Pendidikan Bermutu untuk Semua
Pendidikan bukan seperti mesin pabrik yang sekadar menciptakan produk untuk memenuhi permintaan pasar. Pendidikan lebih dari itu, yaitu proses penumbuhan budi pekerti, pendidikan yang berkebudayaan.

Dunia pendidikan Indonesia telah memasuki delapan dekade sejak hari kemerdekaan dikumandangkan. Bahkan tercatat dalam sejarah, jauh sebelum Indonesia merdeka, pemerintah kolonial dan kelompok masyarakat telah memulai pendidikan di Tanah Air.
Sebut saja, Ki Hadjar Dewantara yang mendirikan Taman Siswa, Persyarikatan Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama mendirikan sekolah-sekolah Ma’arif, dan berdiri pula sekolah-sekolah yang dikelola Majelis Pendidikan Kristen serta Katolik. Organisasi profesi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) pun turut mendirikan sekolah-sekolah PGRI untuk membantu mencerdaskan anak bangsa saat Republik Indonesia masih muda belia.
Sepanjang perjalanan dunia pendidikan nasional, berbagai upaya dan kebijakan telah dilakukan untuk terus meningkatkan mutu pendidikan dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Setiap fase telah dilalui dan dunia pendidikan pun terus bergerak ke masa depan dengan segala tantangan yang terus dinamis seiring perkembangan zaman. Untuk menyambut Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei, ada beberapa catatan mengenai tantangan mendasar serta solusi yang dapat diambil dalam pengelolaan pendidikan dengan harapan agar mutu pendidikan di Tanah Air terus bergerak ke arah yang lebih baik.
Baca juga: Rapor Pendidikan
Rendahnya mutu pendidikan
Dalam sistem pendidikan, komponen pendidikan dasar dibutuhkan oleh semua orang dalam rangka perlindungan hak masyarakat untuk memperoleh pendidikan sebagai bagian dari hak asasi manusia. Jadi, pendidikan dasar diberikan bagi semua orang tanpa kecuali, termasuk mereka yang miskin dan terkendala.
Salah satu faktor penyebab rendahnya mutu pendidikan, yaitu perluasan pendidikan dasar yang belum dapat mewujudkan layanan adil dan merata meskipun anggaran pendidikan menyerap dana APBN yang paling besar. Masih terdapat disparitas layanan dan mutu pendidikan antarsekolah negeri dan swasta, antardaerah di Indonesia, terutama antara Pulau Jawa dan luar Jawa.
Salah satu faktor penyebab rendahnya mutu pendidikan, yaitu perluasan pendidikan dasar yang belum dapat mewujudkan layanan adil dan merata meskipun anggaran pendidikan menyerap dana APBN yang paling besar.
Di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta, kualitas pendidikan sudah baik dan mampu bersaing dengan negara-negara di Asia. Namun, berbeda di daerah pinggiran dan pelosok yang umumnya masih belum dapat mencapai Standar Nasional Pendidikan (SNP), terutama mengenai sarana-prasarana pendidikan dan kualitas guru, sehingga prestasi belajar siswa pun ketinggalan.
Menurut pengalaman negara-negara maju, layanan pendidikan dasar yang adil dapat diwujudkan melalui pendidikan dasar wajib sekaligus bebas biaya (free and compulsory basic education). Namun, Indonesia baru dalam tahap mencanangkan program wajib belajar (compulsory), tetapi belum secara serius mewujudkan pendidikan dasar bebas biaya (free).

Anak-anak kelas 4, 5, dan 6 bersiap mengikuti pelajaran di SDN 12 Tanjung Durian, Kecamatan Putussibau Utara, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Senin (26/3/2018). Pendapatan per kapita Indonesia tidak berbanding lurus dengan mutu pendidikan. Capaian pendidikan di Indonesia, khususnya jenjang dasar dan menengah, belum beranjak dari kategori di bawah rata-rata.
Faktor lain yang mengakibatkan rendahnya mutu pendidikan dasar adalah kurikulum sekolah yang dominan konten mata pelajaran (ilmu pengetahuan) seolah menyiapkan semua siswa untuk menjadi ilmuwan. Padahal, yang lebih penting bagi siswa adalah penguatan literasi dasar dan numerasi (membaca, menulis, menyimak, berbicara, dan matematika). Penguatan literasi dasar dan numerasi ini penting untuk memupuk kemampuan belajar sepanjang hayat yang sangat diperlukan siswa terlebih di era digital saat ini.
Reformasi kurikulum sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 2006 dan 2013. Pemerintah meluncurkan Kurikulum 2013 dengan pendekatan saintifik dan pembelajaran tematik, tetapi reformasi tersebut tidak terjadi secara simultan di lembaga pendidikan preservice guru, seperti LPTK dan pelatihan guru (in service), sehingga pola mengajar guru tidak banyak mengalami perubahan. Guru masih dominan berperan sebagai pemberi pengetahuan ketimbang sebagai fasilitator dan pemimpin pembelajaran yang membekali siswa belajar mandiri dalam memperoleh pengetahuan, kecakapan, dan karakter yang berguna bagi kehidupan nyata mereka di masyarakat.
Masalah yang mendasar untuk peningkatan mutu pendidikan adalah tata kelola guru yang ambivalen. Memang sulit bagi pusat untuk mengurus semua urusan sekitar 3 juta guru yang tersebar tidak merata di ratusan ribu sekolah di 34 provinsi. Dengan desentralisasi, kesulitan itu dapat dibagi ke daerah dengan jumlah yang lebih bisa manageable; tetapi ternyata tetap melahirkan masalah yang semakin rumit karena kapasitas daerah yang bervariasi.
Baca juga: Mengawal Arah Transformasi Pendidikan
Ketergantungan pemerintah daerah terhadap pusat masih dominan tidak hanya dalam peningkatan mutu profesi guru, tetapi juga dalam pemenuhan formasi guru. Akibatnya, masalah klasik yang belum terpecahkan seperti kekurangan guru di sekolah, sebaran guru antarsekolah yang tidak merata, perpindahan guru antarwilayah, bahkan masalah data jumlah guru yang sering berbeda antarinstansi pun masih terjadi.
Tata kelola guru semakin sulit karena seringnya muncul kebijakan baru setiap pergantian pemimpin selaku pengambil kebijakan. Masalah yang paling krusial adalah bervariasinya kapasitas daerah dalam menyusun kebijakan/program untuk menangani masalah guru, juga dalam penyaluran Tunjangan Profesi Guru (TPG) yang merupakan insentif bagi guru untuk meningkatkan kompetensi dan kesejahteraan. Menjadi hal yang wajar jika sebagian urusan tata kelola guru (khususnya pelatihan profesi guru, sertifikasi, dan penyaluran TPG) untuk sementara masih ditangani secara terpusat hingga pemerintah dapat mengembangkan tata kelola yang lebih efektif di masa mendatang.
Meski sejak lama telah diberlakukan manajemen berbasis sekolah untuk mewujudkan otonomi sekolah dan profesional sebagaimana diatur dalam UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tetapi pendidikan persekolahan masih dikelola secara birokratis. Akibatnya, kinerja guru banyak diukur dari parameter sukses yang umum berlaku di dunia birokrasi ketimbang dunia profesional. Politisasi masih lebih kental dibandingkan meritokrasi yang mengedepankan prestasi. Padahal, meritoktasi sangat diperlukan untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu.

