Sedulur Sikep: Keadilan Belum Menyasar Rakyat Kecil
Sedulur Sikep di Pati, yang menggantungkan hidup dengan bertani, selama ini aktif dalam menggelorakan kelestarian lingkungan, antara lain, dengan konsisten menolak pembangunan pabrik semen di Pegunungan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
BLORA, KOMPAS — Apa yang tertuang dalam Pancasila sebagai dasar negara dinilai sejalan dengan ajaran Samin Surosentiko yang kini masih diterapkan oleh pengikutnya, Sedulur Sikep. Nilai-nilai Pancasila, jika dilakoni sepenuhnya, akan membuat negara tenteram. Sayangnya, implementasinya di lapangan belum sepenuhnya berpihak pada rakyat kecil.
Tokoh Sedulur Sikep di Dukuh Bombong, Desa Baturejo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Gunretno, mengatakan, sebenarnya komunitasnya tidak ada kendala terkait keperluan akan administrasi kependudukan, seperti kartu tanda penduduk (KTP). Namun, pelayanan cepat seperti yang selama ini digembar-gemborkan juga tak pandang bulu, belum benar-benar dirasakan.
Ia menilai, selama ini pelayanan cepat dapat dirasakan para tokoh atau mereka yang dikenal. ”Saya sendiri tidak kesulitan karena mungkin (pemberi layanan) menganggap saya tokoh. Tapi, untuk yang tak punya kekuatan dan akses, masih belum terlayani dengan baik,” kata Gunretno saat ditemui di Randublatung, Kabupaten Blora, Selasa (25/5/2021).
Sedulur Sikep di Pati, yang menggantungkan hidup dengan bertani, selama ini aktif dalam menggelorakan kelestarian lingkungan, antara lain, dengan konsisten menolak pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng. Saat pihaknya melaporkan pelanggaran terkait lingkungan, seperti penjarahan kayu dan lainnya, kerap kali tidak ditindaklanjuti hingga tuntas.
Gunretno menuturkan, nilai-nilai yang diajarkan Mbah Samin, seperti kejujuran dan persaudaraan (kerukunan), berkaitan erat dengan Pancasila. Kendati Sedulur Sikep di Pati tidak sekolah formal, nilai-nilai yang ada dalam Pancasila, sebagai dasar negara, penting untuk penghayatannya. Semua nilai tersebut telah mereka lakoni sejak lama.
Ojo nglakoni drengki, srei, panasten, dahwen, kemeren, bedhog colong pethil jumput. (Tidak dengki, serakah, panas hati, ingin tahu urusan orang lain, iri hati, mencuri). Itu, ya, Pancasila.(Gunretno)
”Ojo nglakoni drengki, srei, panasten, dahwen, kemeren, bedhog colong pethil jumput. (Tidak dengki, serakah, panas hati, ingin tahu urusan orang lain, iri hati, mencuri). Itu, ya, Pancasila. Pancasila sendiri, kalau diterapkan betul, ya, negara pasti tenteram. Tanpa ada agama pun, hanya bawa Pancasila (pun sudah cukup). Ibaratnya, sudah segala-galanya agama,” kata Gunretno.
Kini, pada komunitas Sedulur Sikep di Desa Baturejo, Sukolilo Pati, ada sekitar 200 keluarga dan tercatat dalam administrasi kependudukan, termasuk kartu tanda penduduk (KTP). Namun, terkait perkawinan, mereka masih konsisten bertahan menggunakan tata cara sendiri dan tidak dicatatkan di pemerintah. Anak-anak juga tidak bersekolah formal.
Adapun kolom agama di KTP Gunretno, yang dibuat pada 2013, dikosongkan (tanda setrip). ”Waktu itu petugas bilang tidak bisa dikosongkan karena mengikuti sistem yang ada di komputer (enam agama), tetapi karena saya tahu komputer, saya tetap minta, dan ternyata bisa,” ujar Gunretno.
Pada era Orde Baru, lanjutnya, memang ada tekanan dan paksaan untuk memilih salah satu agama yang disahkan pemerintah. Namun, saat ini hal itu tidak terjadi lagi. Terkait administrasi kependudukan juga tidak ada paksaan.
Sementara mengenai sekolah formal, upaya-upaya untuk memengaruhi ada, meski skala kecil. ”Di lingkungan kami, kan, tidak ada anak-anak yang pagi-pagi berangkat sekolah. Anak-anak biasanya ikut bapak ibunya ke sawah. Ada satu-dua anak (lain) atau guru yang mencoba memengaruhi agar sekolah (formal). Tapi anak-anak cuek saja,” ujar Gunretno.
Ia menambahkan, sekolah itu pada dasarnya belajar dan tetap dilakukan mandiri oleh anak-anak di lingkungan Sedulur Sikep di Baturejo, Sukolilo. Belajar dilakukan dengan kearifan lokal. Bahkan, seiring perkembangan teknologi, seperti melalui ponsel, anak-anak sebenarnya bisa cepat belajar termasuk membaca dan menulis.
Selain di Pati, para pengikut ajaran Mbah Samin, yang bernama asli Raden Kohar, juga terdapat di beberapa di Jateng, seperti Kabupaten Kudus, Blora, Rembang, dan Grobogan, serta sejumlah daerah di Jawa Timur, termasuk Bojonegoro. Sejumlah ajaran Samin, antara lain, bersikap jujur dan memelihara persaudaraan dengan siapa saja. Selain itu, melawan Belanda tanpa kekerasan. Ekonomi pun hanya dari bertani.
Di Blora, tempat awal pergerakan kelompok tersebut, masih terdapat para pengikutnya yang tersebar di sejumlah wilayah. Salah satunya di Dukuh Blimbing, Desa Sambongrejo, Kecamatan Sambong. Berbeda dengan Sedulur Sikep di Pati atau daerah lain, warga Sedulur Sikep di dukuh itu bersekolah formal. Perkawinan juga tercatat di pemerintah.
Tokoh Sedulur Sikep di Blora, Pramugi Prawiro Wijoyo, mengemukakan, selama ini pihaknya berhubungan baik dengan pemerintah dan instansi mana pun. Pelayanan administrasi kependudukan dari pemerintah dinilainya sangat baik. Adapun kolom agama mengikuti undang-undang yang berlaku. Saat ini tertulis Penghayat Kepercayaan.
”Hanya saja, sejak dulu sudah dianjurkan harus ada pelajaran penghayat kepercayaan tertentu. Kalau di Cilacap sudah, di Blora belum. Sebenarnya sudah ada, tetapi sementara, kan, dititipkan di Kurikulum 13. Namun, pelajaran agama masih ikut di Islam. Diharapkan nanti ada sendiri,” ujar Pramugi.