Aparat Negara Pelaku Kekerasan Jadi Sorotan
Perempuan di Tanah Air masih dibayangi berbagai ancaman kekerasan. Data Komnas Perempuan menunjukkan pada 2021 kasus kekerasan berbasis jender naik sekitar 50 persen.
JAKARTA, KOMPAS — Sepanjang tahun 2021, perempuan terus menjadi korban kekerasan oleh keluarga terdekat dan masyarakat umum. Bahkan, setahun terakhirterjadi peningkatan kasus penyalahgunaan wewenang dan eksploitasi korban oleh pelaku yang seharusnya menjadi pelindung dan pihak yang dihormati.
Adapun para pelaku kekerasan dimaksud adalah aparatur sipil negara (ASN), guru, dosen, tokoh agama, tenaga medis, pejabat publik, anggota TNI/ Polri, serta aparat penegak hukum (APH) lainnya.
”Meski jumlahnya tidak dominan, jika digabungkan mencapai sekitar sembilan persen dari total pelaku yang dilaporkan. Sembilan persen ini cukup tinggi. Karena seharusnya mereka jadi orang yang dihormati, pelindung, atau harusnya menjadi panutan, bukan jadi pelaku,” ujar Alimatul Qibtiyah, Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), pada Peluncuran Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2022 dan Data kekerasan Perempuan 2021, Senin (7/3/2022).
Peluncuran catatan tahunan yang bertema ”Bayang-bayang Stagnansi: Daya Pencegahan dan Penanganan Berbanding Peningkatan Jumlah, Ragam dan Kompleksitas Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan” dibuka oleh Wakil Ketua Komnas Perempuan, Olivia C Salampessy. Selain Alimatul, paparan yang dipandu Bahrul Fuad, juga disampaikan oleh komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi dan Rainy Hutabarat.
Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah mengungkapkan, selama tahun 2021 Komnas Perempuan menyikapi tujuh kasus kekerasan seksual yang dilakukan pejabat publik, ASN, serta anggota TNI dan Polri. ”Bentuk kekerasan seksualnya adalah pemerkosaan, pencabulan, pelecehan seksual, pemaksaan aborsi, ingkar janji kawin, dan kekerasan seksual berbasis gender yang dilakukan oleh kepala desa, kepala dinas, anggota TNI dan Polri,” kata Aminah.
Baca juga: Komnas Perempuan Sesalkan Usulan Penundaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Selain relasi kekuasaan yang timpang, kekerasan seksual tersebut juga disebabkan ketergantungan ekonomi, usia, jabatan, dan konstruksi gender lainnya. Pelaku umumnya memanfaatkan kerentanan korban dan posisi kekuasaan yang dimilikinya untuk memaksa, menekan, meneror atau mengancam korban agar memenuhi keinginan pelaku, menjatuhkan mental korban, dan memaksa mencabut laporan. ”Dalam relasi pacaran dengan anggota TNI dan Polri terjadi pola kekerasan seksual, ingkar janji kawin, pemaksaan aborsi, dan penelantaran,” kata Aminah.
Tak hanya itu, Catatan Tahunan 2022 juga mencatat adanya kasus penyiksaan, perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia dalam proses penyidikan perempuan berhadap dengan hukum (PBH). Bentuknya adalah penelanjangan, pemerkosaan untuk memaksa, menekan, mengintimidasi bahkan menyiksa agar perempuan memberikan keterangan yang diinginkan penyidik. Selain itu kekerasan verbal termasuk pelecehan seksual dan kekerasan fisik.
Meningkat 50 persen
Pada tahun 2021, total kasus kekerasan berbasis gender (KBG) terhadap perempuan yang dilaporkan mencapai 338.496 kasus, yang berasal dari laporan yang diterima langsung Komnas Perempuan (3.838 kasus), laporan lembaga layanan (7.029 kasus), dan Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung sebanyak 327.639 kasus.
