Banyak siswa yang sehari-hari menggunakan bahasa ibu/bahasa daerah. Tapi, di sekolah justru dipaksa belajar dalam bahasa Indonesia. Akibatnya, penguasaan kompetensi dasar mereka tertinggal.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·7 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Penggunaan bahasa ibu di kelas awal semakin didorong demi meningkatkan pembelajaran para siswa tanpa terkendala bahasa. Sayangnya, ini belum dianggap sebagai salah satu faktor penting yang dapat berdampak baik bagi pembelajaran siswa. Selain itu, penggunaan bahasa ibu oleh guru di kelas juga belum sistematis akibat para guru yang belum terlatih.
Dalam webinar Temu Inovasi NTT #2 "Aktualisasi Merdeka Belajar: Pemanfaatan Bahasa Ibu dalam Pembelajaran bagi Siswa Penutur Bahasa Tunggal" yang digelar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi bersama INOVASI, Selasa (8/3/2022), diperlihatkan percontohan bahwa pembelajaran berbasis bahasa ibu di kelas awal di sejumlah daerah di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB) dapat memotivasi siswa belajar. Banyak siswa kelas awal yang sehari-hari menggunakan bahasa ibu/bahasa daerah, namun di sekolah pembelajaran memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Akibatnya, siswa tidak menguasai kompetensi dasar dalam literasi dan numerasi yang penting untuk pembelajaran di kelas selanjutnya.
Haerunisa, Guru SMPN Soromandi Satu Atap di Kabupaten Bima, NTB mengatakan, sejak 2017 sudah ada fasilitator dearah untuk membantu guru dapat menggunakan bahasa ibu di kelas awal. Sebab, secara umum, banyak siswa di kelas awal yang lebih fasih berkomuniaksi dalam bahasa Mbojo dibandingkan bahasa Indonesia.
“Sebelum ada intervensi pembelajaran berbasis bahasa ibu, para guru tidak paham bagaimana menggunakan bahasa pengantar dengan bahasa ibu yang efektif. Para guru, kepala sekolah, maupun dinas pendidikan masih menganggap bahasa pengantar belum jadi isu penting. Akibatnya, dengan langsung menggunakan bahasa Indonesia, atau sesekali menerjemahkan ke bahasa Mbojo, jadi mempengaruhi pencapaian belajar siswa yang tidak memahami pembelajaran dengan baik,” papar Haerunisa.
Para guru yang sudah mendapat pembekalan literasi di kelas awal mendapat pelatihan untuk menggunakan bahasa ibu sebagai pengantar. Penggunaan bahasa ibu bukan sekadar menerjemahkan. Ada media belajar yang disiapkan dalam bahasa Mbojo, termasuk buku besar dalam dua bahasa, yakni bahasa Mbojo dan bahasa Indonesia. Siswa pun mampu memahami pembelajaran dan secara bertahap bertansisi ke bahasa Indonesia.
Keberhasilan serupa terjadi di sekolah-sekolah di Kabupaten Nagakeo, NTT, yang menerapkan pembelajaran berbasis bahas ibu di kelas 1-3 SD. Menurut pengawas sekolah yang juga fasilitator daerah Petrus Buku, untuk menentukan perlu tidaknya pembelajaran berbasis bahasa ibu, dilakukan survei. Jika penggunaan bahasa ibu dalam keseharian di atas 80 persen, sekolah bisa jadi percobaan untuk menerapakan pembelajaran berbasis bahasa ibu.
Menurut Petrus, pembelajaran mengenalkan abjad, misalnya, bisa disesuaikan dengan kebiasaan dalam bahasa ibu. Dari riset tentang cerita rakyat, diketahui pengenalan huruf bagi siswa kelas 1 dimulai dari a, m, n, i, t, bukan dari huruf vocal a, i, u, e, o. Lalu, pengenalan huruf dan gambar juga menggunakan bahasa ibu.
“Siswa jadi termotivasi belajar karena menggunakan bahasa pengatar yang mereka pahami. Bahkan, siswa berani untuk menjawab atau bertanya karena di kelas memakai bahasa ibu yang mereka pahami. Selain itu, guru pun dikenalkan dengan beragam metode belajar literasi yang asyik dengan menggunakan bahasa daerah, mulai dari permainan hingga lagu daerah,” kata Petrus.
