Melawan Kekerasan Seksual di Kampus
Kekerasan seksual di kampus hingga kini masih menjadi fenomena gunung es. Sejumlah mahasiswa menjadi korban, tetapi kasusnya jarang terungkap karena kuatnya relasi kuasa yang kuat. Para korban lebih memilih diam.
Sejumlah kasus kekerasan seksual terjadi di lingkungan kampus di beberapa daerah. Untuk mencegah tindak kekerasan tersebut sekaligus menjamin perlindungan bagi korban dan memberi efek jera bagi pelaku, penanganan kasus kekerasan seksual mesti diperkuat melalui berbagai regulasi.
Untuk itu, akhir Agustus 2021 lalu, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud-Ristek) Nadiem Anwar Makarin mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021, yang diundangkan pada 3 November 2021, diapresiasi sejumlah pihak, termasuk Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati serta organisasi dan aktivis antikekerasan seksual di Tanah Air.
Kehadiran peraturan itu dinilai sebagai langkah maju untuk mencegah dan menangani kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus. Setidaknya, peraturan itu menjadi pedoman bagi perguruan tinggi untuk menyusun kebijakan serta mencegah dan menangani kekerasan seksual yang terkait pelaksanaan Tridharma di dalam atau di luar kampus.
Selanjutnya, aturan tersebut diharapkan menumbuhkan kehidupan kampus yang manusiawi, bermartabat, setara, inklusif, kolaboratif, serta tanpa kekerasan di antara mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, dan warga kampus di perguruan tinggi.
Pada Permendikbudristek 30/2021, definisi kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan atau menyerang tubuh, dan atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau jender. Perbuatan itu berakibat penderitaan psikis dan atau fisik, termasuk mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan menempuh pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.
Baca juga: Mengungkap Kekerasan Seksual di Kampus
Disebutkan juga, kekerasan seksual merupakan tindakan secara verbal, nonfisik, fisik, atau melalui teknologi informasi dan komunikasi. Bentuknya meliputi ujaran yang melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh/identitas jender korban; memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban; menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, atau siulan yang bernuansa seksual pada korban, serta menatap korban dengan nuansa seksual.
Tak hanya itu, kekerasan seksual termasuk mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, atau video bernuansa seksual kepada korban meski sudah dilarang korban; serta mengambil, merekam, mengedarkan foto, rekaman audio atau visual korban bernuansa seksual tanpa persetujuan korban.
Kekerasan seksual juga berupa mengunggah foto tubuh atau informasi pribadi korban bernuansa seksual tanpa persetujuan korban, serta menyebarkan informasi terkait tubuh atau pribadi korban bernuansa seksual tanpa persetujuan korban.
Tindakan lain yang masuk kategori kekerasan seksual ialah mengintip atau sengaja melihat korban yang beraktivitas secara pribadi pada ruang bersifat pribadi; membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam korban untuk melakukan kegiatan seksual yang tak disetujui korban; dan memberi hukuman atau sanksi bernuansa seksual.
Kekerasan seksual juga termasuk menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium, dan atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban; membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban; memaksa korban untuk melakukan kegiatan seksual; serta mempraktikkan budaya komunitas mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan bernuansa kekerasan seksual.
Permendikbud-Ristek mengatur kekerasan seksual ialah melakukan percobaan perkosaan tanpa terjadi penetrasi; perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin; memaksa atau memperdayai korban untuk aborsi; memaksa atau memperdayai korban untuk hamil; membiarkan terjadi kekerasan seksual; atau tindak kekerasan seksual lain.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati, dalam keterangan pers, Jumat (5/11/2021) pekan lalu, mengapresiasi dan mendukung terbitnya regulasi terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.
