Kelompok Samin atau Sedulur Sikep hingga kini masih memegang teguh ajaran leluhurnya selama lebih dari seabad. Ajaran itu, antara lain, mengatur hubungan harmonis antara manusia dan alam.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Komunitas Samin atau Sedulur Sikep mengajarkan laku hidup yang selaras dengan alam, tidak serakah, dan menghargai sesama manusia. Kendati sudah berusia lebih dari seabad, ajaran ini masih relevan di zaman modern.
Komunitas Samin mulanya merupakan pengikut Samin Surosentiko yang bernama asli Raden Kohar, petani dari Desa Ploso Kediren, Blora, Jawa Tengah. Ia hidup pada pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20.
Sosoknya signifikan karena menolak membayar pajak ke pemerintah kolonial Belanda. Ia melakukan perlawanan bersama pengikut-pengikutnya tanpa kekerasan. Aksinya mengusik pihak Belanda. Pada 1907, ia dan sejumlah pengikutnya ditangkap, kemudian dibuang dan dijadikan pekerja paksa di Sawahlunto, Sumatera Barat, hingga wafat pada 1914.
Samin selama ini mengajarkan para pengikutnya, Sedulur Sikep, untuk mempertahankan nilai kebenaran tanpa kekerasan. Ia juga mengajarkan untuk bersikap tajam, tetapi tak melukai. Kencang, tetapi tak melewati batas. Ampun, tetapi tidak membunuh (Kompas.id, 2/6/2021).
Antropolog dari Australian National University, Australia, Amrih Widodo, Selasa (15/3/2022), mengatakan, Samin dikenal karena sifatnya yang tidak biasa. Setelah Belanda menghadapi pemberontakan petani Banten pada 1888, Samin dan pengikutnya melakukan perlawanan dengan cara yang sama sekali beda, tetapi berhasil membuat pejabat kala itu jengkel.
Menurut Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid, Saminisme merupakan gerakan yang memuliakan hubungan manusia dengan alam dan sesamanya. Nilai-nilai tersebut relevan dengan kehidupan masa kini.
”Pandemi berkaitan dengan kesalahan manusia dalam berhubungan dengan alam. Tidak ada kearifan di sana sehingga alam rusak,” kata Hilmar pada seminar daring Peringatan Satu Abad Perjuangan Samin Surosentiko.
Kehidupan modern, menurut dia, tidak sepenuhnya bisa menawarkan solusi masalah zaman sekarang, seperti perubahan iklim. Ajaran yang masih dipegang Sedulur Sikep dapat dipelajari dan diteladani. Kearifan masa lalu dapat diadaptasi di masa kini.
Prinsip dan praktik
Amrih mengatakan, ajaran Samin bisa bertahan lama karena berbasis pada prinsip yang kuat. Prinsip itu pun dipraktikkan di kehidupan sehari-hari. Kendati Sedulur Sikep tidak bersekolah, mereka memiliki pikiran yang kritis, memiliki pengetahuan untuk mengolah sekaligus menjaga alam, serta hidup selaras dengan nilai-nilai Pancasila.
Amrih mengatakan, Sedulur Sikep antusias untuk belajar walau tidak bersekolah. Mereka tetap belajar teknologi serta mempelajari komputer hingga siniar atau podcast. Mereka juga mengadopsi teknologi pertanian. Anggapan bahwa Sedulur Sikep tertinggal kemajuan zaman pun bisa dibantah.
”Yang perlu diwariskan dari ajaran Samin adalah kemampuan membaca situasi secara kritis. Ini tidak perlu sekolah formal. Lalu, penting juga mengajarkan ajaran yang kokoh, tetapi bisa diinterpretasikan secara luwes walau tetap berakar pada prinsip,” ujar Amrih.
Nilai-nilai yang dilakoni Sedulur Sikep dinilai mesti dipertahankan. Ini diperkuat dengan penetapan kearifan lokal Sedulur Sikep (Samin) sebagai warisan budaya tak benda yang diakui Kemendikbud pada 2019.
Bupati Blora Arief Rohman mengatakan, peran komunitas Samin konkret buat pembangunan di Blora, baik dalam hal pertanian, kebudayaan, maupun kesenian. Pihaknya akan mendorong komunitas Samin untuk memperkuat khazanah kebudayaan. Karena Sedulur Sikep tersebar di beberapa daerah di Jateng bagian timur hingga Jatim bagian barat, Arief berencana mengajak pemerintah setempat untuk menguatkan komunitas Samin.
“Ke depan, kami berencana menjadikan kampung Samin sebagai ikon pariwisata (Blora) dan mengembangkan kulinernya,” ucap Arief.
Sementara itu, tokoh Sedulur Sikep, Gunretno, mengatakan, hingga kini masih ada stigma negatif yang melekat ke pengikut ajaran Mbah Samin. Mereka juga kerap diasosiasikan dengan penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini menyulitkan beberapa Sedulur Sikep yang memilih mengosongkan kolom agama di KTP. Ia harap agar publik memahami Sedulur Sikep sehingga tidak ada lagi perlakuan berbeda dari negara.