Pemerintah Didorong Segera Evaluasi Moratorium Ke Timur Tengah
Oleh
MEDIANA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kalangan pemerhati perlindungan dan hak buruh migran mendorong pemerintah untuk segera melakukan evaluasi moratorium pengiriman pekerja rumah tangga pada pengguna perseroangan di Timur Tengah. Kebijakan yang dikeluarkan sejak dua tahun lalu ini dipandang tidak menyelesaikan masalah pengiriman ilegal dan kekerasan terhadap buruh migran.
Hal itu mengemuka dalam diskusi Evaluasi Moratorium TKI: Langkah Awal Reformasi Tata Kelola Migrasi TKI, Selasa (14/2), di Jakarta. Hadir sebagai pembicara Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah, Direktur Migrant Institute Muhammad Adi Chandra, dan Peneliti Bidang Migrasi dan Kewirausahaan Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Rofi Uddarojat.
Muhammad Adi Chandra mengungkapkan, kebijakan moratorium pekerja rumah tangga (PRT) migran pada pengguna perseorangan di Timur Tengah harus dikaitkan dengan kebijakan zero PRT migran. Kebijakan zero PRT migran sudah digaungkan sejak era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Jadi, pemerintahan saat ini hanya meneruskan kebijakan pemerintahan sebelumnya.
"Persoalan kekerasan hak-hak PRT migran selalu berulang. Jumlahnya banyak. Dua kebijakan itu bisa saya katakan bahwa pemerintah cuci tangan," ujar Adi.
Mengutip data Badan Pusat Statistik Februari 2016, Adi menyebut 60 persen angkatan kerja Indonesia masih didominasi lulusan SMP ke bawah. Di sisi lain, permintaan PRT dari majikan perseroangan di Timur Tengah masih tinggi. Sejumlah pejabat Indonesia di Timur Tengah sebenarnya sudah mengetahui pengiriman ilegal, tetapi belum banyak bergerak.
Anis Hidayah berpendapat, evaluasi moratorium tidak boleh hanya sebatas pencabutan surat izin penyelenggaraan atau skorsing terhadap Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS).
Rofi Uddarojat mengatakan, pemerintah tidak bisa bisa menghentikan migrasi ke luar negeri tanpa menyediakan lapangan pekerjaan di dalam negeri. Pada tahun 2016, keluarga PRT migran menikmati kiriman uang Rp 97 triliun melalui bentuk remitansi.
"PRT migran perlu disebut sebagai pahlawan remitansi. Sejumlah keluarga ataupun purna TKI memanfaatkannya untuk berwirausaha dan membuka lapangan kerja di desa. Pemerintah sekarang mengabaikan hal esensial tersebut," kata Rofi.