Baca juga: Kekerasan Seksual di Kampus Tidak Ditoleransi
”Kita melihat fakta bahwa kasus kekerasan seksual terjadi di lingkungan perguruan tinggi nyata adanya dan kerap tidak tertangani dengan semestinya,” kata Bintang. Padahal, kampus sebagai lingkungan pendidikan tinggi sepatutnya jadi tempat yang bersih dari segala tindak kekerasan seksual. Kekerasan seksual di kampus dapat menurunkan kualitas pendidikan.
Bintang menegaskan, kekerasan seksual dalam bentuk apa pun tidak bisa ditoleransi. ”Kekerasan seksual merupakan bentuk kejahatan sangat keji dapat berdampak terhadap mental, fisik, dan merusak masa depan korban,” tuturnya.
Harus dikawal
Apresiasi juga disampaikan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan sejumlah organisasi, seperti Asosiasi LBH APIK Indonesia dan Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS).
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani, bersama para komisioner Alimatul Qibtiyah, Siti Aminah Tardi, Theresia Iswarini, dan Mariana Amiruddin mengajak semua pihak untuk mengawal dan memastikan Permendikbud dilaksanakan dan mencapai tujuannya untuk mencegah, menangani, dan memulihkan korban kekerasan seksual.
Regulasi tersebut sangat penting, apalagi dari Catatan Komnas Perempuan lingkungan kampus tak lepas dari praktik kekerasan seksual. Sepanjang tahun 2015-2020 terdapat 27 persen aduan kasus kekerasan seksual terjadi di perguruan tinggi dari keseluruhan pengaduan yang terjadi di lembaga pendidikan. Kebanyakan korban kekerasan seksual adalah perempuan.
Data tersebut diperkuat dengan temuan survei Mendikbud-Ristek (2019) bahwa kampus menempati urutan ketiga lokasi terjadinya tindak kekerasan seksual (15 persen) setelah jalanan (33 persen) dan transportasi umum (19 persen). Ada juga Penelitian lain yang menyebutkan bahwa 40 persen dari 304 mahasiswi pernah mengalami kekerasan seksual (Ardi dan Muis, 2014), 92 persen dari 162 responden mengalami kekerasan di dunia siber (BEM FISIP Universitas Mulawarman, 2021).
Bahkan, dari Survei Ditjen Diktiristek, 2020, diketahui 77 persen dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus dan 63 persen tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus.
Baca juga: Kekerasan Seksual Merebak di Kampus
Komnas Perempuan menyatakan, lemahnya penanganan kasus di kampus karena pelakunya adalah orang terdekat di lingkungan kampus, seperti dosen, mahasiswa, ataupun karyawan kampus sehingga korban enggan melapor. Situasi ini mengakibatkan minimnya akses korban terhadap pemulihan terutama penanganan psikologis korban agar dapat mengikuti kembali proses belajar yang jadi hak pendidikannya.
Minimnya pengaduan kekerasan seksual di perguruan tinggi menunjukkan tak semua perguruan tinggi memiliki aturan jelas, implementatif, dan efektif terkait pencegahan dan penanganan kekerasan Seksual (PPKS) termasuk pemulihan korban.
”Penanganan kasus kekerasan seksual masih sering disamakan dengan pelanggaran etik lainnya, padahal kekerasan seksual bersifat khas dan mengalami kerentanan berlapis. Dalam konteks kekerasan seksual di lingkungan pendidikan terjadi karena relasi kuasa yang menimbulkan ketidakberdayaan korban,” kata Siti Aminah Tardi.
Sementara pelaku umumnya memanfaatkan kerentanan, ketergantungan, dan kepercayaan korban kepadanya. Selain itu, belum semua pimpinan kampus mempunyai perspektif korban. Akibatnya, terjadi pengabaian dan penyangkalan terjadinya kekerasan seksual dan khawatirkan mencoreng nama baik kampus.
Penanganan kasus kekerasan seksual masih sering disamakan dengan pelanggaran etik lainnya, padahal kekerasan seksual bersifat khas dan mengalami kerentanan berlapis.