Dibandingkan dengan sekolah yang tidak mendapat pendampingan pembelajaran berbasis bahasa ibu, kata Petrus, akselerasi siswa yang berbahasa ibu lebih tinggi. Sebelumnya susah untuk menemukan siswa kelas 1 SD yang sudah bisa membaca lancar di akhir semester satu. Paling tinggi membaca suku kata ke kata.
“Sekarang siswa sudah bisa membaca lancar. Ketika kelas 2-3 sudah mulai kuat memahami bacaan. Penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar bisa memutus mata rantai membaca, menulis, dan menghitung siswa kelas awal yang buruk selama ini. Karena itu, nanti akan diperluas ke sekolah lain yang belum didampingi,” kata Petrus.
Di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, Guru SDN Padike Annur Kusniyati sudah mendapatkan pelatihan pembelajaran literasi kelas awal. Ia kemudian mengasesmen siswa dan mendapati masih ada siswa yang belum lancar membaca. Dia mencoba membuat media belajar dengan buku besar dalam dua bahasa yakni bahasa Madura dan bahasa Indonesia.
“Siswa masih menggunakan bahasa Madura sehari-hari dan belum bisa berbahasa Indonesia yang baik. Saya bantu siswa untuk bisa paham dari huruf ke suku kata hingga bisa merangkai kata dan paham artinya dengan menggunakan bahasa Madura dan bahasa Indonesia. Ternyata cara ini membuat siswa yang belum lancar bisa lebih cepat memahami,” kata Annur.
Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbudristek Endang Aminudin Azis mengatakan, sejalan dengan dorongan UNESCO agar bahasa ibu digunakan dalam pembelajaran, Kemdikbudristek kini juga semakin memberi ruang bagi daerah untuk menggunakan bahasa ibu sebagai pengantar di sekolah, terutama di kelas awal. Kebijakan Merdeka Belajar yang mendorong Revitalisasi Daerah jadi momentum untuk kembali mengutamakan pentingnya penggunaan bahasa ibu dalam membantu pembelajaran siswa yang belum lancar berbahasa Indonesia.
“Bahasa ibu itu artinya bahasa yang pertama kali dan biasa digunakan anak. Di Indonesia, seringnya bahas ibu itu, ya, bahasa daerah. Kami menyambut baik pembelajaran berbasis bahasa ibu untuk memastikan keberhasilan proses belajar siswa. Selain siswa lebih paham, bahasa daerah pun akan tetap bisa digunakan dan membantu siswa menguasai bahasa Indonesia,” kata Aminudin.
Aminudin mengakui, dalam tataran praktis, penggunaan bahasa ibu dalam pembelajaran tidak mudah dilaksanakan. Guru sulit menentukan bahasa ibu yang akan digunakan. “Di desa yang homogen ini bisa dilaksanakan. Untuk di kota besar sulit. Tapi ini memberi semangat positif bahwa bahasa ibu punya fungsi dalam pendidikan ketika bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua,” ujar Aminudin.
Di tahun 2021, Badan Bahasa sudah menguji coba penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar di sekolah, di Jawa Barat (bahasa Sunda), Jawa Tengah (bahasa Jawa), dan Sulawesi Selatan (bahasa Bugis, Makasar, dan Toraja). Ada satu juta siswa terlibat dan mereka mulai menjadi penutur bahasa daerah yang aktif. Di tahun 2022, pelaksanaannya menyasar 38 bahasa daerah di 12 provinsi dalam bentuk muatan lokal maupun melibatkan komunitas penutur.
“Ada korelasi signfiikan menggunakan pengantar bahasa ibu dengan keberhasilan belajar di kelas awal. Ini pun jadi menguntungkan karena bisa juga untuk pewarisan nilai dan kearifan lokal,” kata Aminudin.
