Kompetensi, Wajah Kemerdekaan Pers
Wartawan harus serba bisa, mampu membuat karya tekstual, audio, dan audiovisual. Kompetensi ini bisa membuat wartawan dan media terus relevan dengan publik dan kemerdekaan pers.
(2) Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. (3) Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. (Pasal 2 dan 3 Kode Etik Jurnalistik, 2006)
”Terwujudnya tingkah laku dan kapasitas profesional yang akan menjamin pers yang benar-benar jauh dari perbuatan abal-abal atau perbuatan tidak bermartabat lainnya merupakan suatu kemestian (is a must). Kalau tidak, wartawan akan dipandang sebagai kelompok yang tidak patut diperhatikan, demikian juga hasil kerja mereka.”
Pesan Ketua Dewan Pers (2010-2016) Bagir Manan itu tertulis dalam berita Dewan Pers Etika (Juni, 2015). Meskipun mengaku tak mengetahui dengan pasti jumlah wartawan di negeri ini, mantan Ketua Mahkamah Agung itu ingin memastikan, siapa pun wartawan Indonesia harus bermartabat. Bagir mengingatkan pula ada kesepakatan masyarakat pers di negeri ini, berupa Piagam Palembang (2010), yang dideklarasikan pada Hari Pers Nasional (HPN) tahun 2010.
Piagam Palembang menegaskan, wartawan Indonesia harus mempunyai kompetensi sebagai pewarta. Pemberi kabar pada masyarakat yang benar, tidak sembarang orang bisa melakukannya. ”Dalam bahasa hukum, kompetensi artinya berwenang atau memiliki hak bertindak atau membuat keputusan yang sah,” tulisnya. Bagir juga mengingatkan, hak bisa melahirkan kesewenangan, dan wewenang bisa melahirkan penyalahgunaan, selain kebaikan. Jurnalis harus bisa menjaga hak dan kewenangannya agar tetap dihormati masyarakat. Martabatnya harus terjaga.
Konsideran menimbang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pun menegaskan, Bahwa pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dari pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari mana pun.
Hak dan kewenangan wartawan dalam menjalankan tugasnya tak hanya dijamin UU dan konstitusi, tetapi juga oleh kemerdekaan pers. Namun, sebaliknya, wartawan tidak hanya menerima jaminan itu, melainkan juga harus membangun dirinya, membangun kompetensi sesuai perkembangan masa dan masyarakat. Kompetensi itu akan membuat wartawan saat menjalankan tugasnya, terutama mencari dan menyampaikan informasi pada masyarakat, tak sembarangan, bekerja secara profesional, dan tak menyalahgunakan kewenangan serta haknya. Kode Etik Jurnalistik tahun 2006, yang disepakati oleh masyarakat pers di negeri ini, memastikan jurnalis yang bermartabat adalah yang menjalankan profesinya seturut kode etik, serta peraturan perundang-undangan lainnya.
Pengantar Kode Etik Jurnalistik 2006 menegaskan, kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma agama.
Dalam melakukan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang sehingga harus terbuka pada pendapat masyarakat. Hal ini sejalan dengan Pasal 2 UU Pers, yaitu kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Wartawan bukan profesi di atas hukum, sehingga tidak boleh sewenang-wenang dalam menjalankan profesinya, atas nama kemerdekaan pers.
Baca juga: Pers Belum Sepenuhnya Merdeka
Untuk mewujudkan jurnalis yang profesional dan bermartabat itu tidak mudah, apalagi di tahun politik seperti saat ini, dengan kesejahteraan wartawan di negeri ini belum baik dan merata, serta begitu banyak kepentingan yang ingin menarik wartawan dan media. Mereka yang ingin ”bertarung” pada Pemilu 2024 pasti ingin mendapatkan dukungan dari wartawan dan media. Selain publik, hanya wartawan yang bisa menjaga martabatnya, antara lain, seperti yang dipesankan dalam Kode Etik Jurnalistik, terutama Pasal 2 dan 3, serta Pasal 1, yang berbunyi, ”Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.”
