Perempuan hingga kini masih menghadapi berbagai situasi dan kondisi yang rentan terhadap berbagai kekerasan. Maka kampanye mencegah kekerasan harus terus dilakukan tanpa henti, dengan melibatkan berbagai kalangan.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Peringatan Hari Perempuan Internasional (International Womens Day/IWD) 2022 diharapkan menjadi momentum bagi pemerintah untuk meningkatkan perlindungan pada perempuan dari berbagai bentuk kekerasan, menghentikan bias jender, dan diskriminasi. Karena itu Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah didesak segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menjadi undang-undang.
Harapan tersebut disampaikan berbagai organisasi masyarakat sipil, Selasa (8/3/2022). Perempuan Mahardhika, Jaringan Muda Setara, Lingkar Studi Feminis, dan sejumlah organisasi dalam aksi yang digelar di sekitar Monumen Nasional Jakarta menyatakan menuntut negara menghentikan segala produk kebijakan yang bertolak belakang dengan skema perlindungan sosial, dan memastikan setiap orang terlindungi dari kemiskinan.
Mereka berharap Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk membuka ruang partisipasi dalam proses perumusan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) agar implementatif dan menjawab persoalan yang dihadapi korban.
“Sahkan RUU TPKS yang partisipatif dalam pembahasan dan pro korban, serta wujudkan sistem perlindungan sosial yang tidak diskriminatif, inklusif, dan menjamin setiap orang untuk bebas dari kemiskinan,” kata Mutiara Ika, dari Perempuan Mahardhika.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bersama 17 kantor LBH di Indonesia juga mendesak pemerintah dan DPR menghentikan segala bentuk kesewenang-wenangan terhadap ruang hidup perempuan.
“Selama mengadvokasi banyak kasus yang berkaitan dengan hukum dan hak asasi manusia, kami melihat bahwa perempuan selalu menjadi aktor yang paling merasakan dampaknya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini juga terjadi, akibat adanya ketimpangan pengetahuan, derajat sosial, minimnya akses, dan budaya patriarki,” kata Ketua Umum YLBHI Muhammad Isnur.
YLBHI mencatat pada banyak kasus, ketidakadilan yang dialami oleh perempuan seringkali terjadi karena negara lalai, tidak hadir, membiarkan bahkan menjadi pelaku utama dalam praktik kekerasan yang dialami perempuan.
Selama mengadvokasi banyak kasus yang berkaitan dengan hukum dan hak asasi manusia, kami melihat bahwa perempuan selalu menjadi aktor yang paling merasakan dampaknya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Oleh karena itu, melalui IWD 2022, YLBHI meminta pemerintah dan DPR menghentikan segala bentuk subordinasi, kekerasan, kekerasan seksual, diskriminasi, marginalisasi, stereotip, penindasan, perbudakan, maupun bentuk ketidakadilan lain yang dialami perempuan di ruang domestik, ruang publik, serta dalam kondisi kebencanaan (pandemi).
Pemerintah dan DPR juga diharapkan bisa menjamin perlindungan, penghormatan, pemenuhan, dan promosi keadilan dan kesetaraan jender, serta hak-hak perempuan dalam seluruh proses pembentukan peraturan perundang-undangan.
“Kami mendesak pemerintah dan DPR membahas dan mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, dan RUU Penanggulangan Bencana dengan terbuka, serta melibatkan penuh kelompok korban, penyintas, perempuan, pendamping, organisasi bantuan hukum, akademisi dan jaringan masyarakat sipil lainnya,” kata Isnur.
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) juga menilai RUU TPKS merupakan salah satu solusi untuk menghentikan kekerasan seksual terhadap perempuan. Kehadiran UU TPKS mendesak karena kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia masih sangat tinggi.
“Tingginya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan juga disumbang oleh cara berpikir yang masih bias jender, yaitu yang menempatkan perempuan lebih rendah dari laki-laki. Karena itu, dalam momentum Hari Perempuan Internasional ini PGI mengimbau agar semua pihak agar stop kekerasan seksual terhadap perempuan,” ujar Jeirry Sumampow, Kepala Humas PGI.
Peringatan IWD tahun 2022 mengusung tema “Gender Equality Today for a Sustainable Tomorrow” dan tema kampanye #BreakTheBias. Itu menunjukkan selama ini perempuan dari berbagai latar belakang sosial budayanya selalu mengalami bias, stereotipe, dan diskriminasi. Akibatnya, kesetaraan jender sulit untuk dicapai. Bias tersebut bisa datang dari mana saja, mulai dari komunitas, tempat kerja, sekolah, perguruan tinggi, dan lingkungan di sekitar.
Kampanye #BreakTheBias untuk mengajak seluruh masyarakat di dunia untuk berupaya memiliki kesadaran terhadap bias jender yang selama ini menempel pada perempuan dan berupaya mematahkannya.
Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) berharap peringatan IWD 2022 menjadi momentum refleksi Pemerintah Indonesia untuk segera melakukan langkah nyata untuk meningkatkan pelindungan buruh migran Indonesia (BMI) yang mayoritas perempuan dari dampak pandemi Covid 19.
Studi SBMI menemukan bahwa secara umum respons Perwakilan RI masih belum memadai dan belum sesuai kebutuhan BMI yang terdampak pandemi Covid-19. Pemerintah juga masih belum maksimal dalam melindungi buruh migran perempuan dari berbagai pelanggaran dan kekerasan (fisik, psikis dan seksual) yang kasusnya meningkat selama pandemi Covid-19.
“Oleh karena itu, penting bagi pemerintah secara keseluruhan, khususnya Perwakilan RI mempunyai rencana kontijensi/kedaruratan yang baik dan terukur, sehingga dalam situasi darurat yang dihadapi buruh migran, pemerintah tidak lagi gagap dan kebingungan melakukan penanganan dan memperjuangkan hak ketenagakerjaan serta hak lainnya yang kerap terampas,” ujar Ketua Umum SBMI, Hariyanto.