“Tiang mau cari sawah lain, selain yang diwarisi oleh leluhur,” kata Pendet. Sejak itu, Pendet setiap hari berjalan kaki menuju rumah Raka Turas.
Oleh
PUTU FAJAR ARCANA
·6 menit baca
Bikin janji dengan penawar I Wayan Pendet (81) sebenarnya tak pernah susah. Sehari-hari ia melukis di bale bengong di dalam kawasan Arma Museum and Resort, Pengosekan, Ubud. Bersama beberapa orang lain, Pendet bisa berjam-jam duduk menghayati setiap goresan. Ia selalu larut dalam tahapan-tahapan melukis tradisi Bali yang panjang dan rumit.
Sepekan sebelum bertemu pada Rabu (20/4/2022), kami pernah membuat janji lewat pemilik Arma Museum and Resort, Anak Agung Gde Rai. Sebelum hari benar-benar sakit, kata Agung Rai, tiba-tiba Pendet menghilang. Ia berjalan kaki menuju rumahnya di kawasan Peliatan, Ubud, Bali. Ketika saya tiba bale bengong, semacam paviliun untuk berbagai aktivitas-hari, Agung Rai minta agar Pendet dijemput.
”Tolong jemput Pak Pendet,” kata Agung Rai kepada seorang staf museum.
Kira-kira 15 menit, staf museum membawa kabar bahwa Pak Pendet tidak ada di rumah. ”Katanya ke sawah…,” ujar staf itu.
Agung Rai kemudian mengatakan, kalau Pendet sudah ke sawah, akan sulit untuk mengajaknya pulang. Ia bisa berjam-jam merawat dan memandang sawahnya.
”Kita ulang bikin janji,” kata Agung Rai.
Ketika akhirnya bertemu Pendet, pada Rabu siang itu, seolah sedang bermeditasi menarik kuas untuk nyawi, tahapan membuat gelap-terang dan memberi volume pada sketsa. Nyawi adalah tahapan kedua setelah seorang siswa berhasil nyeket (membuat sketsa).
”Kalau di sawah, nyawi ini sama dengan mejukut. Tahu mejukut kan?” tanya Pendet sembari membayangkan pandangannya kepada saya. Mejukut, tambah Pendet, adalah proses paling penting dalam bertani padi. Seluruh rumput liar, gulma, atau jenis-jenis perdu harus dibersihkan dari sela-sela padi. ”Ini seperti memberi volume agar padi-padi subur sebagai padi. Tidak diganggu oleh rumput,” kata Pendet tangkas, memancarkan semangat hidup yang mengebu-gebu.
Lelaki yang tak pernah tahu kapan ia dilahirkan, tak pernah pula membaca gaguritan populer di Bali berjudul Salampah Laku, karya Ida Pedanda Made Sidemen. Karya klasik ini berisi tentang perjalanan hidup seorang anak manusia yang secara sadar memilih myasa lacur , hidup sederhana. Ungkapan paling terkenal dalam gaguritan itu bunyi: tong ngelah karang sawah, karang terjaga tandurin. Artinya, jika tidak memiliki lahan sawah, tanamilah sawah yang ada dalam diri Anda sendiri.
Secara turun-temurun keluarga Pendet memiliki empat petak sawah. Selama ini hasil hidup para leluhurnya dijamin oleh bertanam padi. Tetapi, karena bersaudara banyak, Pendet membutuhkan ”sawah” lain untuk menjamin hidupnya.
Ketika tamat setingkat SMP, Pendet nekat mendatangi Anak Agung Gde Raka Turas di Padangtegal, Ubud. Ia ingin belajar melukis, karena tidak mampu melanjutkan SMA. Waktu itu, para anggota yang tergabung dalam organisasi Pita Maha, termasuk Raka Turas, sudah terkenal dan karya-karya mereka banyak dikoleksi orang asing.
”Tiang mau cari sawah lain, selain yang diwarisi oleh leluhur,” kata Pendet. Sejak itu, Pendet setiap hari berjalan kaki menuju rumah Raka Turas. Pertama-tama, selama berbulan-bulan ia hanya diberi tugas membuat anatomi tubuh manusia dari tangan, jari, kaki, kepala, mata, dan sebagainya. ”Kemudian meningkat menyeket daun, pohon, ikan, dan berbagai aktivitas manusia,” kenang Pendet. Semua kebutuhannya menggambar, seperti pensil, tinta china, dan kertas disediakan oleh gurunya.
