Jurnalisme ”Clickbait” Tak Punya Sensitivitas Jender
Era digital mendorong hadirnya jurnalisme ”clickbait” yang lebih mencari sensasi. Konten tentang perempuan sering dimunculkan tanpa ada sensitivitas jender.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perkembangan teknologi digital yang salah satunya mendorong jurnalisme clickbait atau mengejar klik menghadirkan ruang pemberitaan yang tidak memiliki kesadaran dan sensitivitas jender. Karena itu, komitmen pada jurnalisme berkualitas harus tetap kuat di tengah kerja dunia jurnalistik yang kini berbagi dengan para pencipta konten.
Peran perempuan jurnalis yang kini sudah mulai meningkat kariernya di media massa, bahkan memiliki posisi strategis di manajemen dan pimpinan redaksi, diharapkan dapat memperkuat komitmen pada pemberitaan yang sensitif jender, terutama ramah perempuan. Hanya dengan jurnalisme, baik yang hadir untuk menginspirasi maupun memberdayakan publik, media arus utama tetap dapat eksis untuk menjadi tempat mencari kebenaran atau clearing house.
Persoalan tentang jurnalisme berkualitas dengan kesadaran dan sensitif jender tersebut terungkap di webinar bertajuk ”Tantangan Jurnalis Perempuan di Era Digital” yang digelar Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI), Sabtu (5/2/2022). Kegiatan sebagai rangkaian peringatan Hari Pers Nasional 2022 ini menghadirkan Agus Sudibyo (anggota Dewan Pers), Rosianna Silalahi (Pemimpin Redaksi Kompas TV), dan Oky Taufik Dwiputra (Industri Patnership Manager TikTok Indonesia) .
Menurut Agus, saat ini ada genre baru kerja jurnalistik yang serba mengejar klik. Semakin berkembang jurnalisme yang memberikan gosip dan selebritas yang bisa mengalahkan jurnalisme baik. Ada ”tabloidisasi” dari ruang pemberitaan.
”Kini, jurnalis juga berbagi ruang dengan content creator. Tapi dampak dari semua itu, banyak konten yang obyeknya perempuan, tapi dalam pemberitaan apakah ada kesadaran dan sensibilitas jender, atau hanya mengeksploitasi jender?” kata Agus.
Saat ini ada genre baru kerja jurnalistik yang serba mengejar klik. Semakin berkembang jurnalisme yang memberikan gosip dan selebritis yang bisa mengalahkan jurnalisme baik. Ada ”tabloidisasi ” dari ruang pemberitaan.
Agus mengatakan, fenomena jurnalisme clickbait ini karena ”menghamba” pada platform digital untuk membuat berita yang banyak dibaca/ditonton. Salah satu kasus kecelakaan yang menimpa artis Vanessa Angel dan suaminya dipakai sebagai sarana media untuk meraih pageview, misalnya.
Kasus kecelakaan itu seharusnya bisa membawa pesan bagi masyarakat agar lebih berhati-hati saat berkendara di jalan tol. Namun, media justru lebih lebih banyak menggali dari dimensi selebritas almarhumah dalam waktu yang lama.
”Jurnalisme clickbailt dan tabloidisasi ruang pemberitaan jadi kurang ramah perempuan. Karena itu, media massa perlu membangun kemandirian relatif dengan platform digital sehingga tidak 100 persen bergantung pada platform global ini. Sebab, (ini) bisa berdampak pada kelangsungan media dan jurnalisme yang diusung media,” kata Agus.
Sementara itu, Rossi mengatakan, dunia pertelevisian saat ini menghadapi dua pukulan besar yang dinilai ”kejam” dalam mengukur konten. Di era digital, televisi berhadapan dengan search engine optimization (SEO) dan pemeringkatan Nielsen. Hal ini bisa memengaruhi penentuan berita bukan dari sisi konten yang penting, melainkan dari sisi tren.
”Jika memang ada berita atau informasi yang memandang perempuan sebagai obyek atau tidak sensitif jender, ya perempuan harus berani bicara, speak up. Di dalam rapat redaksi, perempuan jangan diam untuk mengingatkan jangan ada berita-berita yang tidak adil terhadap perempuan, glorifikasi kekerasan dalam rumah tangga, atau menyatakan laki-laki bahagia dengan banyak istri,” kata Rossi.
Rossi mengakui ada cara kerja baru redaksi online yang mementingkan keterbacaan/viewer. Hal ini memang penting, tapi tetap harus dengan komitmen menyajikan konten yang penting, menginspirasi, dan memberdayakan publik.
Sebagai contoh, ada ceramah viral dari artis yang kini ustazah yang memaklumi KDRT (kekerasan dalam rumah tangga). Rosi mengatakan, dirinya salut dengan pertimbangan para perempuan jurnalis yang tidak ikut-ikutan ”memanggungkan” dia, tetapi memberi ruang pada para ustazah yang mendukung kesetaraan jender.
