Rektor ITK Terkait Unggahan yang Viral: Kalau Menyakiti, Saya Mohon Maaf
Sejumlah kritik dilontarkan untuk menanggapi unggahan status Facebook Rektor ITK, Balikpapan, Budi Santosa Purwokartiko. Sang rektor meminta maaf jikalau ada diksi yang menyinggung atau menyakiti orang.
Tangkapan layar unggahan Rektor Institut Teknologi Kalimantan, Balikpapan, Prof Budi Santosa Purwokartiko, menjadi trending topic dalam dua hari terakhir. Unggahan Facebook di akun pribadinya itu tersebar dan menjadi perbincangan di media sosial.
Di Twitter, tangkapan layar unggahan itu sempat menjadi trending topic pada 30 April-1 Mei 2022. Sejumlah tagar disematkan dalam cuitan, seperti #Rektor, #BudiSantosaProfesorRasis, dan #Islamophobia.
Ketika dihubungi pada Minggu (1/5/2022), Budi mengakui bahwa unggahan status di akun Facebook miliknya itu diunggah pada 27 April 2022. Isi unggahan lengkapnya sebagai berikut.
Saya berkesempatan mewawancarai beberapa mahasiswa yang ikut mobilitas mahasiswa ke luar negeri. Program Dikti yang dibiayai LPDP ini banyak mendapat perhatian dari para mahasiswa. Mereka adalah anak-anak pinter yang punya kemampuan luar biasa. Jika diplot dalam distribusi normal, mereka mungkin termasuk 2,5% sisi kanan populasi mahasiswa.
Tidak satu pun saya mendapatkan mereka ini hobi demo. Yang ada adalah mahasiswa dengan IP yang luar biasa tinggi di atas 3,5 bahkan beberapa 3,8 dan 3,9. Bahasa Inggris mereka cas cis cus dengan nilai IELTS 8, 8,5 bahkan 9. Duolingo bisa mencapai 140, 145 bahkan ada yang 150 (padahal syarat minimum 100). Luar biasa. Mereka juga aktif di organisasi kemahasiswaan (profesional), sosial kemasyarakatan, dan asisten lab atau asisten dosen.
Mereka berbicara tentang hal-hal yang membumi: apa cita-citanya, minatnya, usaha-usaha untuk mendukung cita-citanya, apa kontribusi untuk masyarakat dan bangsanya, nasionalisme, dsb . Tidak bicara soal langit atau sebelum mati. Pilihan kata-katanya juga jauh dari kata-kata langit: insaallah, barakallah, syiar, qadarullah, dsb.
Generasi ini merupakan bonus demografi yang akan mengisi posisi-posisi di BUMN, lembaga pemerintah, dunia pendidikan, sektor swasta beberapa tahun mendatang. Dan kebetulan dari 16 yang saya harus wawancara, hanya ada dua cowok dan sisanya cewek.
Dari 14, ada dua tidak hadir. Jadi 12 mahasiswi yang saya wawancarai, tidak satu pun menutup kepala ala manusia gurun. Otaknya benar-benar open mind. Mereka menemukan Tuhan ke negara-negara maju seperti Korea, Eropa Barat, dan AS, bukan negara yang orang-orangnya pandai bercerita tanpa karya teknologi.
Saya hanya berharap mereka nanti tidak masuk dalam lingkungan yang: membuat hal yang mudah jadi sulit, bekerja dari satu rapat ke rapat berikutnya tanpa keputusan, mementingkan kulit daripada isi, menyembah Tuhan tapi lupa pada manusia, menerima gaji dari negara tapi merusak negaranya, ingin cepat masuk surga tapi sakit tetap cari dokter dan minum obat, menggunakan KPI langit urusannya masih hidup di dunia.
Semoga tidak tercemar.
Menonaktifkan akun
Beberapa saat setelah unggahan tersebut ramai, akun Budi diblokir oleh Facebook. Dia kemudian mengklarifikasi melalui sistem yang ada di media sosial itu. Setelahnya, akun pribadinya bisa diakses kembali.
Akun Facebook itu saat ini tak bisa dicari oleh pengguna lain. Sebab, Budi menonaktifkan sementara akun miliknya. ”Setelah itu, saya deaktifasi, oleh saya sendiri, dengan pertimbangan biar suasana cooling down,” katanya melalui sambungan telepon.
Ia menjelaskan, unggahan status itu merupakan cerita pengalamannya pribadi. Kisah itu ia tulis setelah mewawancarai mahasiswa yang ikut program Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi untuk studi ke luar negeri. Budi menegaskan, unggahan itu tak terkait dengan institusi yang ia pimpin, yakni Institut Teknologi Kalimantan (ITK), Balikpapan. Ia mengatakan, bertanggung jawab sepenuhnya atas unggahan tersebut.
Baca juga: Membaca Peluang pada Era Kecerdasan Buatan
Budi keberatan disebut diskriminatif dan rasis, seperti yang ramai dikatakan oleh sejumlah akun di media sosial. Ia menyatakan tak ada maksud ke arah sana. Kendati demikian, ia meminta maaf kalau ada diksi dalam unggahan tersebut yang membuat sejumlah orang tersakiti.
”Kalau misalkan istilah itu menyinggung atau menyakiti, saya mohon maaf. Akan tetapi, maksudnya tidak seperti itu,” kata lulusan Pendidikan Magister dan Doktor Teknik Industri di University of Oklahoma, Norman, Oklahoma, Amerika Serikat, itu.
