Pembahasan RUU TPKS yang Berpacu dengan Kemunculan Kasus
Kekerasan seksual terus berulang dan terjadi di berbagai tempat. Korban terus berjatuhan, termasuk anak-anak. DPR dan pemerintah terus didorong segera wujudkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
Kekerasan seksual di Indonesia benar-benar berada pada tingkat mengkhawatirkan dan membutuhkan segera intervensi negara dalam berbagai bentuk, mulai dari pencegahan, penanganan, hingga pemulihan. Kehadiran Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual kian terasa kemendesakannya.
Sebab, fakta di lapangan menunjukkan kekerasan seksual kini seolah kian tak terkendali, tak kenal waktu, tempat, dan pelaku. Tempat yang seharusnya aman, seperti institusi pendidikan, pun tak luput dari noktah merah. Dari segi latar belakang, pelakunya pun umumnya tidak jauh dari kehidupan para korban, bahkan keluarga paling dekat, ayah, kakak, adik, dan saudara hingga guru agama serta pamong masyarakat.
Bahkan, di saat pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sedang memproses Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), berbagai kekerasan seksual masih terus terjadi di tengah masyarakat, termasuk di lingkungan pendidikan berbasis keagamaan. Sejumlah kekerasan seksual di daerah terungkap dan dilaporkan kepada aparat kepolisian dan lembaga pendamping korban baik yang dikelola pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil.
Proses pemulihan korban sangat perlu dan menjadi perhatian serius.
Di saat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tengah berpacu menyiapkan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU TPKS, kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan berbasis keagamaan kembali terungkap. Kementerian PPPA mendapat laporan dua kasus kekerasan seksual yang terjadi di sebuah pondok pesantren di Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur, dan di sebuah madrasah di Kabupaten Mamuju.
Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA Nahar mengungkapkan, dari informasi yang dihimpun, kasus kekerasan seksual dengan tindak pidana pencabulan di Pamekasan menyebabkan tiga korban santriwati, sedangkan di Mamuju korbannya adalah tujuh murid perempuan madrasah.
Pelakunya adalah pendidik yang seharusnya mengasuh, mengayomi, dan mengajarkan ilmu agama justru melakukan pelecehan dan kekerasan seksual pada anak didiknya. Kami mengecam keras kasus kekerasan seksual pada anak, ini adalah tindak kejahatan serius, ujar Nahar.
Saat ini, kasus tersebut telah ditangani oleh Kepolisian Resor Pamekasan dan Kepolisian Resor Kota Mamuju dan menangkap pelakunya. Adapun korban saat ini mendapat pendampingan dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak (PPTP3A) Kabupaten Pamekasan dan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi Sulawesi Barat.
Selain memberikan terapi psikologis kepada para korban, para korban akan didampingi agar bisa kembali menempuh pendidikan/latihan kerja atau kembali ke pesantren. Pendampingan proses hukum sampai di persidangan juga harus terus dilakukan.
Perbuatan para pelaku menurut Nahar, jika memenuhi unsur dalam Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 tentang Perubahan atas UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak, akan dijerat dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000 ditambah sepertiga dari ancaman pidana.
Tak cuma itu, pelaku akan dipidana dengan pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku serta tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
Untuk memastikan korban mendapat perlindungan, Kementerian PPPA memastikan akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas, mulai dari proses hukum hingga reintegrasi sosial korban ke lingkungan masyarakat.
”Proses pemulihan korban sangat perlu dan menjadi perhatian serius,” kata Nahar.
Karena itu, tidak berhenti di situ, Kementerian PPPA pun mendesak seluruh pendidik di sekolah berbasis agama harus melakukan pencegahan dan pengawasan perlindungan anak dari kekerasan, khususnya kekerasan seksual. Begitu pula dengan masyarakat dan instansi yang berwenang juga diharapkan tidak lalai melakukan pengawasan.
Kepada orangtua tetap mengecek keberadaan anak-anak yang mengikuti pendidikan di sekolah meski itu berbasis agama, termasuk yang berbasis asrama. Perhatian ini penting menyusul berbagai kasus kekerasan seksual yang terjadi. Bahkan, kasus di sebuah pondok pesantren Bandung, Jawa Barat, belasan anak menjadi korban pemerkosaan dari pemimpin pondok pesantren, hingga hamil dan melahirkan anak.
Terus sempurnakan DIM
Hingga Selasa (8/2/2022), tim Kementerian PPPA terus mempertajam dan menyempurnakan DIM RUU TPKS melalui diskusi intens dengan berbagai pihak, seperti masyarakat sipil, akademisi, kementerian/lembaga, tenaga layanan, hingga pemerintah daerah.
Pertemuan-pertemuan tersebut, menurut Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati, sebagai bentuk semangat, komitmen, dan keseriusan bersama untuk mewujudkan perlindungan bagi warga negara Indonesia, khususnya perempuan, anak, dan kelompok rentan lainnya dari kekerasan seksual.
”Kami berusaha menyempurnakan DIM agar aspirasi dan masukan dari berbagai pihak, termasuk masyarakat sipil bisa diakomodasi,” ujar Darmawati kepada Kompas, Selasa malam. Ia pun menyatakan, jika sudah siap, pemerintah segera serahkan DIM kepada DPR.
Tak hanya pemerintah, kelompok masyarakat sipil juga terus mengawal perjalanan RUU TPKS. Berbagai dialog dan diskusi yang memperkaya RUU TPKS dan DIM pemerintah terus digelar para aktivis perempuan. Bahkan, masukan-masukan kritis disampaikan langsung kepada Kementerian PPPA.
Pembahasan memang perlu matang dan tidak terburu-buru agar regulasi yang dihasilkan bisa berpihak kepada perlindungan korban. Isi perundang-undangan pun agar bisa diimplementasikan sebagai taring yang tajam untuk mencegah terjadinya kasus. Namun, seiring pembahasan-pembahasan tersebut, di luar sana, kasus kekerasan seksual terus bermunculan dan tangisan korbannya memanggil rasa kemanusiaan kita.