Rossi mengingatkan para perempuan jurnalis agar terus berani bicara dan menyadarkan orang-orang di sekelilingnya, baik perempuan maupun laki-laki, agar lebih sensitif jender.
Dengan fenomena tiap orang bisa menjadi pembuat situs web dan mengeksploitasi perempuan, lalu Kompas Gramedia membuat situs web parapuan.co. Rossi mengatakan, upaya ini sebagai langkah untuk menjawab kegelisahan dan memberikan asupan atau alternatif konten yang lebih menginspirasi dan memberdayakan perempuan. Di sana, ada bahasan tentang lady boss untuk mendorong perempuan menjadi pemimpin di tempat kerja.
”Kerja ini belum bisa disebut berhasil. Tapi yang penting kita melakukan ini. Kita enggak bisa hanya marah-marah atau jengkel. Yang bisa kita lakukan ya memberi alternatif informasi berkualitas,” kata Rossi.
Rossi menekankan, jangan sampai apa yang diyakini para perempuan jurnalis tentang prinsip jurnalisme baik, kesetaraan jender, dan keadilan perempuan dibiarkan ketika dilanggar dalam pemberitaan. Perjuangan juga perlu terus dilakukan di dalam ruang redaksi, utamanya di rapat redaksi.
Rossi juga membahas ketidakadilan yang dialami perempuan jurnalis. Contohnya reporter televisi perempuan jika melakukan kesalahan sering kali mendapatkan hujatan dari netizen yang tidak substansial pada konten, tetapi mengaitkan dengan kondisi fisik atau body shaming. Sebaliknya, jika reporter laki-laki yang melakukan kesalahan sering hanya disebut bego atau bodoh.
Ketua Umum FJPI Uni Lubis mengatakan, perempuan jurnalis semakin bertambah, bahkan yang mencapai posisi pemimpin redaksi juga bermunculan. Masa pandemi menunjukkan bahwa demokratisasi membuat perempuan juga sama dengan laki-laki yang bisa belajar dan bekerja dari mana saja.
Perempuan jurnalis didorong untuk terus mendukung jurnalisme berkualitas, termasuk yang menghormati kesetaraan jender. Misalnya dalam kasus kekerasan seksual yang terus muncul dan meningkat, para perempuan jurnalis bisa berkolaborasi untuk membuat liputan bersama yang mendalam sehingga mampu menyajikan informasi yang mendalam dan kaya.
”Kita harus yakin dengan terus menjalankan prosedur jurnalisme berkualitas, akan lahir karya jurnalistik berkualitas. Penyaluran informasi yang lebih luas menjangkau masyarakat kini bisa dengan media sosial atau platform digital. Kita harus mengutamakan kepentingan publik yang tinggi, tidak sekadar didorong algoritma,” kata Uni.
Agus mengatakan, Dewan Pers turut memonitor pemberitaan tentang perempuan dan memberikan peringatan, salah satunya dalam pemberitaan tentang Vanessa Angel yang beritanya dinilai berlebihan. Lalu, ada pelatihan junalisme ramah perempuan.
Menurut Agus, Dewan Pers juga sedang mempersiapkan pembuatan pedoman pemberitaan ramah keragaman yang diinisiasi Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk), termasuk perempuan dan kelompok minoritas lainnya. ”Adanya panduan ini sebagai upaya mencegah, tetapi di lapangan, ya ada yang melanggar upaya media massa,” kata Agus.
Agus mengakui, Dewan Pers masih kesulitan memonitor seluruh media siber karena jumlahnya banyak. Hingga saat ini belum ditemukan model pemantauan yang lebih efektif dan cepat. Selama ini, Dewan Pers masih bergantung pada pihak eksternal yang melapor kepada Dewan Pers.
Meskipun bersaing dengan konten bebas yang diciptakan pencipta konten dengan distribusinya yang mudah disebar di platform digital atau media sosial, Industri Patnership Manager TikTok Indonesia Oky Taufik Dwiputra mengatakan, para jurnalis dan media massa tetap memiliki kontribusi untuk dapat menyampaikan beragam informasi berkualitas. TikTok yang merupakan platform distribusi konten menghubungkan penyedia konten dengan pengguna sesuai kebutuhan.
”Konten berkualitas tentunya dibutuhkan dan kami berharap semakin banyak tersedia untuk pengguna dengan beragam preferensi. Media massa dapat memanfaatkan platform TikTok untuk bisa berbagi informasi tanpa terbatas di jumlah follower saja,” kata Oky.
Pengguna aktif global TikTok saat ini mencapai sekitar satu miliar orang. Di Asia Tenggara ada 240 juta pengguna. Ada 800 juta video yang dibuat dan menumbuhkan 1 triliun views.