Kebun Sekolah dan Wajah Bahagia Anak-anak Belajar
Para guru butuh pengembangan pengetahuan dan keterampilan untuk mampu memahami dan mengimplementasikan pembelajaran yang berpusat pada siswa dan memerdekakan. Siswa pun senang belajar karena memahami proses belajarnya.
Pembelajaran berpusat pada anak masih sulit dipahami para guru. Kurikulum terus berganti dengan janji semangat pembaruan pembelajaran yang lebih baik. Namun, tetap susah bagi guru untuk mengubah gaya mengajar konvensional yang menerangkan semua isi buku, lalu menggelar ujian untuk mengambil nilai siswa, tanpa peduli siswa menikmati proses belajar atau tidak.
Meski para guru tahu ada yang keliru, sering kali mereka tak berdaya untuk menghadirkan perubahan proses pembelajaran yang memerdekakan. Kegelisahan para guru yang putus asa dengan rendahnya capaian belajar siswa hingga banyak siswa yang membolos sekolah di SD Negeri Waikelo, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, mulai berujung manis.
Sejak tahun 2019 hingga saat ini, para guru mendapat dukungan pemberdayaan untuk membantu mereka percaya diri mampu mengimplementasikan pendidikan yang berpusat pada siswa dan membentuk eksosistem sekolah yang baik dari Kelas Lentera Kuark dan William & Lily Foundation.
Para guru terus menggali kreativitas untuk membuat pembelajaran menyenangkan, terutama penguatan literasi, numerasi, dan karakter dengan metode inkuiri ABCDE sungguh-sungguh dirasakan para siswa setiap hari. Puncaknya, sekolah berhasil menemukan pendidikan konteksual yang membahagiakan guru dan siswa merayakan pembelajaran di kelas dan sekolah setiap hari.
Baca juga : Nadiem Makarim: Sekolah Masa Depan yang Menyenangkan dan Relevan Disiapkan
Setelah tiga minggu menanam kangkung dari bibit hingga tumbuh batang dengan daun-daun hijau yang rimbun, siswa kelas I–VI SD Negeri Waikelo yang sudah menyiapkan pisau dan ember siap menggelar panen pada Selasa (31/5/2022) pagi.
Panen ketiga kalinya ini tetap dinanti siswa karena mereka merasakan langsung proses menanam kangkung hingga dipetik yang terkait dengan proses belajar di kelas, lalu dimasak, dan disantap bersama di sekolah.
Hadirnya kebun pangan sekolah yang dinamakan program farm to table: belajar, bertumbuh, dan memetik hasil dari berkebun, itu sarat dengan proses belajar tentang literasi, numerasi, dan karakter.
Sementara para guru menghadirkan pembelajaran konkret, gambar, dan abstrak (KGA) di literasi dan numerasi, hingga metode inkuri Amati, Bertanya, Cari, Diskusi, dan Evaluasi (ABCDE). Belajar di ruang kelas dan belajar di kebun sekolah terintegrasi sehingga anak-anak tidak kesulitan memahami pembelajaran.
Ketika semua anak dan guru usai menyantap kangkung dari kebun yang menjadi teman nasi dan lauk yang dibawa dari rumah masing-masing, panen raya ditutup dengan refleksi dari perwakilan siswa. ”Kami senang bisa makan sayur kangkung. Menanam kangkung mudah, dari menyiapkan bibit dan lahan,” kata Fadilah, perwakilan siswa kelas I, dengan suara pelan namun percaya diri.
Pendidikan kontekstual dengan kebun pangan sekolah tersebut menjadi media belajar yang dekat dengan kehidupan anak dan mengenalkan proses menanam untuk memenuhi kebutuhan pangan.
Para siswa yang umumnya berasal dari keluarga nelayan ini suka makan sayur kangkung, tetapi hampir tidak mengenal kebiasaan menanam di sekitar rumah karena lahan terbatas. Bahkan, mereka juga awalnya tidak paham bahwa kotoran kambing dari kambing yang banyak dipelihara warga bisa menyuburkan lahan untuk menanam.
