Laras Gamelan Nusantara, Bahasa Persatuan Merah Putih
Melalui pementasan The Laras of Gamelan Merah Putih dalam peringatan Hari Musik Nasional ditawarkan pandangan bahwa gamelan bukan lagi ditempatkan sebagai pengiring, melainkan sajian utama, sejajar, dan terhormat.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·4 menit baca
Kompas/Bahana Patria Gupta
Sosok Dewi Gayatri dalam Pentas The Laras Of Gamelan Merah Putih pimpinan produksi Heri Lentho tampil di Gedung Cak Durasim, Kota Surabaya, Rabu (9/3/2022) malam. Selain untuk menyambut Hari Musik Nasional, pentas dilakukan untuk mensyukuri penetapan gamelan menjadi warisan budaya tak benda dunia oleh UNESCO pada 15 Desember 2021. Pentas seni tersebut memosisikan gamelan sebagai penyuara kebersamaan dalam menjaga keharmonisan kehidupan sosial di tengah masyarakat.
Nusantara mencakup seluruh Indonesia adalah warisan dunia. Tidak berlebihan mengingat UNESCO, badan khusus PBB untuk pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, menetapkan gamelan sebagai warisan dunia tak benda.
Gamelan adalah musik ansambel tradisional dari dan berfilosofi hidup masyarakat Nusantara. Orkestrasi dari beragam alat musik, tetapi bersatu dalam keharmonisan perwujudan Bhinneka Tunggal Ika, semboyan Indonesia.
Dalam peringatan Hari Musik Nasional bertema ”Musik Nasional Bahasa Persatuan Indonesia”, Rabu (9/3/2022) malam, di Gedung Cak Durasim, Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya, dipentaskan The Laras of Gamelan Merah Putih.
Pertunjukan oleh komunitas Seni JatiSwara Indonesia dan Sanggar Baladewa Surabaya berlangsung di hadapan 300 orang atau separuh kapasitas karena penerapan protokol kesehatan dalam masa pandemi Covid-19.
Dentuman gong bergema bersamaan sorot citra ledakan di antariksa pada layar sebagai permulaan pementasan. Gamelan berada di bagian depan sebagai penyaji utama, sementara koreografi dan instalasi visual di belakang.
Gaung gamelan kemudian merenggut sekeligus melanjutkan letupan untuk mengiringi kedatangan sosok perempuan pembawa rebab ke tengah panggung.
Kemudian berkumandang nama Gayatri Rajapatni, tokoh penerus visi Nusantara Singhasari-Majapahit. Sampai hampir satu jam kemudian, penonton disajikan cerita kebesaran Nusantara dalam paduan gamelan, koreografi, dan instalasi.
Kidung Jawa oleh paduan suara menggugah rasa batin secara khidmat dan kontemplatif. Sendratari menghadirkan personifikasi peradaban kuno, misalnya Ken Arok-Ken Dedes (Tumapel/Singhasari), Gayatri, Hayam Wuruk, dan Gadjah Mada (Majapahit), serta burung garuda menghidupkan kebanggaan dan sikap hormat. Serasa ketika melihat instalasi dari kain motif merah putih turun dan naik beberapa kali selama pementasan.
Pentas The Laras Of Gamelan Merah Putih pimpinan produksi Heri Prasetyo tampil di Gedung Cak Durasim, Kota Surabaya, Rabu (9/3/2022) malam.
Kejayaan
Heri ”Lentho” Prasetyo, sutradara The Laras of Gamelan Merah Putih, mengatakan, pementasan kolaboratif itu berupaya menghadirkan nuansa spiritualitas tentang perjalanan kehidupan Nusantara dalam filosofi gamelan.
Gamelan bisa dipercaya sebagai orkestrasi asli Nusantara meski sejumlah alat musik dipengaruhi budaya mancanegara kuno. Biarpun gamelan diyakini berarti instrumentasi tabuh, tetapi dalam konteks kehidupan dimaknai sebagai kerja.
Inilah ritus hidup rutin manusia (bangsa) dengan doa (kidung) seolah mantra beruntai nada-nada pentatonis untuk mengetuk Penguasa Langit demi tujuan yang baik.
Lentho mengakui The Laras of Gamelan Merah Putih pernah dipentaskan sebulan sebelumnya di tempat yang sama (Gedung Cak Durasim). Ketika itu, pertunjukan sebagai apresiasi terhadap penetapan UNESCO bahwa gamelan sebagai warisan dunia tak benda.