Tertinggal
Sementara itu, Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pedidikan Kemdikbudristek Anindito Aditomo mengatakan, di NTT misalnya, ada 72 bahasa daerah yang masih hidup. Banyak anak tumbuh dalam bahasa ibu, terutama di wilayah 3T. Ini memunculkan tantangan saat di sekolah menggunakan bahasa Indonesia. Anak-anak pun seolah-olah belajar dalam bahasa kedua atau bahasa asing.
Survei awal INOVASI menemukan, bahwa ada ketertinggalan yang lebar antara anak dengan bahasa ibu yang tidak bisa berbahasa Indonesia dengan yang bisa berbahasa Indoensia. Potensi kesenjangannya hingga satu tahun pembelajaran.
“Kesenjangan di kelas awal SD terakumulasi semakin besar di jenjang berikutnya. Jadi, masalah ini perlu mendapat perhatian dan solusi. Kini kita semkain mendorong penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar di kelas awal untuk siswa,” kata Anindito.
Landasan regulasi penggunaan bahasa ibu untuk pembelajaran juga sudah ada dalam UU Sistem Pendidikan Nasional yang secara secara prinsip menegaskan pendidikan inklusif, artinya untuk semua warga negara. Demikian juga kebijakan merdeka Belajar dan Kurikulum Merdeka yang mendorong pembelajaran yang mengembangkan kompetensi dasar dan karakter siswa. Hal ini pun didukung dengan desain Asesmen Nasional yang memotret penguasaan kompetensi literasi, numerasi, dan karakter siswa.
“Sekolah juga, kan, harus menciptakan lingkungan belajar inklusif. Sekolah harus menerima warga yang wajib mendapatkan pendidikan tanpa diskirminasi, termasuk yang belum bisa berbahasa Indonesia,” kata Anindito.
Tantangan untuk menerapkan pembelajaran berbasis bahas ibu ialah melatih para guru untuk memadukan bahasa daerah dalam pembelajaran guna membangun fondasi literasi dan penanaman konsep yang kemudian menjadi jembatan untuk beralih ke bahasa Indonesia lisan dan tulisan. Dengan demikain, siswa bisa mengusai dua bahasa dengan baik dan tidak terkendala dalam belajar.
Ada korelasi signfiikan menggunakan pengantar bahasa ibu dengan keberhasilan belajar di kelas awal. Ini pun jadi menguntungkan karena bisa juga untuk pewarisan nilai dan kearifan lokal
Direktur SEAMEO QITEP In Language Luh Anik Mayani mengatakan, program Mother Tongue Based-Multilingual Education di ASEAN juga dilakukan sejumlah negara. Tujuannya, supaya anak di kelas awal tidak konsentrasi ke bahasa ketika belajar, tapi lebih fokus memahami konten pembelajaran dengan komunikasi yang baik.
Hasil survei tahun 2013 di Kabupaten Bandung dan Garut, Jawa Barat serta Bantul dan Gunung Kidul, DI Yogyakarta menunjukkan pentingnya menggunakan bahasa ibu. Sebanyak 60 persen guru di Yogyakarta dan 80 persen guru di Jawa Barat berpendapat, penggunaan bahasa Indoensia sebagai bahasa pengantar membuat siswa sulit memahami materi karena keterbatasan kosa kata bahasa Indonesia yang diketahuinya. Dengan menggunakan bahasa ibu/daerah, materi belajar lebih mudah dipahami bahkan dapat memotivasi siswa untuk bertanya.
Penggunaan bahasa ibu di jenjang kelas 1 SD sudah diterapkan di Filipina sejak 1998 di jenjang kelas 1 SD dengan menggunakan bahasa Lubuagan, sebelum kemudian memakai bahasa Filipino dan bahasa Inggris. Demikian pula yang dikembangkan Mahidol University di Thailand. Bahkan, bahasa ibu sudah dimulai dari TK lalu bertransisi ke bahasa Thai. Hal yang sama juga dilakukan Kamboja. Di kelas 1 SD bahasa ibu dipakai sebelum bertransisi secara bertahap menggunakan bahasa Khmer. Dari tahun 2017 sudah ada lima bahasa ibu nondominan yang dikembangkan sebagai media literasi dan bahasa pengantar.