Bacalah, Tuliskanlah, Lalu Berbagilah...
Membaca membuat seseorang mempunyai pengetahuan tentang situasi dan sarana untuk hidup. Mari melihat, membaca, menuliskannya, dan berbagi hal baik....
Verba volant scripta manent…
Sebulan terakhir, dari 2 April hingga 3 Mei lalu, kita merayakan empat hari nasional dan hari internasional, yang tidak bisa dipisahkan dari literasi. Literasi diartikan sebagai keterampilan seseorang dalam membaca, menulis, berbicara, berhitung, atau memecahkan masalah. Kemampuan literasi terkait erat dengan kemampuan bahasa.
Pada tanggal 2 April lalu, warga dunia merayakan Hari Buku Anak Internasional, yang diikuti dengan peringatan Hari Buku Sedunia pada 23 April. Di negeri ini, Hari Buku Nasional dirayakan setiap tanggal 17 Mei, bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Perpustakaan Nasional. Pada 2 Mei lalu, kita merayakan Hari Pendidikan Nasional. Pada 3 Mei diperingati sebagai Hari Kemerdekaan Pers Sedunia.
Buku, pendidikan, dan media tentu saja tidak bisa dipisahkan dari kegiatan literasi, khususnya membaca dan menulis. Hari Literasi Internasional diperingati setiap tanggal 8 September, yang sekaligus menjadi Hari Aksara Sedunia dan Hari Pemberantasan Buta Huruf.
Dalam catatan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) tahun 2021, angka buta aksara di Nusantara mengalami penurunan. Pengentasan buta aksara berujung pada literasi yang mendorong individu untuk berpikir kritis, dan memiliki kompetensi. Kemendikbudristek, mengutip data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, menunjukkan persentase buta aksara tahun 2019 sebanyak 1,78 persen atau sekitar 3,08 juta orang, dan tahun 2020 turun menjadi 1,71 persen, atau sekitar 2,96 juta warga. Tahun ini, bisa dipastikan angka buta huruf di Indonesia menurun lagi. Sebagian besar warga yang buta aksara berusia lanjut, serta dorongan Pendidikan Dasar Sembilan Tahun semakin masif.
Baca Juga: Upaya Menumbuhkan Minat Baca pada Anak
Pada peringatan Hari Aksara Internasional tingkat nasional tahun lalu, Direktur Perwakilan Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) di Jakarta, Mohamed Djelid mengingatkan, harkat dan martabat manusia sangat ditentukan oleh kemampuannya berliterasi.
Semangat itu sejalan dengan webinar literasi media, yang diadakan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) bersama Komunitas Membaca Jendela Masa Depan, Sabtu (30/4/2022). Kegiatan itu bertemakan “Membaca itu Hebat, Menulis itu Berkat”. Kualitas manusia ditentukan oleh pengetahuannya, yang antara lain diperoleh melalui membaca, dan kesediaannya berbagi dengan orang lain, antara lain melalui tulisan yang dipublikasikan melalui aneka platform, termasuk media sosial.
Dalam pesannya pada peringatan Hari Komunikasi Sosial Sedunia, Mei 2021, Paus Fransiskus mengutip pendapat Beato Beato Manuel Lozano Garrido, pelindung jurnalis. Ia menuliskan, “Bukalah matamu dengan kekaguman atas apa yang kamu lihat. Biar tanganmu menyentuh kesegaran dan kehidupan atas segalanya, sehingga ketika orang lain membaca apa yang kamu tulis, mereka dapat merasakan langsung getaran keajaiban atas kehidupan.”
Pengetahuan yang diperoleh dari membaca buku dan media, serta melihat langsung, bisa saja menjadi keajaiban kehidupan bagi orang lain. Namun, Paus mengingatkan tanggung jawab dari kegiatan literasi ini bagi siapa pun yang terlibat. Media baru, termasuk yang berbasiskan internet dan digital menjadi media juga untuk berbagi.
