I Nyoman Sudira, Angin Baru Dunia Tenun Bali
Setelah pensiun sebagai pegawai negeri tahun 2008, Sudira secara penuh membantu istrinya, Astiti, menenun. Pertama-tama, ia melakukan proses modernisasi dengan mengaplikasikan teknologi komputer.
I Nyoman Sudira (70) tak pernah duduk di kursi para penenun. Bahkan, sesungguhnya ia sama sekali tidak bisa menenun. Kakinya tidak fasih menginjak pedal alat tenun bukan mesin. Apalagi menyusupkan benang pakan yang membentuk motif kain, pasti akan terbata-bata….
Jiwa Sudira bergejolak ketika menyaksikan istrinya, Ni Wayan Astiti (68), melakukan proses kerja menenun kain endek yang melelahkan. setidaknya, sejak menggulung benang putih atau ngelos, menggambar motif, sampai pada proses menenun di atas alat tenun bukan mesin (ATBM), harus melalui lebih dari 10 tahapan kerja. ”Dan itu memakan waktu bisa berbulan-bulan. Saya suka panggang. Produktivitasnya jadi rendah,” kata Sudira, akhir April 2022 lalu di bengkel Perusahaan Tenun Astiti, Banjar Jero Kapal, Gelgel, Klungkung, Bali.
Padahal, cerita Sudira, istrinya sejak usia remaja sudah bekerja sebagai penenun, khususnya tenun songket dan endek. Umumnya, penambahan para remaja perempuan di Desa Gelgel, sampai tahun 1980-an, menguasai keterampilan menenun. ”Boleh dikata hampir di setiap rumah pasti ada yang bisa menenun,” katanya.
Diperkirakan masa pemerintahan raja Dalem Waturenggong (1460-1550) di Kerajaan Gelgel, Kebudayaan Bali mengalami masa kejayaan. Masyarakat menguasai keterampilan seperti menenun, melukis, mengukir, dan menulis karya. Menurut Sudira, keterampilan menenun di Gelgel sudah menjadi sesuatu yang organik. Keterampilan ini dari generasi ke generasi. Meski begitu, ujar Sudira, keterampilan itu sebagian besar berwujud yadnya atau pengabdian tulus dan ikhlas untuk keperluan upacara.
”Semua kain, apalagi songket, pada awalnya difungsikan sebagai sarana upacara. Kain-kain mewah hanya digunakan oleh para bangsawan,” ujar pensiunan pegawai negeri ini.
Menjelang akhir tahun 2000-an, tutur Sudira, para penenun di desanya mulai rontok satu per satu. Bahkan, ada beberapa perusahaan tenun yang gulung tikar. Menurut dia, kemerosotan itu pertama-tama disebabkan oleh proses kerja yang panjang, lama, dan mahal. ”Semua prosesnya manual. Jadi, tidak bisa presisi dalam membuat motif desain misalnya.”
Setelah pensiun sebagai pegawai negeri tahun 2008, Sudira secara penuh membantu istrinya mengembangkan Astiti. Pertama-tama, ia melakukan proses modernisasi dengan mengaplikasikan teknologi komputer dalam proses mendesain kain motif. Ia menggunakan aplikasi CorelDraw untuk mendesain motif-motif dalam tenun endek. Sebelumnya, para desainer tenun menggambar secara manual untuk membuat motif kain.
”Proses manual ini bermainnya berat. Pada saat mendesain motif di atas benang juga akhirnya dilakukan manual dengan desain yang ada. Ini akan makan waktu lama, bisa seminggu,” kata Sudira.
Proses menggambar manual di atas benang yang harus Sudira, seorang desainer menggambar di atas benang dengan kuas satu per satu. Dia harus meniru gambar motif yang sebelumnya telah disiapkan di atas kertas ke atas benang. ”Itu proses berulang, tiap tamplig harus gambar ulang lagi…,” kata Sudira. Tamplig tak lain maksudnya perangkat benang dalam sekali tenun, dengan benang lusi pakan pakan.