Gambar akuarium
Menurut Pendet, sampai hari ini ia tak pernah yakin bahwa melukis bisa menjadi gantungan hidup. Ia hanya menjalaninya sebagai lelaku rohani dengan berbagai pengetahuan tentang hidup. Setiap saat ia harus ”mengembara” mendapatkan berbagai pengetahuan untuk kemudian mengeksplorasi sebagai imajinasi, yang kemudian melahirkan karya.
”Sering kali bayangan itu sudah berupa gambar dengan warna dan komposisinya,” kata Pendet. Oleh sebab itu, ketika ia meraih kanvas, tangan ”hanya” menjadi media mengalirkan gambar-gambar yang sudah ”jadi” dalam imajinasinya. Proses awal seperti nyeket, bisa dikerjakan dalam sepekan, untuk kemudian maju ke proses nyawi.
Pada kedua proses ini, kata Pendet, ia sering membayangkan empat petak sawahnya. Menggarap sawah dan melukis, kepemimpinan, sama-sama merupakan proses menanam kehidupan. Empat petak sawahnya, sebagaimana juga sawah-sawah milik petani, merupakan sumber kehidupan, yang menjamin peradaban. Pada saat mengerjakan sawah, terlibat dalam berbagai hal seperti musim dan pengolahan lahan.
Demikian pula dengan melukis. Kanvas, dalam pandangan Pendet, bukanlah menuangkan segala pengalaman hidup sebagai orang Bali. Di atas kanvas, saya berkesempatan mengalami dan menghayati, kisah-kisah yang dituliskan dalam epos besar seperti Ramayana. ”Di situ banyak pelajaran hidup, kan?” katanya.
Kanvas, bagi Pendet, adalah tidak boleh bertani dan menanam padi. Pada setiap kanvas, ia berusaha menghasilkan padi yang tumbuh sehat, bernas, dan menguning, agar mendapatkan panen yang baik. ”Ada banyak lukisan saya kemudian dikoleksi orang asing, terutama dari Swiss, Belanda, dan Jerman,” kata Pendet.
Pendet telah menjadi salah satu penerus lukisan dengan corak akuarium bergaya Ubud, sebagaimana diajarkan sebelumnya oleh gurunya, Raka Turas. Akuarium corak sejak masa Pita Maha tahun 1930-an menjadi varian dari lukisan tradisional bergaya Ubud, yang cukup populer. Raka Turas dianggap sebagai banyak pencipta corak ini, yang kemudian ditiru dan dijual di pasar seni.
Akuarium Corak, menurut Pendet, mampu menampung keliaran imajinasinya tentang kehidupan di dalam udara. Ia tidak pernah memakai model untuk menggambar ikan atau rerumputan udara. ”Semua ikan saya buah imajinasi, mengarang bebas saja, mungkin ikannya tak pernah ada dalam kehidupan,” kata Pendet.
Lukisan-lukisan bertema kehidupan dalam sebuah akuarium turut serta memberi dasar-dasar yang kokoh bagi pengembangan seni rupa bergaya Ubud. Orang asing seperti Rudolf Bonnet dan Walter Spies, yang turut menemani Pita Maha bersama Tjokarda Gde Agung Sukawati, adalah peletak dasar-dasar kesenirupaan modern. ”Tetapi tidak unsur-unsur artistiknya dikembangkan oleh para penciptanya sendiri, termasuk Raka Turas. corak dan temanya beragam,” kata Agung Rai.
Pendet sendiri selain corak akuarium bergaya Ubud, dari Raka Turas ia belajar membuat sketsa kisah-kisah epos besar seperti Ramayana dan Mahabharata. Beberapa museum di Jakarta dan beberapa bangunan di kompleks Taman Mini Indonesia Indah (TMII), hingga kini memajang karya-karyanya. ”Saya menggambar saja, nanti ada ahli pahatnya, karena berupa bantuan,” katanya.
Hari-hari belakangan ini, Pendet sedang beringsut menyelesaikan lukisan berjudul ”Raja Kuning”, sebuah potret aktivitas sehari-hari masyarakat desa. Kesibukan rakyat terfokus pada ”raja kuning”, sebuah replikasi pohon pinang yang digantungi berbagai hadiah. ”Agar bisa dapat hadiah, kita harus memanjat pohon yang licin,” katanya.
Dengan kata lain, hidup harus diperjuangkan dengan kerja keras. Tak ada hasil baik dari bermalas-malasan. Semuanya harus dimulai dari mengolah tanah, menanam, dan merawat, untuk mendapatkan hasil panen yang bernas. Pendet menjalani semua tahapan bertani itu untuk pengetahuan di dalam diri dan memperbal keyakinan rohaninya.
I Wayan Pendet
Lahir: Peliatan, Ubud, tahun 1941, tanggal tidak diketahui