Sistem Pendidikan Indonesia Mesti Mengedepankan Kemanusiaan
Sistem pendidikan Indonesia harus dikembalikan pada fondasi awal, yakni mengusung semangat keberagaman, kebangsaan, dan kemanusiaan. Nyatanya, pendidikan saat ini menekankan pada kepentingan ekonomi.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sistem pendidikan Indonesia mesti dikembalikan pada fondasi awal, yakni mengusung semangat keberagaman, kebangsaan, dan kemanusiaan. Pada kenyataannya, sistem pendidikan yang diterapkan saat ini lebih mengarah pada kepentingan individu, cenderung kompetitif, dan berkiblat pada kepentingan ekonomi serta industri. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, mereka para kaum marjinal akan kian tersingkir.
Hal ini mengemuka dalam diskusi yang digelar oleh Dewantara Institute, Senin (29/3/2022), yang mengusung tema ”Dari Pendidikan Multikultur, sampai Merdeka, Di mana Pendidikan Inklusif ?”. Ketua Dewan Pengurus Yayasan Cahaya Guru Henny Supolo Sitepu memulai diskusi dengan kutipan dari Ki Hajar Dewantara yang pernah berkata ”Ketika Kita bicara tentang Kebangsaan, kita bicara tentang kemanusiaan”.
Dari pernyataan tersebut ada tiga hal penting yang tidak bisa dipisahkan dari sistem pendidikan di Indonesia, yakni keberagaman, kebangsaan, dan kemanusiaan. Nyatanya, sistem pendidikan Indonesia saat ini seakan sudah berbalik arah dan tidak lagi mengedepankan ketiga hal itu, tetapi sudah berkiblat pada kepentingan ekonomi semata.
Padahal, dalam mendidik seorang anak, kemandirian adalah salah satu hal yang penting. Arahnya bagaimana menjadikan mereka sebagai insan yang mandiri tapi tetap memiliki wawasan kebangsaan, dan kepekaan terhadap kemanusiaan.
Seperti yang dikhawatirkan oleh tokoh pendidikan Indonesia Henry Alexis Rudolf Tilaar bahwa yang hilang dari pendidikan masa kini adalah kemandirian.
Menurut Henny, ilmu hanyalah alat, tetapi pada akhirnya yang dibutuhkan adalah kepekaan untuk mengedepankan nilai kebangsaan, dan menyadari bahwa setiap individu memiliki kemampuan, fungsi, dan peran masing-masing untuk berkontribusi dalam kehidupan berbangsa.
Terkadang, tenaga pendidik pun melupakan hal itu. Kondisi itu muncul karena desakan materi ajar tetapi melupakan konsep penting dari sistem pendidikan di Indonesia yang seharusnya.
Namun, Henny masih optimistis ada guru-guru yang memiliki pola pikir kebangsaan, keberagaman, dan kemanusiaan. Tugas pemerintah kini adalah mencari dan mendorong mereka untuk terus mengasah kemampuan dan menerapkannya pada peserta didik.
Anggi Afriansyah, Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional, berpendapat imajinasi manusia Indonesia pascareformasi sebenarnya sudah sangat baik. Visi imajinasi itu tertuang dalam Undang-Undang Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 di mana disebutkan manusia Indonesia dituntut beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat , berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tidak boleh ada seorang pun yang dilupakan, ditinggalkan, ataupun dirugikan. (Wahyu Susilo)
Imajinasi manusia Indonesia juga telah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2005-2025 yang muatannya juga tidak kalah lebih besar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007. Di sana disebutkan terwujudnya karakter bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, dan bermoral, berdasarkan Pancasila yang dicirikan dengan watak dan prilaku manusia dan masyarakat Indonesia yang beragam, beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, dan berkembang dinamis.
Bahkan berdasarkan peta jalan pendidikan Indonesia, bangsa ini membutuhkan manusia yang tepelajar, luhur, adaptif, dan kolaboratif untuk mencapai target pembangunan 2045. Namun imajinasi itu kian berat dicapai karena kondisi pendidikan Indonesia saat ini tidak seindah janjinya.
Janji pendidikan yang diusung adalah pencerdasan, pencerahan untuk mencapai mobilitas vertikal (kehidupan yang lebih baik), pekerjaan layak, kesejahteraan, pendidikan untuk semua, inklusif, transformatif, kesetaraan, digitalisasi, dan modern.
Namun, janji itu seakan ”ambyar” karena masih ada ketimpangan, komersialisasi pendidikan, disorientasi, diskriminatif, dan beragam ketimpangan lain. Kondisi ini kian tampak ketika Indonesia dihajar pandemi. Munculah transformasi yang dipaksakan sehingga jurang pemisah antara kaum eksklusif dan kaum marjinal semakin jauh.
”Para kaum marjinal yang tidak memiliki akses pendidikan memadai dipaksakan untuk pasrah menerima pendidikan yang seadanya. Di sinilah mereka kehilangan kesempatan untuk belajar. Janji pendidikan pun sirna,” kata Anggi.
Apalagi saat ini sistem pendidikan di Indonesia telah berorientasi pada kepentingan ekonomi. Mereka lebih terpaku pada persiapan ke dunia kerja. Padahal jika kita melihat dari pandangan tokoh pendidikan, Muhammad Syafei, ujar Anggi, pendidikan diharapkan dapat menciptakan insan yang memiliki ketajaman berpikir, peka, dan halus perasaan. ”Konsep inilah yang hilang dalam narasi pendidikan kita saat ini. Yang ada saat ini adalah nuansa kompetitif demi bersaing di era global,” kata Anggi.
Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Difabel Dria Manunggal, Ki Setia Adi Purwanta, mengatakan, perubahan sistem pendidikan Indonesia dimulai sejak masa Orde Baru di mana buah pikiran dari Ki Hajar Dewantara yang berkarakter sosio-nasionalis dibabat berganti dengan konsep kapitalis.
Dengan karakter sosio-nasionalis jika bicara tentang kebangsaan pasti berbicara tentang multikultural, Jika berbicara tentang kemanusiaan pasti bicara tentang kemerdekaan dan kesetaraan.
Namun ketika pemerintahan Orde Baru, disitulah mulai bergesernya ideologi Indonesia yang mengedepankan persaingan dan cenderung diskriminatif. Kedua konsep pendidikan ini bagai kutub yang bertolak belakang dan tidak bisa disatukan.Karena itu, Direktur Eksekutif Migran Care Wahyu Susilo berpendapat Pemerintah Indonesia harus berpegang pada kata-kata yang terus diutarakan dalam Presidensi G20, yakni No One Left Behind (tidak ada seorangpun yang tertinggal). Komitmen menjadi prinsip itulah yang harus diingat.
”Tidak boleh ada seorang pun yang dilupakan, ditinggalkan, ataupun dirugikan,” katanya. Pembangunan pun terus mengacu pada dimensi ekonomi tetapi harus berbalik pada dimensi kemanusiaan dengan menghapus diskriminasi dan terus mengusung kesetaraan sesama manusia.