Kompetensi wartawan juga bukan sesuatu yang mudah dan bisa dalam waktu singkat terwujud. ”Remember, Rome was not built in a day. Instant success is never possible. Competence results only from sustained, consistent, self-disciplined effort over an extended period of time,” tulis Charles Burnham ”Bud” Wilkinson (1916-1994), penyiar ternama Amerika Serikat (AS).
Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh menambahkan, dalam catatan akhir tahun 2020 lalu, Dewan Pers menyoroti dua persoalan yang sedang dihadapi pers Indonesia saat ini. Pertama, persoalan pada aras keberlanjutan media. Pers Indonesia dihadapkan pada masalah tekanan disrupsi yang muncul bersamaan dengan semakin kuatnya penetrasi bisnis perusahaan platform digital di Indonesia dan di negara lain. Kedua, pada aras profesionalisme media dan perlindungan pada pers. Tingginya pengaduan kasus ke Dewan Pers di satu sisi menunjukkan kian meningkatnya kepercayaan publik pada mekanisme penyelesaian kasus pers sesuai UU Pers, tetapi di sisi lain mencerminkan ada yang perlu diperbaiki dalam jurnalisme, yakni ketaatan pada Kode Etik Jurnalistik.
”Dewan Pers kembali mengingatkan kepada segenap pers Indonesia tentang pentingnya komitmen dan konsistensi untuk menaati Kode Etik Jurnalistik. Kode Etik, bagaimanapun, adalah tolok ukur utama profesionalisme dan kualitas pers. Ketaatan terhadap Kode Etik Jurnalistik adalah faktor yang menentukan tingkat kepercayaan publik terhadap media massa,” papar Mohammad Nuh (Kompas.id, 25/12/2020).
Kemerdekaan pers
Untuk tetap menjaga kemerdekaan pers, sekaligus menjaga negeri ini, Dewan Pers bersama PT Sucofindo (Persero) sejak tahun 2016 menggelar survei untuk melihat kebebasan pers di 34 provinsi. Selama lima tahun terakhir, hasil survei indeks kemerdekaan pers (IKP) yang diadakan Dewan Pers, yang juga didukung komunitas pers di negeri ini, menunjukkan tren peningkatan, yaitu dari skor 67,92 (2017) menjadi 69,00 (2018), 73,71 (2019), 75,27 (2020), dan terakhir 76,02 tahun 2021. Nilai IKP tahun 2021 meningkat tipis 0,75 poin dibandingkan dengan 2020. Kondisi ini juga tergambar dari laporan Global Reporters Without Borders atau Reporters Sans Frontieres (RSF), yang menunjukkan selama tiga tahun terakhir kondisi kemerdekaan pers di Indonesia cenderung membaik. Jika pada tahun 2019 Indonesia berada pada peringkat 124 dari 180 negara yang disurvei, dengan nilai 36,77; tahun 2020 meningkat di ranking 119 dengan nilai 36,82. Tahun 2021, posisi Indonesia meningkat lagi, berada di urutan 113 dengan angka 37,40. Nilai yang diraih Indonesia itu bukan yang tertinggi di Asia Tenggara, tetapi juga bukan yang terburuk. Pers di Indonesia relatif be- bas, seperti yang ditegaskan pula dari hasil IKP 2021 dari Dewan Pers, yakni cukup bebas.
Tingginya pengaduan kasus ke Dewan Pers di satu sisi menunjukkan kian meningkatnya kepercayaan publik pada mekanisme penyelesaian kasus pers sesuai UU Pers
Disrupsi digital dan pandemi Covid-19 membuat banyak perusahaan pers mengalami penurunan pendapatan. Namun, tidak sedikit perusahaan media yang tetap bisa tumbuh, antara lain dengan mengembangkan sumber pendapatan baru, serta mendapatkan dukungan pemerintah dan lembaga pemerintah, termasuk dari pemerintah daerah, terutama dalam iklan. Kondisi ini bisa saja secara langsung atau tidak langsung memengaruhi independensi pers saat berhadapan dengan kekuasaan (Kompas, 2/9/2021).
Apalagi, kebebasan pers tidak bisa dipisahkan dari kemandirian wartawan. Jika hidup jurnalis secara langsung atau tidak langsung bergantung pada pemerintah, apakah kemandiriannya tak akan terganggu? Apakah pemerintah tidak akan tergoda mengganggu kemandirian pers, demi kepentingannya. Padahal, jurnalisme harusnya bertanggung jawab kepada publik.