Penyederhanaan kerja
Pada proses berikutnya, setelah melakukan modernisasi dalam proses desain motif, Sudira menemukan cara yang lebih efektif untuk memindahkan gambar motif ke atas lembar-lembar benang. Setelah desain motif selesai, Anda hanya perlu mencetak untuk kemudian dilubangi. ”Lubang-lubang motif itulah yang kemudian ditempelkan di atas hamparan benang lalu digambar. Jadi, seperti motif saja,” ujar Sudira.
Pada proses mengikat motif, Sudira kemudian membagikannya kepada warga di sekitar rumah. Tidak kurang dari 10 warga membawa pulang pekerjaan mengikat benang. ”Proses ikat inilah dalam bahasa Bali disebut endek,” katanya.
Jika terlebih dahulu proses mengikat motif benang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu, menurut Sudira, kini siapa saja bisa melakukannya. Tak jarang pula dilakukan oleh para mahasiswa jurusan tekstil dari berbagai daerah di Indonesia, kebetulan di bengkelnya.
Proses-proses pencelupan benang, berikut hubungan, memberi warna, dan terakhir tenunan, dilakukan oleh para karyawan yang memiliki keahlian spesifik. Saat badai pandemi Covid-19 workshop Astiti hanya belajar lima penenun. Sebelum pandemi, di rumahnya bisa terdapat 20 orang penenun. ”Selain ordernya belum ramai, juga mengikuti prokes,” kata Sudira.
Tenun endek, menurut Sudira, dahulu sebenarnya merupakan bagian integral dari songket. ”Jadi dalam songket itu ada bagian-bagian endek. Nah, sejak kira-kira tahun 1986 endek kemudian ditenun secara terpisah,” ujarnya.
Momentum pemisahan itu terjadi ketika Institut Teknologi Bandung (ITB) menemukan ATBM yang kemudian dibagikan kepada beberapa kelompok tenun di Bali. Waktu itu, bahkan kata Sudira, para ahli dari ITB datang melatih para penenun di Bali. Jadi kelompok-kelompok tenun endek yang berkembang saat ini di beberapa kabupaten di Bali, merupakan hasil pelatihan menggunakan mesin ATBM.
Penggunaan aplikasi digital dalam mendesain motif-motif tenun endek memberi kesempatan kepada Sudira untuk melakukan pendekatan terhadap motif-motif klasik Bali. ”Setidaknya ada 120 motif yang sudah saya selamatkan dan kemudian mengubah agar menjadi saat ini,” katanya.
Selain itu, berimplikasi pada produktivitas dan harga kain. Jika dengan proses manual pengerjaan selembar kain dengan panjang 10 meter bisa memakan waktu antara 3-5 bulan. ”Sekarang maksimal 1-2 bulan. Dan harga juga bisa lebih murah dari sebelumnya,” ujar Sudira.
Baca Juga: I Wayan Pendet Menanam Padi Dalam Diri
Sayangnya, modernisasi yang dilakukan Sudira tidak banyak diterapkan oleh para perajin tenun di daerahnya. Padahal, ia telah memberikan pelatihan ke berbagai kelompok tenun di seluruh Bali. ”Biasanya ada keterbatasan dalam penguasaan program Komputer. Banyak yang memilih masih bekerja manual, karena katanya sudah terbiasa,” tutur Sudira.
Kehadiran Sudira membawa angin baru di dunia pertenunan di Bali. Meski belajar komputer secara otodidak, ia menyodorkan alternatif proses pengerjaan tenun yang lebih sederhana dan produktif. Kehadirannya telah memutar roda industri tenun di Bali untuk menjangkau publik yang luas. Belakangan, dalam tenun endek tak lagi melekat kesan formalitas yang kaku, tetapi sesuatu yang lebih rileks, serta asyik-asyik saja.
I Nyoman Sudira
Lahir: Klungkung, 31 Mei 1952
Pendidikan: Sekolah Teknik Menengah
Pekerjaan: Desainer motif tenun endek