Komunitas Masyarakat Bantu Anak Mengakses Pendidikan
Sejumlah komunitas masyarakat bergerak agar anak-anak kurang mampu bisa mengakses pendidikan. Menurut mereka, pendidikan adalah hak dasar setiap anak.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Akses pendidikan belum sepenuhnya menyentuh semua lapisan masyarakat, utamanya anak dari keluarga prasejahtera. Komunitas masyarakat pun bergerak memberikan layanan pendidikan informal ke lapangan.
Hal ini dilakukan komunitas Rumah Belajar Pelangi Nusantara sejak 2010. Mereka mengumpulkan anak-anak keluarga prasejahtera untuk bermain dan belajar bersama. Semula, kegiatan ini dilakukan di beberapa titik di Jakarta, seperti Muara Angke, Pantai Indah Kapuk, dan Rawamangun. Namun, karena beberapa alasan, kegiatan tersebut kini hanya berlangsung di kawasan padat penduduk di Rawamangun.
“Ada 60-70 anak yang biasanya mengikuti kegiatan kami, sementara jumlah pasti relawan ada dua orang. Kami baru mengadakan dua kali pertemuan di tahun 2022. Untuk sementara, kegiatan diliburkan karena kasus Covid-19 kembali naik,” kata pendiri Rumah Belajar Pelangi Nusantara Valentina Sastrodihardjo saat dihubungi, Senin (28/2/2022).
Anak-anak tersebut berasal dari berbagai latar belakang. Ada yang bersekolah di sekolah formal, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), dan ada pula yang tidak sekolah. Menurut Valentina, meski ada sejumlah skema bantuan pendidikan seperti Kartu Jakarta Pintar (KJP), layanan pendidikan tidak serta-merta bisa diakses semua anak.
Beberapa dari mereka tidak memiliki akta lahir. Nama mereka juga ada yang tidak tercatat di Kartu Keluarga. Padahal, data tersebut penting untuk mengakses layanan pendidikan.
Semua anak harus diberi kesempatan memperoleh pendidikan setinggi-tingginya. Ini berlaku ke semua anak, baik difabel maupun anak dari berbagai latar belakang ekonomi dan sosial
Itu sebabnya ia dan sejumlah relawan turun ke lapangan membantu anak-anak belajar. Sebelum pandemi, kegiatan ini rutin dilakukan tiap pekan. Kegiatan sempat berhenti di beberapa bulan pertama pandemi. Setelahnya, kegiatan kembali dilakukan secara terbatas. Kelas dibagi dua kloter dengan durasi masing-masing 30-45 menit.
“Pendidikan menjadi tanggung jawab kita semua, tidak hanya pemerintah. Sebagai pendidik, saya bisanya membuat komunitas serta menemani anak bermain dan belajar. Ada kontribusi waktu, tenaga, dan pemikiran di situ,” ucap Valentina.
Adapun Sekolah Alternatif Anak Jalanan (SAAJA) fokus ke pendidikan anak usia dini. Sekolah informal yang dibuat sejak dua dekade lalu ini terbuka untuk anak-anak keluarga prasejahtera. Pendaftaran dibuka setiap tahun ajaran baru. Agar layanan pendidikan ini tepat sasaran, pihak sekolah akan melakukan survei ke rumah calon siswa.
Kepala SAAJA Kristina Iin Dwiyanti mengatakan, sekolah itu menampung anak-anak dari permukiman di sekitar kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Profesi orangtua mereka beragam, antara lain pemulung, pembersih makam, dan asisten rumah tangga.
Anak-anak yang belajar di SAAJA tidak dikenakan biaya. Sekolah ini mengandalkan dana donatur untuk beroperasi. Sesekali ada perusahaan atau perguruan tinggi yang datang untuk bekerja sama, misalnya untuk kegiatan tanggung jawab korporasi (CSR) dan kuliah kerja nyata (KKN).
“Tidak ada donatur tetap. Walau kadang kami tidak memiliki pemasukan dan mesti beroperasi secara terbatas, tapi kami tetap berusaha agar anak tidak berhenti belajar. Rezeki untuk anak itu pasti ada,” kata Iin.
Kendati berupa sekolah non-formal, anak-anak tetap menerima rapor dan ijazah. Selain itu, SAAJA juga membuka program bimbingan belajar gratis untuk anak SD-SMA. Program ini sempat dihentikan selama pandemi dan baru kembali aktif per Februari 2022.
“Pendidikan tidak hanya untuk orang yang punya uang. Namun, saat bantuan pemerintah tidak sampai ke bawah, kita yang mesti bergerak menjadi perpanjangan tangan pemerintah,” kata Iin. “Pendidikan penting untuk bekal anak menata masa depan,” tambahnya.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra mengatakan, pendidikan ialah hak anak. Memastikan anak-anak memperoleh pendidikan sama dengan memastikan terciptanya generasi emas di 2045.
“Semua anak harus diberi kesempatan memperoleh pendidikan setinggi-tingginya. Ini berlaku ke semua anak, baik difabel maupun anak dari berbagai latar belakang ekonomi dan sosial,” ucapnya.