Menanam kangkung tampaknya sederhana saja. Namun, membawa proses menanam kangkung untuk belajar literasi, numerasi, dan karakter bukanlah hal mudah bagi guru. Pendampingan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran pun dilakukan guru secara intensif sampai akhirnya ide dan kreativitas muncul dari guru.
Arnoldus Bili Zaghu, guru kelas VI, mengaku selama ini putus asa mengajar para siswa yang belum semua lancar membaca dan menghitung. Secara jujur, dia mengaku memandang anak bodoh jika sulit memahami pelajaran.
”Sering kali saya keras dengan anak karena saya belum mengerti bagaimana membantu siswa yang sulit paham dengan materi di buku pelajaran. Dengan kesempatan pelatihan yang sungguh-sungguh untuk meningkatkan kemampuan guru, kini saya jadi lebih rileks mengajar anak-anak. Mereka pun jadi tidak takut belajar Matematika dan jadi rajin ke sekolah,” kata Arnoldus.
Selalu aktif
Pembelajaran yang dihadirkan di SD Negeri Waikelo senantiasa membuat siswa aktif. Saat siswa kelas I SD belajar angka, siswa dibagi dalam beberapa kelompok dengan dibekali karton merah muda menuju kebun kangkung. Tiap kelompok diminta menentukan dua pohon, lalu dihitung jumlah daunnya. Tiap kelompok pun menuliskan hasilnya, dengan menggambar daun sesuai jumlah, menulis simbol angka, dan menulis kata dari angka yang tertera.
Ketika kembali ke dalam kelas, tiap kelompok maju ke depan kelas untuk mempresentasikan hasil kerja. Guru kelas I, Sesilia Kusriati, meminta siswa lain menanggapi apakah laporan kelompok yang maju benar. Siswa lain antusias untuk memberikan tanggapan. Lalu, guru meminta siswa kelompok lain memberikan apresasi dengan menempelkan potongan karton berwarna kuning bersimbol senyum.
Baca juga : Sekolah Siapkan Pola Pembelajaran yang Lebih Menyenangkan
Saat hari panen kangkung tiba, pembelajaran di ruang kelas juga tetap dilakukan terkait dengan kegiatan panen. Siswa mencabut pohon seperti dicontohkan guru sehingga mereka bisa melihat semua bagian tumbuhan kangkung, mulai dari akar, batang, cabang, daun, dan bunga.
Di kelas, guru berdiskusi dengan siswa soal panen dan tanaman kangkung untuk persipan belajar literasi. Tiap siswa diberi lima potongan kecil karton berbentuk bulat. Siswa diminta membuat garis lurus di tengah kertas sebelum menulis bagian-bagian dari pohon yang sudah mereka diskusikan.
Di kelas I masih ada empat siswa yang berada di kelompok baru mengenal huruf. Siswa tersebut disebar di kelompok yang sudah lancar membaca dan menulis. Ketika siswa tersebut sudah selesai, dia diminta membantu temannya supaya tidak ketinggalan belajar.
”Saya jadi tertantang untuk membuat media belajar yang bisa membantu siswa cepat paham. Saya senang mendapat penguatan dari Kelas Lentera Kuark sehingga terus kreatif menghadirkan pembelajaran dengan metode inkuiri dan KGA yang dinikmati anak-anak. Mereka juga tidak takut salah ketika belajar,” kata Sesil.
Di kelas V SD, siswa bisa memindahkan hal konkret dari bertanam kangkung ke gambar dan abstrak saat belajar. Mereka mengukur panjang dan lebar bedeng kangkung berbentuk persegi panjang untuk belajar soal pengukuran.
Siswa dipastikan dapat mengukur dengan penggaris secara benar sehingga bisa menggambar dengan benar di kertas. Siswa pun belajar mengubah ukuran dari sentimeter ke meter dengan cara menghitung yang sudah diajarkan guru.