Kondisinya akan kian pelik bagi kemerdekaan pers jika harapan tunjangan bagi wartawan yang bersertifikat kompetensi dipenuhi oleh pemerintah. Perlu cara yang lebih elegan dan cerdas agar perusahaan media tetap bisa hidup, berkembang, serta kemandirian pers terjaga. Pers sebagai pilar keempat demokrasi tetap bisa berdiri dengan kepala tegak saat bertemu tiga pilar lainnya: eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Pasal 6 UU No 40/1999 menyebutkan, pers berperan menegakkan nilai-nilai demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebinekaan, selain melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Namun, harus diakui, pers di negeri ini belum sepenuhnya sehat. Dalam peran menegakkan demokrasi, wartawan dan media sampai hari ini belum bisa mendorong rakyat sepenuhnya untuk menggunakan kedaulatannya secara obyektif karena belum sepenuhnya terbebas dari kepentingan politik praktis. Masih ada intervensi politik praktis pada media massa. Padahal, untuk bisa menegakkan nilai demokrasi, kemandirian adalah syarat mutlak.
Kebebasan dari intervensi juga menjadi salah satu isu dalam penyusunan IKP 2021, selain kompetensi wartawan, khususnya untuk mampu menyajikan berita yang akurat dan berimbang. Kepatuhan wartawan pada Kode Etik Jurnalistik perlu ditingkatkan pula. Saat ini banyak media di Indonesia yang kurang memperhatikan pendidikan wartawannya sehingga kompetensi mereka rendah.
Baca juga: Kebebasan Pers, Esensi Demokrasi
Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian mengenai kepercayaan publik terhadap media arus utama di era pandemi Covid-19 yang diadakan Dewan Pers bersama Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama) tahun 2021. Tim peneliti menemukan, kepercayaan publik pada media arus utama tumbuh karena ada kompetensi yang dimiliki wartawan. Kondisi ini membedakan jurnalis dengan aktivis media sosial, yang juga menyebarkan informasi. Kompetensi jurnalis menjadi kekuatan media arus utama, tetapi tetap diperlukan uji kompetensi dan berbagai pelatihan untuk kian meningkatkan kompetensi wartawan di Indonesia.
Dalam catatan akhir tahun 2021, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), dua dari 11 organisasi wartawan dan perusahaan konstituen Dewan Pers, menyoroti pentingnya peningkatan kompetensi jurnalis pula. Dewan Pers menetapkan tiga jenjang kompetensi wartawan, yakni wartawan muda, madya, dan utama. Menilik data di Dewan Pers, terdapat 18.304 nama wartawan pemegang sertifikat kompetensi pada Januari 2022. Jumlah itu dipastikan akan terus meningkat meskipun jumlah wartawan di Tanah Air tak terdata secara pasti.
Dewan Pers memperkirakan, tahun 2018 tak kurang dari 43.000 portal berita (online media), selain ribuan media cetak dan media elektronik di Indonesia. Disrupsi dan pandemi membuat sebagian media itu mati. Namun, ada pula media dalam jaringan (daring) yang lahir dan berkembang, selain tumbuhnya media baru di masyarakat.
Untuk memperkuat sumber daya manusianya, SMSI yang beranggotakan 1.626 perusahaan media siber bekerja sama dengan Lembaga Uji Kompetensi Wartawan Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama) Jakarta. Ketua Bidang Pendidikan SMSI Pusat Retno Intani ZA menjelaskan, kerja sama itu penting guna mendukung profesionalitas wartawan.
Wartawan yang berkompetensi tinggi dan sesuai perkembangan masyarakat, ingat Ketua Umum PWI Atal S Depari dalam catatan akhir tahun, dapat terus berkarya sesuai zaman. Tantangan bagi wartawan pada masa depan adalah kemampuan multi-tasking. Wartawan harus serba bisa, mampu membuat karya tekstual, audio, dan audiovisual. Kompetensi ini bisa membuat wartawan dan media terus relevan dengan publik dan kemerdekaan pers.