Penanganan Kekerasan Seksual di Kampus Semakin Mendesak
Kemendikbudristek berupaya agar Permendikbudristek Nomor 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi tidak dibatalkan Mahkamah Agung. Peraturan ini untuk menciptakan kampus aman.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU, SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah perguruan tinggi mulai mempersiapkan satuan tugas atau Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. Namun, semangat untuk menciptakan lingkungan kampus yang aman dan nyaman dari kekerasan seksual bisa terganjal dengan adanya pengajuan judicial review Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan Perguruan Tinggi atau Permendikbudristek PPKS.
Permendikbudristek PPKS yang ditandatangani Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim tersebut kini sedang ditangani tim yudisial di Mahkamah Agung (MA). Hal ini berdasarkan gugatan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat yang meminta Permendikbudristek tersebut dicabut dengan alasan peraturan itu multitafsir dan menjadi pintu masuk melegalkan seks bebas/zina.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Nizam di Jakarta, Selasa (29/3/2022), mengatakan, Kemendikbudristek menghargai kalau ada masukan dari publik, termasuk pihak yang mengajukan judicial review. ”Tapi, kami sangat berharap peraturan ini jangan sampai dibatalkan. Sebab, perguruan tinggi (PT) kini bergerak sangat cepat untuk mencegah kekerasan seksual di PT. Ketika program ini semangat dijalankan agar kampus aman dan nyaman bagi seluruh warga kampus berkarya, jangan sampai mundur ke belakang karena masih ada kesalahan persepsi di masyarakat,” kata Nizam.
Nizam memaparkan, Permendikbudristek PPKS di PT lahir dari kondisi lapangan yang membutuhkan afirmasi kuat karena kondisinya sudah darurat. Untuk itulah, payung hukum dibuat supaya segera bisa dijalankan. Salah satu bentuknya, PT diminta membentuk satgas dan program untuk mencegah kekerasan seksual di PT.
Menurut Nizam, Permendikbudristek PPKS mengatur kekerasan seksual yang dilakukan orang lain dengan tidak seizin korban, sesuatu yang menimbulkan kekerasan fisik, mental, seksual. Permendikbudristek ini bukan mengatur etika dan moralitas karena sudah banyak diatur dalam UUD sampai turunannya.
”Ini mengatur yang sempit untuk kekerasan seksual yang terjadi di kampus. Namun, sebagian masyarakat menyalahmaknai ketika norma dilanggar. Ini untuk mencegah dan melindungi dari kekerasan seksual bagi masyarakat kampus. Kalau ada definisi atau frasa yang lebih baik yang tetap dalam konteks untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual, ya bisa saja nanti diubah,” kata Nizam.
Sejak Permendikbudristek PPKS disahkan, ada keberatan di antaranya tentang makna kekerasan seksual tanpa persetujuan korban atau tidak disetujui korban. Ada yang menilai dengan adanya kalimat ini berarti melegalkan zina atau seks bebas.
Nizam mengatakan, Kemendikbudristek akan memberikan masukan ke MA. Saat ini, Kemendikbudristek juga mendapatkan dukungan dari sejumlah elemen masyarakat atau lembaga-lembaga yang peduli pada masalah kekerasan seksual dan perlindungan perempuan serta anak. ”Mudah-mudahan pandangan dari masyarakat yang mendukung Permendikbudristek PPKS ini memberikan pandangan ke hakim pentingnya situasi Permendikbudristek ini bagi perlindungan dari kekerasan seksual di PT,” ucapnya.
Saat ini sudah ada 12 PT yang menyiapkan Satgas PPKS. Selain itu, sebanyak 20 kampus dijadwalkan untuk melakukan pelatihan. Sebab, syarat untuk membentuk satgas ini harus dipastikan terdiri atas orang-orang yang tahu dan memahami persoalan tentang kekerasan seksual.
Tidak tertangani
Komitmen untuk menangani kekerasan seksual di dunia pendidikan menjadi bagian dari program Merdeka Belajar Episode 14: Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual di tahun 2021. ”Permendikbudristek PPKS ini adalah jawaban dari kegelisahan banyak pihak, mulai dari orangtua, pendidik, dan tenaga kependidikan, serta mahasiswa dan mahasiswi di seluruh Indonesia,” kata Nadiem.
Dilansir Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tahun 2020, pada kanal lembaga negara tahun 2015-2020, sebanyak 27 persen kekerasan seksual terjadi di semua jenjang pendidikan tinggi. Sementara itu, berdasarkan 174 testimoni dari 79 kampus di 29 kota, sebanyak 89 persen perempuan dan 4 persen laki-laki menjadi korban kekerasan seksual. Sebanyak 77 persen dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus dan 63 persen dari korban tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus.Terbitnya peraturan menteri ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran warga kampus melalui edukasi tentang kekerasan seksual sebagai upaya pencegahan, mewujudkan dan menguatkan sistem penanganan kekerasan seksual yang berpihak kepada korban, dan membentuk lingkungan perguruan tinggi yang aman bagi seluruh sivitas akademika dan tenaga kependidikan untuk belajar dan mengaktualisasikan diri.
”Lahirnya Permendikbudristek PPKS ini adalah momentum untuk menyatukan langkah kita melindungi anak-anak kita dari ancaman kekerasan seksual dan menjamin masa depan mereka,” kata Mendikbudristek.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati turut menyampaikan dukungan atas Permendikbudristek PPKS. ”Permendikbudristek ini menguatkan upaya kami memberikan perlindungan bagi perempuan dan anak Indonesia dan menjadi regulasi yang tepat untuk mencegah dan mengurangi kekerasan seksual sekaligus memeranginya. Dengan demikian, kita memiliki regulasi yang lebih komprehensif,” ujarnya.
Menurut Bintang, anak dan perempuan merupakan kelompok rentan terkait isu kekerasan seksual di berbagai ruang, termasuk perguruan tinggi. Fakta di lapangan, kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi sering tidak tertangani dengan semestinya dan memberikan dampak pada kondisi mental dan fisik korban.Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas juga menyatakan dukungannya terhadap Permendikbudristek PPKS di lingkungan PT. Regulasi ini dinilai menjadi panutan dan bisa menjadi duta anti-kekerasan seksual ataupun berbagai bentuk kekerasan lainnya agar kampus-kampus di Indonesia merdeka dari berbagai tindak kekerasan.
Kementerian Agama sendiri pada 2019 telah mengeluarkan Keputusan Dirjen Pendidikan Islam tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada PT Keagamaan Islam. ”Perlindungan terhadap sivitas akademika adalah bagian dari implementasi moderasi beragama. Yakni, melindungi martabat kemanusiaan,” kata Yaqut.