Peraturan Mendikbudristek Momentum Lindungi Korban Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual yang terjadi di kampus menjadi sorotan. Lahirnya regulasi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual diharapkan melindungi korban kekerasan seksual.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dukungan terhadap penerbitan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual mengalir. Kendati sejumlah pihak berkeberatan dengan beberapa narasi dalam peraturan itu, dukungan disuarakan berbagai kalangan, mulai dari perguruan tinggi hingga organisasi masyarakat.
Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Permendikbudristek PPKS) menjadi momentum melindungi para korban kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.
Permendikbud-Ristek PPKS merupakan payung hukum untuk melindungi dan memberikan kepastian atas hak korban dan saksi yang selama ini kurang diperhatikan kampus. Karena itu, peraturan tersebut harus segera diterapkan di kampus sebagai bukti nyata pemenuhan kewajiban perguruan tinggi melindungi sivitas akademika.
”Kalau dilihat dari perspektif korban, banyak sekali korban berjatuhan traumatis dan beberapa sangat mengerikan. Peraturan menteri sangat penting, mendesak, dan perlu segera karena kita ingin melindungi korban dan salah satu mandat konstitusi, Pancasila,” ujar Faqihuddin Abdul Kodir, dosen Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (11/11/2021).
Faqihuddin menegaskan, peraturan itu sejalan dengan ajaran agama Islam yang hadir memberikan anugerah atau kebaikan, kerahmatan pada semesta, terutama umat manusia, agar jangan sampai ada korban kekerasan seksual bergelimpangan.
Jika ada penolakan, dia menilai, hal itu karena perbedaan persepsi, yakni ada sudut pandang di mana frasa tidak setuju, tidak terima tentang konsen itu dianggap sebagai kata yang bisa mengarah pada kebebasan seks atau boleh zina.
”Padahal, secara substansi itu justru bicara tentang kualitas, tentang adanya korban. Jadi, bukan melegalkan perzinahan, tetapi untuk menemukan atau memastikan terjadinya kekerasan seksual itu. Jadi, jangan sampai karena dianggap berzina, lalu korban akan dianggap pelaku,” ujar Faqihuddin yang juga anggota Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI).
Secara substansi itu justru bicara tentang kualitas, tentang adanya korban. Jadi, bukan melegalkan perzinahan, tetapi untuk menemukan atau memastikan terjadinya kekerasan seksual itu.
Hingga Kamis, daftar nama yang mendukung Permendikbudristek PPKS melalui solidaritas yang digalang Aliansi Kampus Aman secara daring terus bertambah. Aliansi Kampus Aman terdiri dari perguruan tinggi, pendidik, tenaga kependidikan, mahasiswa, organisasi internal lintas perguruan tinggi, serta organisasi masyarakat sipil.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto bersama sejumlah tokoh yang tergabung dalam Aliansi Kampus Aman mengapresiasi gerak cepat pemerintah melalui Kemendikbudristek dalam menciptakan ruang aman bagi sivitas akademika, terkhusus bagi korban dan saksi kasus kekerasan seksual.
Harapannya, melalui Satuan Tugas Pencegahan dan Penangan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS), Permendikbudristek PPKS akan menghadirkan mekanisme pencegahan dan penanganan yang tepat sasaran melalui pelibatan seluruh elemen sivitas akademika.
Segera implementasikan
Setara Institute dalam keterangan pers, yang diwakili oleh Sayyidatul Insiyah (peneliti hukum dan konstitusi) dan Ismail Hasani (Direktur Eksekutif), mendorong semua elemen dan pemangku kebijakan di lingkungan perguruan tinggi untuk segera mengimplementasikan langkah-langkah pencegahan sekaligus penghapusan kekerasan seksual.
Sebagai contoh, melalui sosialisasi dan diseminasi materi mengenai isu-isu pencegahan kekerasan seksual, perguruan tinggi menyusun peraturan rektor tentang pencegahan dan penghapusan kekerasan seksual, pengembangan mekanisme layanan pelaporan, serta upaya implementatif lainnya.
Pemerintah juga didesak segera melakukan sosialisasi secara lebih luas kepada masyarakat terkait Permendikbudristek PPKS. Hal ini penting untuk mencegah disinformasi, terutama narasi yang menilai peraturan menteri tersebut merupakan legalisasi zina.
Selain itu, pemerintah juga mesti berdialog lebih ekstensif dengan organisasi-organisasi keagamaan mengenai substansi hukum dari peraturan tersebut.