Di kelas, suasana belajar terasa santai. Siswa di dalam kelompok mencoba menyelesaikan tugas dan tak sungkan bertanya kepada guru jika belum yakin. Guna memastikan semua paham, tiap siswa kemudian mengerjakan tugas secara individu.
Ada yang mengerjakan di meja dan ada pula sejumlah siswa lain yang dengan santai memilih mengerjakan di lantai. Guru pun memberikan siswa kebebasan untuk memilih cara mengerjakan tugas yang menyenangkan bagi mereka.
Saat panen langsung, pembelajaran literasi juga diterapkan guru kelas V, Sitti Jainab. Para siswa diminta mengamati sejumlah orangtua dan guru yang memasak sayur kangkung di ruangan kelas yang kosong. Siswa menyebar untuk mengamati cara membuat tumis kangkung dan kangkung plecing.
”Siswa diminta untuk menuliskan resep membuat sayur kangkung yang tumis atau plecing. Mereka bebas untuk berkreasi menjelaskan,” ujar Sitti.
Menyenangkan
Kepala SD Negeri Waikelo Elisabeth L Ngongo mengatakan, perubahan dalam pembelajaran guru yang lebih berpusat pada siswa membuat suasana belajar di sekolah lebih menyenangkan. Anak-anak yang awalnya sering membolos mulai rajin ke sekolah. Para siswa juga merasa tidak takut bertanya atau tidak bisa belajar karena guru terus membantu siswa dengan sabar.
Menurut Elisabeth, para guru pun mulai percaya diri untuk berbagi dengan sekolah lain. Apalagi, perjalanan panjang untuk bertransformasi itu sudah dibuatkan prosedur standar operasi (SOP). Bahkan, para guru diajak berbagi dengan menuliskan pengalamannya lewat buku Berbagi Praktik Baik Literasi, Numerasi, dan Inkuiri: Menyalakan Lentera Pendidikan melalui Kreatif Pembelajaran Kontekstual di Sumba Barat Daya.
Meskipun proses untuk terus meningkatkan kualitas pembelajaran masih terus berjalan, lentera menuju pembelajaran yang memerdekakan anak-anak dan guru sudah bisa dijalankan.
Perubahan dalam pembelajaran guru yang lebih berpusat pada siswa membuat suasana belajar di sekolah lebih menyenangkan. Anak-anak yang awalanya sering membolos mulai rajin ke sekolah.
Para siswa riang sejak menjejakkan kaki di gerbang sekolah dengan guru-guru yang senantiasa menyambut ramah. Sekolah membantu siswa untuk bisa siap belajar dengan rutin menggelar senam SMART atau senam motorik aktif, riang, dan sehat dengan iringan musik daerah yang dikenal anak-anak.
Pembiasaan untuk membangun karakter anak dimulai dengan SOP sebelum masuk kelas, saat belajar, dan setelah selesai belajar. Anak-anak dibiasakan bersama-sama membaca SOP sebelum duduk di kelas yang dinding ruangannya penuh dengan hasil belajar siswa dan media belajar yang memudahkan siswa untuk memahami suatu topik.
General Manager Kelas Lentera Kuark Saktiana Dwi Hastuti mengatakan pendidikan berkualitas harus dapat dinikmati semua anak bangsa guna membangun generasi yang memiliki pola pikir bertumbuh melalui kebiasaan berpikir inkuiri sesuai konteks lingkungan sekitar.
”Kami percaya, melalui pendidikan, tantangan global masa depan dapat dihadapi melalui pembentukan paradigma dan kemampuan abad ke-21. Hal ini dimulai dengan mengembangkan kualitas pembelajaran literasi dan numerasi di sekolah. Untuk itulah, pengembangan pengetahuan dan keterampilan guru dalam pembelajaran perlu dikuatkan dan didampingi,” ujar Saktiana.