Karena itu, Komnas Perempuan merekomendasikan agar Kemendikbudristek segera melaksanakan sosialisasi mengenai substansi Permen PPKS dan membenahi sistem dan petunjuk teknis implementasi Permendikbud PPKS tersebut, serta mendorong perguruan tinggi berkomitmen mengimplementasikan Permen PPKS. Media diharapkan ikut menyosialisasikan permen tersebut.
KOMPAKS menilai Permendikbudristek tersebut merupakan langkah strategis yang menunjukkan komitmen negara dan perguruan tinggi merespons tingginya angka kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus.
Baca juga: Perguruan Tinggi Diminta Bentuk Satuan Tugas Penanganan Kekerasan Seksual
Sebab, fakta di lapangan hingga kini kekerasan seksual masih terus terjadi. Di Riau, misalnya, akhir Oktober 2021, seorang mahasiswi di salah satu kampus mengaku menjadi korban kekerasan seksual dari dosennya ketika dia akan meminta bimbingan skripsi.
Terduga pelaku memegang bagian kepala kemudian mencium pipi kiri korban dan kening korban. Korban mendorong terduga pelaku saat pelaku melanjutkan aksi untuk mencium bibir korban sehingga aksinya tidak berhasil hingga korban meninggalkan terduga pelaku.
LBH Pekan Baru yang menjadi kuasa hukum korban, pada Minggu (7/11/2021), menggelar konferensi pers mengungkapkan kronologi yang dialami mahasiswi tersebut dan meminta agar pihak kampus mengambil tindakan atas sang dosen. Pihak kepolisian juga didesak agar memproses laporan korban meskipun ada laporan balik dari terduga pelaku.
Kasus di Riau hanyalah salah satu contoh kasus kekerasan seksual di kampus. Karenanya, implementasi dari Permendikbud-Ristek diharapkan secepatnya dilakukan.
Dipertanyakan
Kendati lahirnya Permendikbud-Ristek tentang PPKS disambut positif sejumlah kalangan, ada juga yang mempertanyakan aturan itu seperti yang dilakukan Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Permen tersebut dipersoalkan baik formil maupun materiil. Dari sisi formil, Diktilitbang yang dipimpin Lincolin Arsyad dan Muhammad Sayuti menilai aturan tersebut tidak memenuhi asas keterbukaan dalam proses pembentukannya karena pihak terkait materi aturan itu tidak dilibatkan secara luas, utuh, dan minimnya informasi dalam tiap tahapan pembentukan.
Hal ini dinilai bertentangan dengan Pasal 5 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menegaskan bahwa pembentukan aturan perundang-undangan (termasuk peraturan menteri) harus dilakukan berdasarkan asas keterbukaan.
Selain itu, peraturan tersebut juga dinilai tidak tertib materi muatan karena adanya pengaturan yang melampaui kewenangan, yaitu mengatur materi muatan yang seharusnya diatur dalam level undang-undang, dan mengatur norma yang bersifat terlalu rigid dan mengurangi otonomi kelembagaan perguruan tinggi.
Karena itu, Diktilitbang Muhammadiyah merekomendasikan, antara lain, Kemendikbudristek dalam menyusun kebijakan dan regulasi lebih akomodatif terhadap publik, terutama berbagai unsur penyelenggara pendidikan tinggi, serta memperhatikan tertib asas dan materi muatan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Selain itu, Kemendikbudristek juga harus merumuskan kebijakan dan peraturan berdasarkan pada nilai-nilai agama, Pancasila, dan UUD 1945. Rekomendasi terakhir ialah Kemendibudristek sebaiknya mencabut atau merevisi aturan tersebut agar perumusan peraturan sesuai ketentuan formil pembentukan peraturan perundang-undangan dan secara materil tidak ada norma yang bertentangan dengan agama, nilai-nilai Pancasila, dan Undang-Undang Dasar 1945.