Dewan Pers: Banyak Media Kejar Kecepatan dan Abai Kode Etik
Pengaduan sengketa pemberitaan ke Dewan Pers terus meningkat seiring pelanggaran kode etik jurnalistik yang masih terjadi. Pelanggaran didominasi judul berita yang menghakimi dan abai dalam mengonfirmasi.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Pers menangani 620 pengaduan sengketa pemberitaan sepanjang 2021. Jumlah itu meningkat sekitar 17 persen dibandingkan tahun sebelumnya sebanyak 527 pengaduan. Mayoritas sengketa terkait judul berita yang menghakimi dan abai dalam mengonfirmasi.
Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers Arif Zulkifli mengatakan, sengketa itu pada umumnya melanggar Pasal 1 dan 3 Kode Etik Jurnalistik yang meliputi independensi wartawan, akurasi berita, memberitakan secara berimbang, dan menerapkan asas praduga tak bersalah. Kebanyakan media yang diadukan mengakui pelanggaran tersebut.
“Mayoritas pengaduan seputar judul yang menghakimi, tidak konfirmasi, tidak uji informasi, dan hal-hal semacam itu,” ujarnya dalam gelar wicara ”Prospektif Pers Indonesia 2022” secara daring, Rabu (2/2/2022).
Arif menyebutkan, media terlapor bukan hanya yang belum terverifikasi oleh Dewan Pers, melainkan juga yang sudah terverifikasi. Dalam beberapa kasus, pihak pengadu melaporkan hingga 10 media sekaligus karena merasa terganggu dengan pemberitaannya.
”Kalau bisa dibikin simpel, urusannya (pelanggaran) berkaitan dengan model bisnis. Jadi, media sekarang kejar-kejaran dengan kecepatan. Mengejar traffic sehingga abai terhadap hal-hal mendasar tadi,” jelasnya.
Arif menuturkan, pengaduan masyarakat terhadap pemberitaan terlebih dahulu dianalisis oleh tenaga ahli di Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers. Kemudian, laporan itu dibahas dalam rapat untuk menentukan mekanisme penyelesaian sengketa.
Lewat mediasi, sengketa dapat diselesaikan melalui surat-menyurat yang disepakati pengadu, teradu (media), dan Dewan Pers. Namun, jika tidak mencapai kesepakatan, mekanismenya diserahkan kepada Dewan Pers.
“Keputusannya final dan mengikat. Setelah itu akan dikeluarkan PPR (pernyataan, penilaian, dan rekomendasi) tentang pengaduan tersebut,” ucapnya.
Ketua Komisi Penelitian, Pendataan, dan Ratifikasi Pers Dewan Pers Ahmad Djauhar mengatakan, tidak semua pihak menerima keputusan sengketa. Sebab, sebagian pengadu tidak memahami lembaga tersebut hanya menangani masalah etik, bukan pidana.
”Hukuman etik ini berupa memuat hak jawab, membuat berita ulang, meminta maaf, dan mengoreksi. Ada yang tidak puas dan maunya (teradu) dihukum badan (pidana penjara). Itu tidak bisa karena di luar Undang-Undang Pers,” katanya.
Ketidakpuasan pengadu membuat mereka menempuh jalur lain, seperti pidana umum, dengan melaporkannya kepada polisi. Namun, hal ini bisa dicegah jika mengacu pada nota kesepahaman antara Dewan Pers dan Polri.
“Intinya, kalau ada laporan masyarakat menyangkut kerja jurnalistik, tidak usah ditangani dulu (di kepolisian). Kasih dulu (laporannya) ke Dewan Pers,” ujarnya.
Djauhar menambahkan, hingga akhir 2021, pihaknya telah mendata sekitar 1.600 perusahaan media. Sebanyak 374 media di antaranya didata tahun ini. Sementara pada 2022 ditargetkan 450 media dapat terverifikasi secara administrasi dan faktual.
“Dengan begitu semakin banyak media memenuhi standar perusahan pers. Selain menggaji wartawan dengan benar, juga harus mendidik dan mengedukasi wartawannya. Misalnya, dengan mengikuti UKW (uji kompetensi wartawan),” katanya.
Ketua Komisi Pendidikan, Pelatihan, dan Pengembangan Profesi Pers Dewan Pers Jamalul Insan mengatakan, pengaduan sengketa pemberitaan meningkat setiap tahun. Sebagian besar pemimpin redaksi media yang dilaporkan belum mengikuti sertifikasi wartawan.
”Ada korelasi sangat kuat, kalau pemrednya tersertifikasi mengikuti UKW, medianya jauh lebih bagus. Dari 620 pengaduan (yang ditangani sepanjang 2021), sangat minim yang pemrednya bersertifikasi wartawan utama,” katanya.
Jamalul menyampaikan, pihaknya sedang membahas sanksi terhadap pemred, sebagai penanggung jawab, yang melakukan kesalahan berulang. Sanksi itu berupa penurunan jenjang kewartawanan, dari utama menjadi madya.
”Jadi, didegradasi statusnya. Ini sedang dibahas dan akan diputuskan dalam waktu tidak lama lagi,” ujarnya.
Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh mengatakan, kompleksitas pers ke depan akan semakin rumit. Media didorong mengeksplorasi ruang siber seiring berkembangnya platform digital.
”UKW menjadi syarat kalau ingin meningkatkan pers kita. Tetapi, kontennya harus terus diperbarui menyesuaikan perkembangan zaman,” ucapnya.