Bertepatan dengan Hari Musik Nasional atau sekitar sebulan kemudian, cerita yang sama dipentaskan lagi. Menurut Lentho, meski mungkin banyak warga Indonesia mengetahui penetapan UNESCO tadi, mungkin masih kurang sosialisasi dan formulasi dalam memori kolektif kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pentas The Laras Of Gamelan Merah Putih pimpinan produksi Heri Prasetyo tampil di Gedung Cak Durasim, Kota Surabaya, Rabu (9/3/2022) malam. Selain untuk menyambut Hari Musik Nasional, pentas dilakukan untuk mensyukuri penetapan gamelan sebagai warisan budaya tak benda dunia oleh UNESCO pada 15 Desember 2021.
Visi nusantara
Tidak perlu jauh-jauh, di Jatim, apakah seluruh warganya memahami visi Nusantara pada zaman Singhasari yang kemudian diyakini dituntaskan oleh Majapahit? Apakah warga Jawa dan Nusantara menyadari bahwa bukti keberadaan gamelan sudah terpatri pada kekayaan peradaban kuno, yakni Candi Borobudur dan Candi Prambanan abad ke-8?
Dalam perenungan saya, selepas era Majapahit adalah kemunduran kejayaan karena pertikaian dan perang sampai Proklamasi.
Lentho mengatakan, dalam situasi pandemi Covid-19 yang akhir-akhir ini mereda, pementasan kembali diadakan secara luar jaringan (offline) atau dengan kehadiran penonton meski terbatas.
Dia merasakan, tidak semua pementasan secara dalam jaringan (online) mampu membawa nuansa kontemplatif dan mistik karena tentu ada gangguan akustik dalam perangkat teknologi gawai dan sabak.
Keyakinan Lentho tidak keliru. Dua tahun serangan pandemi atau sejak Maret 2020, nyaris semua pertunjukan berpindah ke jagad virtual. Begitu pula aktivitas pendidikan dan hiburan olahraga.
Ternyata kita tidak tahan dan kurang terhibur dalam menikmati hiburan melalui tatap kaca perangkat. Kegembiraan hati karena keriuhan atau kesunyian aula pementasan belum tergantikan.
Mengapa Gayatri? Ini memang suasana batin personal Lentho. Ia memaknai Gayatri adalah putri Kertanegara, raja terakhir Singhasari sekaligus salah satu istri Wijaya, pendiri Majapahit.
Gayatri adalah ibu dari Tribhuwana Wijayatunggadewi atau nenek dari Hayam Wuruk yang dianggap sebagai raja yang membawa kejayaan besar Majapahit.
Pentas The Laras Of Gamelan Merah Putih pimpinan produksi Heri Lentho tampil di Gedung Cak Durasim, Kota Surabaya, Rabu (9/3/2022) malam. Pentas seni tersebut memosisikan gamelan sebagai penyuara kebersamaan dalam menjaga keharmonisan kehidupan sosial di tengah masyarakat.
”Dalam perenungan saya, selepas era Majapahit adalah kemunduran kejayaan karena pertikaian dan perang sampai Proklamasi (17 Agustus 1945),” kata Lentho. Artinya, sekitar 400 tahun bangsa Nusantara menunggu untuk kelahiran kembali menjadi Indonesia dengan Proklamasi menjadi pintu atau awal mewujudkan kebesaran (kejayaan).
Gamelan dikategorikan menjadi dua gangsa, yakni ”pakurmatan” dan ”ageng”. Pakurmatan untuk mengiringi ritus adat keraton, penobatan atau peringatan bertakhtanya raja atau ratu, serta peringatan keagamaan. Ageng untuk mengiringi pementasan seni budaya tari, wayang, adat, dan hajatan.
”Dalam pementasan ini, saya balik, gamelan bukan mengiringi, melainkan sajian utama,” ujarnya. Mengapa demikian? Menempatkan gamelan pada derajat yang tinggi sesuai status sebagai warisan dunia tak benda. Gamelan tidak lagi penyempurna karena sempurna, paripurna.
Dengan tidak menomorduakan gamelan dalam suatu pertunjukan, tentu ada gebrakan filosofis, yakni kesetaraan, sejajar. Inilah juga pembacaan dari Bhinneka Tunggal Ika, bersatu dalam perbedaan karena perbedaan bukan pengastaan, melainkan keunikan yang setara dan menyempurnakan.
Gamelan ibarat tubuh Nusantara ketika tidak ada satu organ pun yang dominan, tetapi gotong royong sehingga raga dan rasa dapat bekerja mewujudkan kejayaan.