Dua pekan setelah DPR menyetujui RUU TPKS disahkan sebagai UU TPKS, berbagai dukungan atas UU tersebut terus mengalir. UU TPKS diharapkan bisa segera diimplementasikan untuk melindungi korban kekerasan seksual.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual merupakan buah dari kerja keras bersama berbagai pihak untuk mewujudkan payung hukum yang akan melindungi korban kekerasan seksual. Karena itu, kerja bersama yang ditunjukkan selama mengawal proses legislasi harus terus dilanjutkan dengan mengawal implementasi dari undang-undang tersebut.
Mengawal implementasi dari Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sangat penting. Selain memastikan UU tersebut benar-benar terlaksana sesuai tujuannya, publik juga harus mengawal perubahan-perubahan hukum dan kebijakan lain yang relevan agar dapat segera mengikutinya, termasuk Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Harapan-harapan tersebut terungkap dalam acara Refleksi 12 Tahun Perjuangan Panjang Mendorong Pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual ”Merayakan Semangat dan Teguh Mendampingi Korban Kekerasan Seksual” yang digelar Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Senin (25/4/2022) secara daring.
”Perjuangan kita akan lebih panjang lagi karena tentunya akan ada tantangan-tangan baru yang akan kita hadapi. Capaian yang penting hanya akan kita dapatkan jika kita terus melanjutkan gerak bersama, berjuang, saling gotong royong berbagi peran, berkoordinasi sehingga memungkinkan kita memberikan terobosan baru yang lebih berarti melalui implementasi dan penguatan dari UU TPKS,” ujar Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriani.
Pada acara tersebut, sejumlah komisioner purnabakti dan aktivis dari berbagai lembaga layanan pendamping korban kekerasan seksual menyampaikan refleksi atas perjalanan panjang UU TPKS. Saat membuka acara tersebut, Andy Yentriyani menegaskan, UU TPKS merupakan kerja keras bersama dari berbagai pihak.
”Korban, keluarga, dan pendamping adalah tulang belakang dari seluruh proses perumusan dari UU TPKS, serta organisasi atau lembaga layanan pendamping korban, dan semua pihak termasuk media,” ujar Andy. Ia juga menyampaikan apresiasi Komnas Perempuan kepada semua pihak.
UU TPKS melalui perjalanan panjang berliku. Sejak tahun 2010 RUU dimulai dan secara formal diusulkan sebagai naskah akademis pada tahun 2016. Dalam perjalanannya, UU TPKS mendapat banyak dukungan sekaligus penolakan.
Penolakan cukup kuat mewarnai perjalanan UU TPKS, terutama ketika masih berjudul UU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Namun, lanjut Andy, berkat kerja keras dari lembaga pendamping yang mengumpulkan dan menghimpun pengetahuan yang berangkat dari pengalaman korban kekerasan seksual, RUU TPKS akhirnya menjadi UU TPKS.
Perjalanan UU TPKS sampai disahkan, rasanya seperti memutar film yang sangat panjang. (Yuniyanti)
Polemik RUU TPKS justru memberikan ruang untuk menyosialisasikan substansi dan tujuan dari RUU TPKS yang didorong menjadi UU. Ketekunan banyak pihak untuk mengawal pembahasan RUU tersebut semakin banyak dukungan untuk pengesahan UU TPKS.
Pada acara tersebut, Yuniyanti Chuzaifah, Ketua Komnas Perempuan periode 2010-2014, berbagi cerita bagaimana perjalanan panjang yang dilewati saat RUU PKS diusulkan ke DPR. ”Perjalanan UU TPKS sampai disahkan rasanya seperti memutar film yang sangat panjang,” kata Yuniyanti.
RUU TPKS adalah RUU berbasis korban yang tidak hanya melibatkan DPR dan pemerintah, tetapi juga melibatkan, antara lain, aktivis lintas organisasi masyarakat sipil, lembaga layanan pendamping korban, dan lembaga keagamaan.
Hal senada juga diungkapkan oleh Sri Nurherwati, Komisioner Komnas Perempuan periode 2014-2019. ”Perjuangan kita bukanlah perjuangan yang pendek. Dulu bahkan di tataran penegak hukum dan kementerian/lembaga tidak merasa urgensinya RUU PKS,” kata Sri Nurherwati.
Myra Diarsi dari Kalyanamitra menyampaikan, perjalanan RUU TPKS menjadi UU TPKS harus dicatat dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia yang tidak terlepas dari perjuangan korban, keluarga, dan pendamping korban kekerasan seksual.