Lestarikan Bahasa Daerah dengan Memperbanyak Penutur Generasi Muda
Peran anak muda sangat penting dalam melestarikan bahasa daerah. Tanpa keberlanjutan penuturnya, bahasa daerah terancam punah.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ancaman kepunahan bahasa-bahasa daerah salah satunya disebabkan oleh penuturnya yang terus menyusut. Dengan memperbanyak penutur generasi muda, kekayaan bahasa yang menjadi identitas bangsa diharapkan tetap terjaga.
Pendiri Surabaya Language Festival, Ario Bimo Utomo, mengatakan, peran anak muda sangat penting dalam melestarikan bahasa daerah. Ia mengajak generasi muda untuk aktif menuturkan bahasa daerah agar tidak punah.
”Kalau penuturnya habis, lama-lama bahasanya akan punah. Ketika bahasa punah, peradabannya pun akan mati,” ujarnya seusai menggelar Sydney-Surabaya Language Festival 2022 secara daring, Sabtu (19/2/2022).
Bimo menuturkan, setiap bahasa daerah mempunyai keunikan tersendiri dan menjadi kekayaan bangsa yang tak dimiliki banyak negara lain. Namun, sayangnya masih banyak anak muda malu menggunakan bahasa daerah karena takut dianggap kampungan.
Padahal, menurut Bimo, anggapan itu keliru. Anak muda justru menjadi jembatan agar bahasa yang telah dituturkan oleh leluhur tetap bisa digunakan oleh generasi berikutnya.
”Semua bahasa layak diapresiasi karena lahir dari proses kebudayaan yang panjang. Di Indonesia, banyak yang minder pakai bahasa daerah sendiri. Ini tidak boleh dibiarkan,” ujarnya.
Indonesia mempunyai lebih dari 700 bahasa daerah. Namun, di beberapa daerah, jumlah penuturnya makin berkurang.
Ancaman kehilangan bahasa terutama terjadi di Papua. Dari 271 bahasa yang ada, 56 bahasa terancam punah. Di Maluku tak kalah tragis. Dari 80 bahasa, 22 bahasa nyaris punah dan 11 telah punah (Kompas, 1/11/2021).
Semua bahasa layak diapresiasi karena lahir dari proses kebudayaan yang panjang. Di Indonesia, banyak yang minder pakai bahasa daerah sendiri. Ini tidak boleh dibiarkan.
Salah satu tujuan Sydney-Surabaya Language Festival adalah memperkenalkan bahasa ibu di Indonesia, Australia, dan beberapa negara lainnya. Selain itu, tujuan lainnya untuk mempererat relasi masyarakat kedua negara.
Bimo mengatakan, mayoritas peserta kegiatan tersebut merupakan anak muda. Dalam penyelenggaraan tahun ini, ditampilkan penutur sejumlah bahasa, di antaranya Minangkabau, Persia, Arab, Dogri, dan Ibrani.
”Tahun ini memang cukup banyak presentasi bahasa luar (negeri). Namun, pada tahun-tahun sebelumnya, kami menampilkan penutur bahasa lokal, seperti Bali, Lamaholot, Selayar, Madura, dan Sunda,” jelasnya.
Menurut Bimo, pengenalan bahasa sangat penting dalam meningkatkan relasi antarkelompok masyarakat. Keterbukaan membuat antarpihak tidak saling curiga sehingga dapat meminimalkan konflik.
”Terkadang kekerasan muncul karena dipicu jalur pendekatan bahasa yang terputus. Oleh sebab itu, di sini (Sydney-Surabaya Language Festival) kami mengajak anak muda untuk saling mengenal keberagaman bahasa,” ujarnya.
Sayed Mohammad, penutur bahasa Persia, mengatakan, penggunaan bahasa tersebut terbagi dalam tiga era. Bahasa yang ada saat ini merupakan bahasa Persia modern yang digunakan sejak tahun 800.
”Dikenal juga sebagai bahasa Persia baru yang sampai sekarang dituturkan di Iran, Afghanistan, Tajikistan, dan sekitarnya,” ucapnya.
Devina Krishna, penutur bahasa Dogri, menjelaskan, bahasa Dogri digunakan di kawasan pegunungan India, terutama di daerah Jammu, Himachal Pradesh, Punjab, dan Kashmir.
”Warna asli kebudayaan Dogri bisa dilihat di kawasan perdesaan. Di sana, masyarakat yang berbeda keyakinan hidup dalam harmoni,” katanya.