Pendidikan berbasis kebudayaan
Pendidikan dan kebudayaan ibarat dua sisi mata uang dan saling terkait. Pendidikan dapat membentuk insan-insan yang berbudaya, dan budaya dapat menuntun manusia untuk hidup sesuai aturan dan norma yang dapat dijadikan pedoman dalam menjalani kehidupan. Pendidikan akan menghasilkan kebudayaan. Pendidikan bukan hanya membekali manusia menjadi cerdas berpengetahuan dan terampil, tetapi juga menjadi wahana pembudayaan yang mampu melahirkan insan berbudaya dan beradab yang dapat mengembangkan cipta, rasa, dan karsa. Dengan kata lain, pendidikan sebagai proses penumbuhan budi pekerti, pendidikan yang berkebudayaan.
Menurut Yudi Latif (2020: 27), melalui proses pendidikan yang berkebudayaan, anak-anak yang menjadi benih harapan dapat tumbuh menjadi pohon tinggi menjulang, cabang dan rantingnya terjurai rapi, daun yang rindang, dan berbuah lebat dan bernas. Akar yang kuat itu adalah karakter tangguh; batang tinggi menjulang adalah wawasan pengetahuan luas; cabang dan rantingnya itu adalah kompetensi dan kreativitas tata kelola; daun yang rindang adalah kemampuan kerja sama semangat Bhinneka Tunggal Ika; sedangkan buah yang lebat dan bernas adalah kebermanfaatan bagi diri dan sesama.
Pendidikan bukan hanya membekali manusia menjadi cerdas berpengetahuan dan terampil, melainkan juga menjadi wahana pembudayaan yang mampu melahirkan insan berbudaya dan beradab yang dapat mengembangkan cipta, rasa, dan karsa.
Tantangan pendidikan dalam membentuk insan yang berbudaya dan beradab sesuai jati diri bangsa kini dihadapkan gempuran globalisasi dan perkembangan teknologi digital yang makin pesat di segala bidang kehidupan. Yang dihadapi manusia Indonesia masa kini dan mendatang akibat pesatnya perkembangan teknologi bukan hanya peluang-peluang kemudahan dan kebebasan berkarya tetapi harus diwaspadai dampak negatifnya, seperti demoralisasi.
Buruknya perilaku netizen kita di dunia maya, munculnya pandangan hidup hedonisme, dan kuatnya pengaruh seni budaya negara asing di kalangan remaja kita saat ini menunjukkan pentingnya kembali memperkuat pendidikan tanpa meninggalkan kebudayaan. Pendidikan berbasis kebudayaan bangsa harus dipertegas dalam kurikulum agar generasi masa depan tidak melupakan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia yang bersendikan Pancasila.
Baca juga: Tantangan Pendidikan
Pendidikan bukan seperti mesin pabrik yang sekadar menciptakan produk untuk memenuhi permintaan pasar. Pendidikan lebih dari itu. Melalui pendidikan bermutu untuk semua, generasi masa depan sedang dipersiapkan dengan baik memanfaatkan momentum bonus demografi agar tidak berubah menjadi bencana demografi. Dengan menyiapkan pendidikan yang bermutu baik, sebenarnya kita sedang berinvestasi untuk masa depan bangsa agar eksistensi bangsa ini terus terjaga baik sesuai jati dirinya.
Catur Nurrochman Oktavian, Guru SMP Negeri 1 Kemang Kabupaten Bogor; Wakil Ketua Dewan Eksekutif Asosiasi Profesi dan Keahlian Sejenis (APKS) PB PGRI

Catur Nurrochman Oktavian