IHSG pada level 6.000 tidak mudah. Pasalnya, selain dipengaruhi data-data ekonomi, IHSG juga dipengaruhi persepsi atau sentimen dari investor.
Pada perdagangan kemarin, IHSG ditutup menguat 16,05 poin atau 0,27 persen ke level 5.931,84. Sejak pembukaan perdagangan IHSG langsung menguat dan dan terus berada di zona hijau sepanjang hari.
Tercatat terdapat 366.757 kali transaksi dengan jumlah saham yang diperdagangkan sebanyak 10,41 miliar lembar saham senilai Rp 6,67 triliun. Sebanyak 203 saham naik, 155 saham menurun, dan 137 saham tidak bergerak atau stagnan. Investor asing mencatatkan aksi beli senilai Rp 288,35 miliar
Analis Senior CSA Research Institute Reza Priyambada mengatakan, pergerakan positif IHSG masih kembali terjadi dengan dukungan adanya aksi beli meski tidak sebesar sebelumnya. “Positifnya laju bursa saham Asia yang dibarengi dengan tercatatnya aksi beli bersih asing menopang laju IHSG di zona hijau,” ujarnya.