Minim, Data Dampak Pandemi terhadap Masyarakat Adat
Tidak semua kelompok masyarakat adat memiliki ketahanan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Namun, dampak pandemi terhadap mereka masih minim pencatatan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Masing-masing kelompok masyarakat adat memiliki cara dan daya tahan yang berbeda menghadapi pandemi Covid-19. Namun, data yang mencatat dampak pandemi terhadap mereka masih minim. Padahal, data penting untuk menentukan intervensi yang tepat di masa krisis.
Hal ini tampak dari laporan Adaptasi dan Mitigasi Masyarakat Adat terhadap Pandemi Covid-19: Pembelajaran dan Urgensi Perlindungan. Laporan tersebut diinisiasi Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat (KMA), serta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Laporan itu berdasarkan survei ke pendamping dan anggota masyarakat adat di 112 titik di 32 provinsi pada November 2021.
Koordinator tim penulis laporan Yanu Endar Prasetyo pada Selasa (15/2/2022) mengatakan, wabah bukan hal baru bagi masyarakat adat. Mereka sudah memiliki pengetahuan yang diwariskan secara turun-temurun untuk menghadapi wabah.
Masyarakat adat Punan Tubu di Kalimantan, misalnya, menghindari penularan penyakit dengan menjauh ke dalam hutan. Mereka juga diajarkan tinggal terpisah dalam kelompok kecil yang hanya berisi keluarga inti. Penduduk yang sakit akan ditinggalkan di tempat khusus yang sudah ditandai.
Wabah bukan hal baru bagi masyarakat adat. Mereka sudah memiliki pengetahuan yang diwariskan secara turun-temurun untuk menghadapi wabah.
Adapun masyarakat adat Topo Uma di Sulawesi Tengah melakukan karantina mandiri di polompua atau rumah kebun. Orang yang sakit dapat tinggal di sana sambil berkebun. Sementara itu, masyarakat Badui di Banten menutup pintu masuk wilayah mereka. Kedatangan orang asing sangat dibatasi selama pandemi.
Namun, karakteristik masyarakat adat tidak bisa disamakan. Ada masyarakat yang tertutup, semitertutup, dan terbuka dengan pihak luar. Hal ini memengaruhi dampak pandemi dan ketahanan mereka di masa krisis.
Ada pula yang mampu menjamin ketahanan pangannya saat pandemi. Namun, hal itu tidak berlaku bagi masyarakat yang tidak lagi memiliki akses penuh terhadap lahan akibat konflik agraria. Ada pula masyarakat yang menghadapi keterbatasan akses layanan kesehatan dan informasi. Hal ini menambah kerentanan masyarakat adat.
”Itu sebabnya, dampak pandemi bisa berbeda-beda. Namun, dampaknya ke masyarakat adat belum banyak diketahui,” ujar Yanu, yang juga peneliti Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Menurut Yanu, secara garis besar pandemi berdampak pada aspek kesehatan, ekonomi, dan sosial, serta budaya masyarakat adat. Dari sisi kesehatan, belum semua kasus Covid-19 di masyarakat adat tercatat. Beberapa alasannya ialah penyangkalan masyarakat dan kepercayaan bahwa Covid-19 tidak akan sampai ke wilayah mereka.
Pada 2021, Kompas mencatat ada lonjakan kematian hingga 10 kali di sejumlah desa di Jawa. Angka itu jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata kasus kematian per bulan dalam lima tahun terakhir. Hal serupa dikhawatirkan terjadi di wilayah masyarakat adat dan tidak tercatat.
Pandemi berdampak pula terhadap pendapatan masyarakat yang mengandalkan pariwisata. Survei menunjukkan bahwa kunjungan orang dari luar komunitas adat turun hingga 90 persen. Akibatnya, hampir 80 persen pendapatan masyarakat adat turun. Sejumlah masyarakat juga kesulitan menjual hasil bumi karena pembatasan sosial.
Memahami karakter dan dampak pandemi terhadap masyarakat dinilai penting untuk menentukan bantuan yang tepat. Adapun edukasi tentang pandemi, layanan kesehatan, hingga vaksinasi ke masyarakat adat membutuhkan pendekatan yang tepat. Intervensi tersebut mesti memperhatikan kearifan dan nilai lokal.
Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia Semiarto Aji Purwanto menambahkan, masyarakat adat mengalami berbagai kerentanan. Masuknya pengetahuan baru berupa sains, pendidikan sekolah, hingga pembangunan dapat menghilangkan pengetahuan dan kearifan lokal.
”Orang yang masih berpegang pada keyakinan lama semakin sedikit. Mereka rentan dijadikan kelompok marginal karena tidak sesuai dengan konteks kehidupan modern. Mereka juga rentan terhadap pandangan yang menyudutkan, misalnya dinilai belum maju dan belum beradab,” ujar Semiarto.
Menurut Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid, kearifan lokal masyarakat adat dapat diadaptasi ke kehidupan masa kini. Pandemi dinilai membawa kesadaran baru bahwa cara hidup manusia modern tidak berkelanjutan.
Kendati telah berusia ratusan hingga ribuan tahun, kearifan lokal dinilai masih relevan hingga kini. Ini karena kearifan lokal sudah teruji oleh waktu dan masih hidup di masyarakat. ”Ini bukan masalah kembali ke masa lalu, melainkan secara arif belajar kearifan lokal,” kata Hilmar.