Dilema Akibat Sinyal BI
JAKARTA, KOMPAS--Sinyal Bank Indonesia yang siap menaikkan suku bunga acuan menimbulkan dilema bagi pasar saham. Kinerja emiten sektor perbankan yang menjadi pangsa asing berisiko memburuk.
Akan tetapi, kebijakan tersebut dapat menyelamatkan kinerja emiten sektor industri dan manufaktur.
“Suku bunga acuan yang mungkin akan dinaikkan lagi oleh Bank Indonesia dapat menyebabkan tingkat risiko menanam saham meningkat,” ujar Direktur Utama Bursa Efek Indonesia Tito Sulistio di Jakarta, Rabu (20/6/2018).
Ia berpendapat, kenaikan suku bunga acuan BI bersifat kontraproduksi dengan aktivitas pasar modal karena memengaruhi sentimen investor pada faktor risiko.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance, Bhima Yudhistira, menambahkan, sebagian besar emiten di pasar saham berasal dari sektor keuangan dan perbankan.
“Hal itu menimbulkan dilema. Jika suku bunga acuan dinaikkan, suku bunga kredit akan memberatkan debitor dan dapat menyebabkan kenaikan angka kredit macet atau NPL. Jika NPL meningkat, nilai saham emiten akan terkoreksi,” katanya.
Bagi emiten di sektor aneka industri, tambah Bhima, kenaikan suku bunga acuan akan menambah biaya pinjaman. Namun, jika nilai rupiah tidak dikendalikan, emiten akan terbebani biaya impor bahan baku.
Menurut Bhima, untuk menjaga gairah emiten pasar modal dan mengendalikan nilai tukar rupiah, pemerintah dapat memotong pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 7 persen sehingga bisa mendorong konsumsi rumah tangga. Setelah kestabilan tercapai, angkanya dikembalikan ke 10 persen. “Risikonya, defisit anggaran membesar. Akan tetapi, langkah ini cukup tepat diambil sebagai solusi jangka pendek,” katanya.
Di sisi lain, Dosen Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia Lana Soelistianingsih berpendapat, langkah menaikkan suku bunga acuan perlu diambil BI untuk mengendalikan nilai tukar rupiah. Rupiah yang stabil turut menunjang stabilitas kinerja perusahaan yang berujung pada sentimen positif bagi emiten.
Sementara, Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwee menilai, sinyal kenaikan suku bunga acuan oleh BI akan direspons positif oleh pasar. Menurutnya, langkah itu akan dianggap sebagai upaya stabilisasi rupiah, bukan pengetatan ekonomi.
Hans berpendapat, saat ini investor bergerak ke negara-negara yang nilai tukarnya lebih aman. Selain karena kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, pergerakan itu juga dipicu perang dagang AS-China.
Dalam siaran persnya, Selasa, Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan, BI siap menempuh kebijakan lanjutan berupa kenaikan suku bunga. Kebijakan itu akan disertai kebijakan relaksasi rasio pinjaman terhadap aset di sektor properti.
Zona merah
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada hari pertama perdagangan setelah libur Lebaran, ditutup di zona merah. IHSG melemah 1,828 persen ke posisi 5.884,039.
Kemarin, dana asing yang keluar dari pasar saham RI mencapai Rp 2,043 triliun. Menurut Lana, investor dalam negeri menopang bursa saham Indonesia kemarin.
Tito memaparkan, sebanyak 80 persen investor di Bursa Efek Indonesia merupakan investor domestik. Sejauh ini, Tito optimistis terhadap investor domestik.
Adapun Bhima menilai tingkat kepercayaan diri penanam modal dalam negeri meningkat. “Mereka (investor dalam negeri) melihat kinerja emiten dan tidak dipengaruhi sentimen global,” ujarnya.
Akan tetapi, dana asing yang keluar hingga Rp 2 triliun tersebut perlu diwaspadai. Bhima mengatakan, angka itu dapat menekan IHSG dan menekan rupiah.
Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede menyatakan, tekanan di pasar modal terutama disebabkan sentimen negatif dari luar negeri, yakni kenaikan suku bunga acuan di AS dan perang dagang AS-China. Apalagi, The Fed dalam Rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) pada 13 Juni lalu lebih optimistis dari FOMC pada Maret.
Optimisme itu mengindikasikan kenaikan suku bunga acuan di AS pada periode berikutnya akan lebih pasti. Dampaknya, tingkat suku bunga berbagai instrumen keuangan di AS juga akan terus naik.
”Yang ditunggu pasar adalah langkah kebijakan BI dalam menstabilisasi pasar obligasi dan valuta asing. Sekalipun nanti ada koreksi, koreksinya bisa tertahan. Sebab dari faktor fundamenl ekonomi domestik cukup baik,” kata Josua.
Faktor fundamen ini terkonfirmasi dalam penilaian lembaga pemeringkat Standard & Poor’s yang memberikan peringkat BBB- dengan proyeksi stabil kepada perekonomian Indonesia pada akhir Mei. Sementara inflasi juga diproyeksikan sesuai target, yakni 3,5 persen.
Perihal kenaikan suku bunga acuan yang diindikasikan BI, menurut Josua, biasanya akan menekan pasar modal. Sebab, kenaikan suku bunga acuan akan diikuti kenaikan tingkat bunga berbagai instrumen keuangan seperti deposito dan Surat Berharga Negara. Investor cenderung memindahkan modalnya ke instrumen keuangan di luar pasar modal yang biasanya lebih stabil ketimbang pasar modal.
Josua memperkirakan, tekanan di pasar modal sifatnya tidak akan permanen.