Kerentanan Pekerja Pengaruhi Keberlanjutan Ekosistem Seni
Pekerja seni mengalami berbagai kerentanan di dunia kerja, mulai dari tidak adanya jaring pengaman sosial hingga kontrak kerja. Kerentanan itu bisa berdampak ke keberlanjutan ekosistem seni.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Sejatinya ekosistem seni tidak hanya bertumpu pada seniman. Ada orang-orang di balik layar yang turut bekerja keras menyukseskan hajatan seni. Misalnya, dalam sebuah pameran seni ada peran dari peneliti, penata cahaya, penulis katalog, editor, ilustrator, art handler, desainer, tim manajerial, hingga pencari dana. Namun, peran mereka kerap tak terhitung dalam keberlanjutan ekosistem seni.
Pekerja seni juga mengalami kerentanan di dunia kerja. Sebagian dari mereka diupah berdasarkan proyek. Ada pula yang bekerja tanpa kontrak, bekerja tanpa posisi yang jelas, serta tidak memiliki jaring pengaman sosial. Beberapa pekerja juga direkrut secara informal sehingga mengaburkan perihal hak dan tanggung jawab pekerja.
Hal ini tampak dari survei yang dilakukan seniman untuk instalasi seni berjudul ”Paranormal Baru: Penampakan”. Instalasi karya Cecil Mariani dan Anggraeni Widhiasih ini dipamerkan pada ajang Jakarta Biennale 2021 yang berlangsung pada November 2021-Januari 2022.
Ada 106 individu yang mengikuti survei ini sejak pertengahan Oktober 2021 hingga 15 November 2021. Mereka adalah pekerja seni di berbagai kota di Indonesia. Ada pula yang bekerja di luar negeri.
Survei menyatakan, ada 25,3 persen responden yang berstatus pekerja tetap. Sementara itu, 30,9 persen lainnya berstatus pekerja kontrak berbasis proyek, 24,7 persen pekerja harian lepas, dan 16,7 persen berstatus tidak jelas atau ”bantu-bantu”.
Peneliti seni, Cecil Mariani, mengatakan, dari 106 responden, survei mengidentifikasi ada 162 status kerja. Ini berarti satu individu memiliki lebih dari satu jenis pekerjaan. Ada yang punya pekerjaan ganda, ada pula yang berafiliasi dengan lebih dari satu organisasi. Mereka bekerja ganda agar bisa memenuhi kebutuhan hidup.
”Responden juga menyampaikan tantangan kerja. Ada yang menyebut bahwa pekerjaan seni tidak ada pengaman finansial dan serta minim penghargaan ke kerja-kerja printilan,” kata Cecil pada diskusi daring #PekerjaBicara ”Di Balik Panggung Seni Jakarta”, Sabtu (5/2/2022). Diskusi ini diselenggarakan oleh Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi).
Jam kerja yang tak terukur juga menjadi salah satu tantangan para pekerja seni. Jam kerja fleksibel rawan menyebabkan eksploitasi. Ekosistem kerja pun dinilai belum sehat karena pekerja terbagi dalam ”kelas-kelas sosial”. Di sisi lain, mereka juga mesti bekerja dengan sumber daya yang terbatas.
Survei menunjukkan pula bahwa pekerja seni berharap ada sistem kerja yang teratur dan sehat. Mereka juga berharap ada pengorganisasian ekonomi untuk memperkuat kondisi finansial bersama, salah satunya dengan koperasi.
”Jika diberi kesempatan untuk mengubah keadaan, responden ingin ada sistem kerja yang menjamin kesehatan fisik dan mental para pekerja seni,” ujar Cecil.
Keberlanjutan seni
Menurut peneliti seni, Anggraeni Widhiasih, kerentanan pekerja seni dapat berdampak ke keberlanjutan ekosistem seni. Ia menjelaskan bahwa ekosistem seni ditopang oleh tiga proses utama. Pertama, menggarap gagasan atau konsep seni.
Kedua, proses mewujudkan gagasan menjadi karya yang nyata. Ketiga, presentasi obyek atau peristiwa seni. Namun, proses perwujudan karya seni kerap tidak dilihat publik. Padahal, proses itu yang paling banyak melibatkan peran pekerja seni. Itu sebabnya lingkungan kerja yang sehat penting buat pekerja seni.
”Bagaimana bisa memproduksi gagasan seni jika untuk makan sehari-hari saja sulit? Atau saat sulit berobat ke rumah sakit? Hal-hal seperti ini nantinya berpengaruh ke regenerasi,” kata Anggraeni.
Terhambatnya regenerasi akan membuat ekosistem seni menjadi timpang karena kekurangan sumber daya manusia. Anggraeni menambahkan, mengabaikan kondisi kerja yang sehat pada akhirnya akan mengancam produksi seni.
Kerentanan pekerja seni juga bisa disebabkan konflik antarinstansi. Menurut Wakil Ketua Serikat Pekerja Dewan Kesenian Jakarta (SP DKJ) Ana Rosdianahangka, puluhan pekerja seni DKJ berpotensi kehilangan pekerjaan. Ini dampak dari pemindahan Sekretariat DKJ ke Unit Pengelola Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki sesuai Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 4 Tahun 2020.
Unit Pengelola Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (UP PKJ-TIM) hanya menerima empat pekerja DKJ dengan status pekerja kontrak. Sementara itu, DKJ memiliki 25 pekerja tetap dan 10 pekerja paruh waktu.
”Pemprov DKI Jakarta akan mengakomodasi 25 pekerja DKJ sebagai PJLP (penyedia jasa lainnya perorangan). Namun, itu merugikan karena status kerjanya menjadi pekerja kontrak. Masa kerja juga dibuat nol dan kami tidak mendapat sejumlah hak, seperti uang transportasi, uang lembur, uang makan, THR (tunjangan hari raya), hingga jaminan BPJS,” kata Ana.
Dinas Kebudayaan DKI Jakarta telah menanggapi keberatan yang diajukan DKJ. Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta Iwan Henry Wardhana sebelumnya berharap agar semua pihak dapat terakomodasi dengan baik (Kompas.id, 17/12/2021).