Salah satu kalimat yang ramai dibincangkan adalah ”Jadi 12 mahasiswi yang saya wawancarai, tidak satu pun menutup kepala ala manusia gurun”. Pria kelahiran Klaten, 12 Mei 1969, itu mengatakan, istilah “menutup kepala ala manusia gurun” ia gunakan untuk menggambarkan orang-orang yang hidup di lingkungan gurun pasir.
Manusia yang hidup dengan kondisi geografis seperti itu, menurut dia wajar karena kondisi di gurun panas, berpasir, dan kerap disertai angin kencang. Pakaian tertutup cocok digunakan untuk melindungi tubuh manusia di gurun.
Dalam konteks mahasiswi yang ia wawancara, ujar Budi, tak ada satu pun yang berpakaian seperti itu. Ia pun menegaskan bahwa dalam wawancara tak ada penilaian yang berdasarkan pakaian.
”Penilaiannya semua dengan kriteria yang obyektif. Orang mungkin sudah tergambar di pikiran bawah sadarnya istilah ’kadal gurun’, ya. Jadi, begitu saya ngomong manusia gurun, mungkin diasosiasikan dengan itu (kadal gurun),” lanjut Budi.
Baca juga: Beasiswa LPDP Diperluas untuk Tingkatkan Jenjang Pendidikan Masyarakat
Budi juga menolak jika dirinya dituding anti-Islam atau antijilbab. Ia mengatakan, dirinya pemeluk Islam dan menjalankan ibadah sebagai Muslim. Mahasiswa dan sejumlah rekan dosen yang ia kenal juga menggunakan kerudung. Dan, Budi menyatakan tak masalah dengan itu.
Ia selanjutnya menjelaskan maksud pada kalimat di paragraf tiga dalam unggahannya, yang tertulis ”Ia juga tidak bicara soal langit atau sebelum mati. Pilihan kata-katanya juga jauh dari kata-kata langit: insaallah, barakallah, syiar, qadarullah, dsb”.
Menurut dia, mahasiswa yang ia wawancarai tak ada yang menggunakan istilah tersebut. Semua menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sesuai kebutuhan wawancara. Ia menulis demikian dengan konteks wawancara untuk kegiatan ilmiah.
”Akhir-akhir ini banyak sekali penggunaan diksi seperti itu. Di grup WA, misalnya, seakan-akan ingin menunjukan tingkat religiusitas tertentu.”
Ia melanjutkan, ”Bahasa langit itu istilah yang sebenarnya tidak berorientasi kepada keilmuan, tidak saintifik,” kata Budi.
Kritik
Unggahan Budi itu juga mendapat kritik dari sesama dosen di Kalimantan Timur. Salah satunya Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda, Herdiansyah Hamzah. Kepada wartawan, pria yang akrab disapa Castro itu mengirimkan pesan berisi dua poin kritikan terhadap unggahan rektor ITK tersebut.
Pertama, Castro menyayangkan argumentasi berdasarkan sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) keluar dari seorang guru besar sekaligus rektor. Menurut dia, pernyataan itu menggambarkan kualitas cara berpikir seseorang. Ia menilai, pandangan yang mencitrakan peradaban berdasarkan perbedaan biologis ras manusia merupakan tindakan rasis.
”Kita selalu menghargai perbedaan pendapat, tetapi tidak ada ruang bagi mereka yang rasis. Sebab pernyataan rasis adalah tanda mereka yang terbelakang, mereka yang justru tidak menghargai peradaban,” katanya.
Baca juga: Kerja Sama Lintas Sektor Harus Ditingkatkan dalam Program Magang Kampus Merdeka
Selanjutnya, Castro mengkritik pernyataan Budi yang seolah-olah mengasosiasikan mahasiswa yang suka demo sebagai mahasiswa ber-IP rendah, bermasalah, dan bermasa depan suram. Pernyataan itu Castro nilai tendensius, yang terkesan mengerdilkan mahasiswa yang suka demo sebagai manusia rendahan dalam derajat akademik.
”Padahal, dari demonstrasilah sikap kritis mahasiswa ditempa. Dididik menjadi manusia yang memegang teguh prinsip, bukan menjadi manusia pembebek yang hanya pandai menjilat dan mengejar jabatan,” lanjutnya.
Menanggapi kritik tersebut, Budi menyampaikan, sebagai rektor dirinya memang tak suka mahasiswanya demonstrasi dengan isu yang tak jelas. Ia berharap mahasiswa mengembangkan keterampilan yang berkaitan dengan bidang keilmuan yang, ditambah dengan softskill lain, seperti komunikasi dan presentasi. Semua itu, menurut Budi, mengarahkan mahasiswa ke profesionalisme.
Baca juga: Kebinekaan Kita
Bahwa ada mahasiswa yang kerap demonstrasi dan pintar, Budi menghargai itu. Dalam konteks mahasiswa yang ia wawancara, Budi mendapat jawaban bahwa kesemuanya tak ada yang hobi demo.
”Kecuali mahasiswa mengemukakan pendapat untuk isu yang mereka temukan sendiri, punya datanya, punya faktanya, dengan reasoning yang tepat, saya akan mendukung. Tapi, kalau ikut-ikutan, diajak orang tanpa tau isu, tidak berhubungan dengan masalah yang dihadapi masyarakat, saya tidak setuju,” katanya.
Di akhir sesi wawancara dengan Kompas, Budi menekankan kembali maksud dari unggahannya itu. Unggahan tersebut, katanya, berisi harapannya kepada mahasiswa yang ia wawancara agar tidak termasuk orang-orang yang membuat hal mudah menjadi sulit, seperti paragraf akhir dalam tulisannya di status Facebook.