Tata Kelola Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal Bawa Perlindungan Alam dan Kesejahteraan
Hasil penelitian terbaru menemukan bahwa upaya konservasi yang dilakukan masyarakat adat dan komunitas lokal memberikan hasil terbaik dalam jangka panjang dibandingkan yang dilakukan pihak eksternal.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
Hasil penelitian terbaru menemukan bahwa upaya konservasi yang dilakukan masyarakat adat dan komunitas lokal memberikan hasil terbaik dalam jangka panjang. Fakta ini terungkap setelah tim peneliti mempelajari hasil dari 169 proyek konservasi di seluruh dunia, terutama di Afrika, Asia, dan Amerika Latin.
Penelitian tentang keberhasilan konservasi yang dilakukan oleh tim peneliti dari University of East Anglia (UEA), Inggris, dan mitra di Perancis tersebut telah terbit di jurnal Ecology and Society, 2 September 2021. Tim peneliti mengidentifikasi dan menganalisis tata kelola seperti pengaturan dan pengambilan keputusan dalam upaya konservasi memengaruhi alam dan kesejahteraan masyarakat adat maupun komunitas lokal.
Sejumlah proyek konservasi yang dianalisis di antaranya pemulihan hutan nasional di Taiwan dan kebun masyarakat di Nepal, restorasi daerah aliran sungai di Kongo, perikanan berkelanjutan di Norwegia, serta pelestarian lahan basah di Ghana.
Tidak adanya pelibatan mereka dalam konservasi tidak menutup kemungkinan akan mengakibatkan penurunan ekologis dan kerusakan sosial dalam satu dekade ke depan.
Para peneliti menemukan bahwa 56 persen dari studi tentang konservasi oleh komunitas lokal memberikan hasil positif bagi kesejahteraan masyarakat maupun lingkungan. Sementara hanya 16 persen hasil studi yang menunjukkan keberhasilan dan efektivitas upaya konservasi yang dipimpin oleh pihak eksternal.
Bahkan, hasil penelitian menemukan sepertiga kasus konservasi oleh pihak eksternal mengakibatkan sejumlah kegiatan tidak berjalan efektif dan memicu kondisi sosial yang buruk. Sebab, kegiatan konservasi oleh pihak eksternal tersebut sebagian besar memicu konflik dengan masyarakat adat atau komunitas lokal.
Selain itu, proses globalisasi dan modernisasi sering mengganggu kohesi komunitas, pengetahuan dan nilai berasama, inklusi sosial, kepemimpinan, hingga otoritas dalam program konservasi. Di sisi lain, faktor-faktor eksternal lainnya juga sangat menghambat pengelolaan lokal, seperti undang-undang dan kebijakan yang mendiskriminasikan masyarakat adat atau sistem lokal yang mendukung kegiatan komersial.
Peneliti dari UEA School of International Development sekaligus penulis utama studi tersebut Neil Dawson mengemukakan, konservasi oleh masyarakat adat dan komunitas lokal dilakukan berdasarkan pengetahuan ataupun sistem yang sudah diwariskan secara turun-temurun. Hal ini jauh lebih memberikan hasil positif bagi alam.
”Faktanya, konservasi sering gagal karena mengesampingkan dan meremehkan pengetahuan lokal. Upaya konservasi kerap melanggar hak dan keragaman budaya lokal. Jadi inilah saatnya untuk fokus pada siapa melestarikan alam dan bagaimana cara mereka melakukannya,” ujarnya dikutip dari situs resmi UEA, Jumat (10/9/2021).
Program konservasi yang dilakukan saat ini banyak dipimpin oleh organisasi konservasi internasional dan pemerintah setempat. Dalam praktiknya, mereka jarang melibatkan masyarakat dan praktik lokal. Upaya konservasi yang dilakukan juga hanya sebatas memperketat kawasan lindung.
”Studi ini merekomendasikan bahwa masyarakat adat dan komunitas lokal perlu memimpin upaya konservasi dengan dukungan yang termasuk kebijakan dan undang-undang yang mengakui sistem pengetahuan mereka. Tidak adanya pelibatan mereka dalam konservasi tidak menutup kemungkinan akan mengakibatkan penurunan ekologis dan kerusakan sosial dalam satu dekade ke depan,” tuturnya.
Pelibatan masyarakat adat
Menurut Dawson, kebijakan yang ada saat ini terutama konferensi tingkat tinggi (KTT) tentang iklim dan keanekaragaman hayati PBB harus merangkul dan memastikan peran sentral masyarakat adat dan komunitas lokal. Mereka harus benar-benar dilibatkan dalam program iklim dan konservasi arus utama.
”Strategi konservasi perlu diubah. Faktor terpenting dalam mencapai hasil konservasi yang positif bukanlah tingkat pembatasan atau besarnya manfaat yang diberikan kepada masyarakat lokal, tetapi lebih pada pengakuan praktik budaya lokal dan pengambilan keputusan. Saat ini sangat penting untuk mengubah paradigma tersebut,” ujarnya.
Peneliti dari European School of Political and Social Sciences (ESPOL) di Catholic University of Lille, Perancis, Brendan Coolsaet, menyatakan bahwa terdapat serangkaian mekanisme yang memungkinkan untuk memperkuat peran masyarakat adat dan komunilas lokal. Salah satunya, yaitu dengan memastikan adanya regulasi sumber daya atau dengan mengakui praktik konservasi mereka di lapangan.
”Upaya lainnya, yaitu dengan memformalkan hak atas tanah masyarakat ada. Hal ini diperlukan karena masyarakat adat jarang memiliki sarana hukum untuk melindungi wilayah mereka dari eksploitasi eksternal,” ujarnya kepada surat kabar Perancis La Croix.
Studi tentang keberhasilan konservasi ini merupakan bagian dari proyek penelitian JustConservation yang didanai oleh French Foundation for Research on Biodiversity (FRB) di Center for Biodiversity Synthesis and Analysis (CESAB). Studi ini merupakan hasil kolaborasi 17 ilmuwan termasuk peneliti dari ESPOL dan UEA.