"Internet, dengan media sosial yang tidak terhitung jumlahnya, dapat meningkatkan kapasitas pemberitaan dan berbagi. Teknologi digital memberi kita kemungkinan informasi tangan pertama tepat waktu yang seringkali cukup berguna. Inilah alat yang ampuh, yang menuntut supaya kita semua bertanggung jawab sebagai pengguna dan konsumen," kata Paus Fransiskus. Kegiatan literasi dari membaca, melihat, menuliskan, dan berbagi agar tak mengusik "rasa" orang lain, perlu didasari pada iman, harapan, dan kasih. Tidak mengganggu keimanan orang lain, tetapi bisa memunculkan harapan, dan dalam semangat berbagi (kasih) yang terbaik. Bisa menginspirasi orang lain untuk berbuat lebih baik.
Baca Juga: Minat Baca Anak Ikut Mati Diterjang Pandemi Covid-19
Verba volant scripta manent. Pepatah dalam Bahasa Latin itu mengingatkan, bahwa kata-kata beterbangan, tertulis diam menetap. Pengetahuan atau kearifan tak cukup hanya diceritakan dari generasi ke generasi, karena akan makin hilang dan bisa bias, berbeda dengan maksud awal cerita. Apalagi, tak banyak orang yang mampu bercerita dengan baik, sebagai penutur kisah (story teller) yang memikat. Apalagi, bertutur hanya bisa disampaikan terbatas.
Jikalau pengetahuan atau kearifan dituliskan, banyak generasi yang bisa mengikuti cerita dan pesannya, lebih pasti. Banyak lagi orang lain yang akan menerimanya, termasuk mereka yang sebelumnya tak dikenal. Pesan itu bisa saja disebarkan melalui teknologi digital, termasuk media sosial.
Praktisi kehumasan Agung Laksamana dalam bukunya Adapt or Die (Orbit Indonesia, 2020) menuliskan, ada 6.000 kicauan yang dibagikan per detik di Twitter. Ada 1,3 juta konten per menit yang diunggah di Facebook. Jika jutaan konten media sosial itu, yang baik dan bermanfaat bagi orang lain, dibaca, dihimpun dan ditulis lebih baik lagi, lalu dibagikan melalui bantuan internet, teknologi digital, dan media, akan lebih banyak lagi orang yang tercerahkan dan tercerdaskan.
Tantangan pasti ada
Pendongeng asal Denmark, yang hari kelahirannya menjadi tanggal Hari Buku Anak Sedunia, Hans Christian (HC) Andersen (1805-1875), tak hanya pintar bertutur, tetapi juga menuliskan dongengnya yang kuat berisikan pesan moral universal sejak tahun 1846. Buku cerita karyanya itu sudah diterjemahkan dalam 147 bahasa, termasuk bahasa Indonesia dan tersebar di seluruh dunia.
Andersen menuliskan, dalam bahasa Danish, ”Livet er det dejligste Eventyr. Life itself is the most wonderful fairy tale.” Hidup adalah petualangan terbaik. Hidup adalah dongeng yang paling indah. Dengan memberikan pengalaman bertualang dengan baik, meskipun secara tak langsung, ia yakin bisa membentuk karakter anak yang baik. Keyakinan Andersen itu diperkuat dengan temuan riset Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) tahun 2020, yaitu anak usia lima tahun yang dibacakan buku oleh orangtuanya memiliki kemampuan empati, pro-sosial, dan mampu mengatur emosi lebih tinggi ketimbang anak di kelompok usia sama, tetapi tidak dibacakan buku.
Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara juga berpesan melalui buletin Wasita (Agustus/September 1929), ”Jika anak-anak kita bisa kita didik sebagai anak-anak bangsa kita, agar jiwanya bersifat nasional dan bisa kembali dan memegang kultur bangsa, yang sejak abad lalu tak cukup hidup dalam dunia kita, karena hidup kita seolah-olah hidup dalam perhambaan, percayalah mereka itu akan merasa puas sebagai anak Indonesia.” Salah satu cara dalam mendidik anak, adalah melalui pemberian bacaan atau membacakan buku, sehingga literasi berbasiskan teks itu perlu terus dikembangkan.
