Lulusan Perguruan Tinggi Belum Memuaskan, Praktisi Diundang Ikut Mengajar
Lulusan perguruan tinggi Indonesia dinilai belum siap kerja. Untuk itu, dukungan dunia kerja dalam pembelajaran dan penguatan kompetensi terus diperkuat, salah satunya lewat program Praktisi Mengajar.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kesiapan kerja lulusan perguruan tinggi Indonesia dinilai belum memuaskan dunia kerja. Untuk itu, perguruan tinggi harus cepat beradaptasi mengubah sistem pembelajaran konvensional yang sering terpaku di kampus dan teori di buku-buku teks dengan membuka jejaring dan kolaborasi bersama dunia kerja.
Dari survei Willis Towers Watson 2014-2016 disebutkan, 8 dari 10 perusahaan di Indonesia sulit mendapatkan lulusan siap kerja saat perekrutan. Permasalahan yang sudah lama terjadi ini diatasi dengan memperkuat keterlibatan praktisi dari dunia kerja, baik dalam perencanaan mata kuliah maupun sebagai praktisi mengajar.
Upaya ini diharapkan dapat mengakselerasi peningkatan kualitas pendidikan tinggi yang menghasilkan lulusan dengan keterampilan teknis (hardskills) dan keterampilan non-teknis (softskills) yang sesuai kebutuhan dan perkembangan dunia kerja.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Anwar Makarim di webinar peluncuran Merdeka Belajar Episode 20: Praktisi Mengajar, di Jakarta, Jumat (3/6/2022), mengatakan, masih ada tantangan yang cukup besar dalam sistem pendidikan tinggi, khususnya berkaitan dengan tingkat kesiapan lulusan perguruan tinggi untuk terjun di dunia kerja. Terobosan Merdeka Belajar Kampus Merdeka ditempuh untuk mengakselerasi kualitas pendidikan tinggi agar dalam 10-15 tahun ke depan Indonesia bisa menjadi contoh lompatan perubahan kualitas pendidikan yang cepat dan selaras.
Ada disparitas
Kesenjangan kualitas lulusan perguruan tinggi dengan kebutuhan dunia kerja diakui CEO Siloam Caroline Riady. ”Kami menemukan disparitas antara lulusan yang ada dan kebutuhan di lapangan sehingga kami harus melakukan banyak training dan retraining,” kata Caroline.
Sementara itu, Kepala Badan Pengelola Jalan Tol Danang Parikesit mengatakan, untuk kompetensi akademik lulusan perguruan tinggi sebenarnya sudah baik. Akan tetapi, untuk memenuhi kebutuhan industri, masih perlu sejumlah kompetensi yang mesti ditambahkan, yakni kompetensi profesional, kompetensi untuk beradaptasi dengan lingkungan kerja, dan bagaimana membangun interaksi profesional dan sosial di lingkungan pekerjaan.
Direktur Utama PT Kaltim Industrial Estate Minarni F Dwiningsih mengatakan, perusahaan membutuhkan tenaga kerja yang terampil, baik secara hardskills maupun softskills. ”Dalam realitasnya, pemenuhan kebutuhan tenaga kerja lulusan perguruan tinggi tidak sepenuhnya berjalan mulus. Hal ini karena ada kesenjangan antara spesifikasi kompetensi calon tenaga kerja yang dibutuhkan perusahaan dibandingkan dengan ketersediaan lulusan yang ada,” kata Minarni.
Program Kampus Merdeka yang sudah berjalan saat ini memfasilitasi mahasiswa dan dosen untuk dikirim ke luar kampus guna memperoleh pengalaman kerja. Percepatan juga ditawarkan dengan mendorong lebih banyak praktisi dari dunia kerja mengajar di kampus.
Upaya ini untuk membekali mahasiswa dan dosen agar memperoleh pengetahuan terbaru tentang dunia industri. Selain itu, mahasiswa juga bisa berinteraksi langsung dengan para praktisi yang telah berpengalaman di bidangnya masing-masing.