”Artinya, terjadi peningkatan signifikan 50 persen kasus KBG terhadap perempuan di tahun 2021 dibandingkan tahun 2020 yang sebanyak 226.062 kasus. Lonjakan tajam terjadi pada data Badilag sebesar 52 persen, yakni dari 215.694 di tahun 2020 menjadi 327.629 di tahun 2021,” ujar Wakil Ketua Komnas Perempuan Olivia C Salampessy.
Baca juga: Komnas Perempuan Sarankan Qanun Jinayah Tak Atur soal Kekerasan Seksual
Peningkatan sebesar 80 persen juga terjadi pada data pengaduan ke Komnas Perempuan, yaitu dari 2.134 kasus (2020) menjadi 3.838 kasus (2021). Sedangkan data yang berasal dari lembaga layanan menurun 15 persen karena selama dua tahun pandemi Covid-19 sejumlah lembaga layanan sudah tidak beroperasi, sistem pendokumentasian kasus yang belum memadai, dan terbatasnya sumber daya.
Berdasarkan bentuknya, KBG terhadap perempuan paling banyak adalah kekerasan fisik (4.814 kasus), psikis (4.754 kasus), kekerasan seksual (4.660 kasus), dan ekonomi (1.887 kasus).
Selain berdampak fisik, psikis, ekonomi dan sosial, kekerasan seksual telah menyebabkan korban meninggal dan menjadi penyandang disabilitas.
Sementara di ranah personal, bentuk kekerasan mulai dari kekerasan terhadap istri, kekerasan oleh mantan suami atau kekerasan dalam rumah tangga, hingga kekerasan dalam pacaran dan kekerasan oleh mantan pacar. Kekerasan seksual berbasis gender (KSBG) juga meningkat 83 persen (1.721 kasus) dibandingkan tahun 2020 (940 kasus). Bentuk KSBG terbanyak adalah upaya mengontrol atau menekan perempuan, seperti penyebaran konten porno serta pendekatan untuk memperdaya agar mendapat keuntungan seksual.
Selama 2021, kekerasan seksual di lembaga pendidikan juga mengemuka, termasuk di lingkungan pendidikan berasrama dan berbasis keagamaan. Ironisnya, tidak ada dukungan dan perlindungan dari lembaga pendidikan bersangkutan. Sebaliknya, korban diintimidasi pelaku atau kampus/lembaga pendidikan sebab kasusnya dipandang dapat merusak nama baik.
”Di sisi lain, kekerasan seksual terhadap perempuan dengan disabilitas terjadi berulang kali dan baru diketahui setelah perubahan fisik korban yang cukup menonjol. Akomodasi layak, penerjemah, pendamping, dan pemahaman aparat penegak hukum akan ragam disabilitas masih terbatas,” ujar Rainy.
Asfinawati, Wakil Ketua Bidang Pengabdian Masyarakat Jentera, mengungkapkan, kekerasan yang melibatkan ASN, aparat penegak hukum dan aparat keamanan menunjukkan rekrutmen, pendidikan, dan promosi di kepolisian, TNI, dan penyelenggara negara belum berhasil mengubah kultur patriarki. Selain itu, sistem peradilan Indonesia hingga kini belum menjadi lembaga pemulihan terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan.
Kekerasan yang melibatkan ASN, aparat penegak hukum dan aparat keamanan menunjukkan rekrutmen, pendidikan, dan promosi di kepolisian, TNI, dan penyelenggara negara belum berhasil mengubah kultur patriarki.
”Yang menarik data catatan tahunan ini sebetulnya menunjukkan kekerasan punya wajah lain, yakni tingkat pendidikan tidak berpengaruh pada melakukan atau tidak kekerasan terhadap perempuan,” ujar Asfinawati.
Yustina Fendrita, Direktur Yayasan Lambu Ina-Muna, Sulawesi Tenggara, mengakui, terjadi perubahan dalam layanan pengaduan korban yang dipengaruhi oleh situasi pandemi Covid-19. Selama dua tahun terakhir, lembaga layanan mengalami krisis dukungan finansial.
”Beberapa layanan harus menutup operasional pendampingan kasus, tetapi ada yang masih memberikan layanan walaupun terbatas,” ujar Yustina.