Namun, saat ini tak mudah mendorong anak, juga orangtua, untuk mencintai buku, menumbuhkan minat baca, menuliskan hal baik dan menginspirasi, serta berbagi. Pandemi Covid-19 menggerus daya beli masyarakat, sehingga membeli buku atau bacaan lain bukanlah prioritas. Kini jarang kita melihat orangtua yang mengajak anaknya menikmati buku di perpustakaan atau toko buku. Jika memakai perangkat digital, mungkin lebih banyak bukanlah menikmati bacaan, meskipun mengacu Indeks Kegemaran Membaca 2020, terjadi kenaikan di Indonesia, dari skor 53,84 menjadi 55,74 (sedang).
Padahal, kata Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim, cara terbaik menumbuhkan kemampuan berpikir kritis, ialah membaca (Kompas, 27/7/2021). Daoed Joesoef (1926-2018), yang pernah menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pun mengingatkan, ”Demokrasi hanya akan berkembang di suatu masyarakat yang warganya adalah pembaca. Individu yang merasa perlu untuk membaca, bukan sekadar pendengar dan gemar berbicara.”
Buku dan karya tulis lain, termasuk di media massa, adalah produk budaya. Bangsa maju karena rakyatnya terbiasa membaca dan berbagi melalui tulisan. Pada masa pandemi Covid-19, situasi kian tidak mudah. Di Indonesia, pandemi berdampak pada penurunan penjualan buku. Dari survei Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) terhadap 127 perusahaan penerbit buku pada 2020, sebanyak 58,2 persen penerbit melaporkan penjualan buku turun lebih dari 50 persen. Sebanyak 29,6 persen penerbit mengalami penurunan penjualan sebesar 31-50 persen; 8,2 persen lainnya melaporkan penurunan penjualan 10-30 persen; dan hanya 4,1 persen penerbit yang mengatakan tidak terganggu dengan pandemi.
Baca Juga: Konten Berkualitas Daya Hidup Media Massa
Namun, di sejumlah negara selama pandemi penjualan buku, baik dalam bentuk audio maupun cetak dan buku elektronik (e-book) justru mengalami peningkatan. Tahun 2021 situasi perbukuan di dunia, termasuk Indonesia lebih baik dibandingkan tahun 2020. Warga yang banyak berdiam diri di rumah melarikan diri dengan membaca buku atau bacaan lainnya.
Jumlah media massa di dunia, termasuk juga di Indonesia, menurun akibat kehilangan pembaca dan perubahan model bisnis. Nyaris setiap hari ada saja media massa yang tutup di dunia ini.
Tantangan lain tergambar dari hasil riset ”World’s Most Literate Nations Ranked”, yang pada 2016 menempatkan Indonesia pada peringkat ke-60, dari 61 negara, dalam hal minat baca. Kondisi tahun 2018, dan barangkali tahun berikutnya, tak banyak berubah. Riset dari Central Connecticut State University AS, dan disebarkan oleh UNESCO itu mengingatkan, minat baca rakyat Indonesia hanya 0,001 persen. Dari 1.000 warga negeri ini hanya seorang yang rajin membaca.
Dalam buku Pers Indonesia: Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus (Penerbit Buku Kompas, 2001), Pendiri Harian Kompas, Jakob Oetama menuliskan, membaca membuat seseorang mempunyai pengetahuan tentang situasi dan sarana untuk hidup. Bagi masyarakat yang semakin luas, kompleks, serta pesat perkembangannya, pers menjadi sarana, di samping berbagai media massa lainnya.
Mari melihat, membaca, menuliskannya, dan berbagi hal baik....