Perguruan tinggi berkualitas dengan program merdeka Belajar Kampus Merdeka harus memenuhi delapan indikator kinerja utama (IKU). Kolaborasi dari praktisi dan dosen di perguruan tinggi membidik pencapaian IKU, di mana praktisi ikut terlibat dalam perencanaan mata kuliah serta mahasiswa dapat belajar dengan metode studi kasus masalah riil.
Praktisi mengajar akan membuat para dosen memperoleh pengetahuan terbaru tentang dunia industri. Selain itu, mahasiswa juga bisa berinteraksi langsung dengan para praktisi yang telah berpengalaman di bidangnya masing-masing.
Pembelajaran yang dialami mahasiswa juga diperkaya dengan metode studi kasus masalah riil. Mereka dapat menerapkan ilmu dan teori yang diperolehnya pada model pemecahan masalah sekaligus mengembangkan keterampilan non-teknis dalam suatu kelompok kerja sama.
Kompetensi akademik lulusan perguruan tinggi sebenarnya sudah baik. Akan tetapi, untuk memenuhi kebutuhan industri, masih perlu sejumlah kompetensi yang mesti ditambahkan.
Menurut Nadiem, selama ini praktisi mengajar di kampus sudah ada dengan semangat kesukarelawanan. Ada sekitar 13,4 juta praktisi ahli berdasar data Organisasi Buruh Internasional (ILO) dan sekitar 50 persen di antaranya tertarik untuk mengajar di kampus. Para praktisi juga ingin berbagi pengetahuan dan pengalaman kerja untuk menyiapkan lulusan perguruan tinggi.
Dengan modal tersebut, program Praktisi Mengajar didukung Kemendikbudristek secara profesional membuka ruang gerak yang lebih luas bagi program studi di perguruan tinggi dalam menguatkan kualitas pembelajaran di kampus. Ini dilakukan dengan menggandeng para praktisi yang dibutuhkan.
”Kita ingin para praktisi yang hebat-hebat di dunia industri mau datang ke kampus dan membagikan pengetahuannya pada para mahasiswa dan dosen. Melalui kolaborasi antara praktisi dan dosen, kita juga ingin menghadirkan ruang pembelajaran yang lebih kolaboratif dan partisipatif,” ujar Nadiem.
Nadiem memaparkan, pada program Praktisi Mengajar, para ahli di dunia industri justru datang ke dalam kampus untuk membagikan pengalaman praktisnya. Kehadiran program Praktisi Mengajar akan membawa pembaruan pada sistem pembelajaran di kelas sehingga mahasiswa bisa belajar dengan metode studi kasus masalah terkini. Selain itu, ilmu dan teori yang diperoleh mahasiswa bisa diterapkan pada model pemecahan masalah, dan mahasiswa bisa mengembangkan keterampilan non-teknisnya dengan bekerja berkelompok.
Di tahap pertama program Praktisi Mengajar, Kemendikbudristek mengalokasikan anggaran sebesar Rp 140 miliar untuk lebih dari 2.500 mata kuliah. Perguruan tinggi dapat mengajukan praktisi yang dibidik, baik untuk kolaborasi pendek (4-10 jam/semester dengan minimal dua kali pertemuan) atau kolaborasi intensif (15-41 jam/semester dan wajib terlibat dalam perencanaan dan evaluasi). Praktisi mendapatkan honor dari pemerintah sebesar Rp 900.000-Rp 1,4 juta per jam.
Dian Septiawati, Mahasiswa Universitas Tadulako, mengatakan, belajar langsung dari praktisi yang mengajar di kampus menjadi kesempatan baik untuk mendalami secara langsung realitas dunia kerja. ”Belajar dari ahli yang berpengalaman secara profesional di lapangan dapat mengasah softskills berpikir kritis, memecahkan masalah, serta mengetahui kultur kerja yang akan ditemui. Mahasiswa semakin siap memasuki dunia kerja dan meniti karier,” ujar Dian.
Rektor Universitas Cendrawasih Apolo Sapanfo mengatakan, program ini menghadirkan para praktisi ahli untuk memberikan wawasan kepada mahasiswa tentang kasus nyata di dunia kerja dan mendorong kebiasaan aktif berpartisipasi dan bekerja dalam tim. Praktisi Mengajar membantu perguruan tinggi untuk menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi, kualitas, kualifikasi, serta keterampilan yang tinggi.