Inovasi Pengeras Batuan Rapuh di Candi dengan Abu Sekam Padi
Balai Konservasi Borobudur menghasilkan inovasi konsolidan pengeras batuan candi yang rapuh. Selanjutnya, bahan ini diharapkan bisa diproduksi dan dikembangkan untuk kebutuhan konservasi batu candi.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Peneliti Balai Konservasi Borobudur di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, membuat inovasi konsolidan pengeras batuan candi yang rapuh. Selain menggunakan bahan-bahan kimia, konsolidan ini juga dibuat dengan campuran bahan alam, yaitu abu sekam padi. Penemuan ini diharapkan mendukung upaya konservasi batuan candi-candi di Indonesia yang sudah berumur ratusan tahun.
”Bahan alam abu sekam padi terbukti bisa meningkatkan efektivitas bahan-bahan kimia yang dipakai,” ujar Nahar Cahyandaru, pamong budaya ahli madya Balai Konservasi Borobudur (BKB), Jumat (4/2/2022), di Magelang. Nahar adalah penemu konsolidan ini. Inovasi tersebut bagian dari penelitian yang dilakukannya sebagai bagian penyusunan disertasi untuk gelar doktor konservasi cagar budaya di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Nahar menerangkan, bahan yang dipakai adalah konsolidan etil silikat dari bahan tetraetil ortosilikat yang dibuat menjadi komposit dengan dipadukan dengan titanium trisopropoksida. Adapun sebagai bahan pelarut, digunakan etanol. Untuk meningkatkan efektivitasnya, dalam larutan tersebut kemudian ditambahkan abu sekam padi.
Upaya mengeraskan kembali batu candi yang rapuh ini dipilih sebagai topik penelitian Nahar karena, menurut dia, selama ini bahan-bahan yang sudah ada dan dipakai di dunia internasional belum cukup efektif, bahkan menimbulkan masalah baru. Bahan polimer organik, misalnya, sekalipun efektif mengeraskan batuan, pada akhirnya menimbulkan masalah baru, yaitu merusak porositas batu sehingga air yang tidak terserap justru meninggalkan warna putih dan berpotensi memicu pelapukan batuan.
Sementara itu, etil silikat yang menggunakan katalis timah organik dan banyak dipakai di luar negeri mengandung bahan beracun, yang membahayakan organisme di lingkungan sekitar. Dua bahan tersebut, menurut Nahar, juga pernah dipakai di Candi Borobudur. Etil silikat dengan katalis bahkan baru saja dipakai di candi pada 2021.
Penelitian panjang untuk menemukan bahan pengeras batuan ini dilakukan sejak 2017. Sebelumnya, Nahar sempat mencoba menggunakan empat jenis larutan asam tetapi semuanya gagal karena larutan tersebut hanya bisa disimpan dalam jangka kurang dari satu bulan.
Setelah itu, dia pun beralih menggunakan bahan silikat. Uji coba menggunakan etil silikat ini dianggap berhasil karena larutan ini teruji mampu mengeraskan serbuk batu. Dengan berbagai dampak buruk dari dua bahan yang sudah ada sebelumnya ini, Nahar optimistis inovasi pengeras batuan yang ditemukannya bisa dikembangkan dan diproduksi lebih banyak.
”Inovasi etil silikat yang saya temukan ini, mungkin nantinya bisa diproduksi banyak untuk kebutuhan sendiri, atau mungkin bisa diproduksi lebih luas dengan bekerja sama dengan balai konservasi lain atau pabrik,” ujarnya. Ke depan, inovasi ini direncanakan akan didaftarkan menjadi hak paten BKB.
Inovasi etil silikat yang saya temukan ini mungkin nantinya bisa diproduksi banyak untuk kebutuhan sendiri, atau mungkin bisa diproduksi lebih luas dengan bekerja sama dengan balai konservasi lain atau pabrik. (Nahar Cahyandaru)
Adapun masalah pelapukan dan kerapuhan batuan selalu menjadi masalah yang banyak terjadi pada arfefak di berbagai belahan dunia. Di Candi Borobudur, kondisi batuan candi, termasuk kerapuhannya, selalu diawasi setiap tahun.
Saat ini, dari sekitar dua juta batu penyusun Candi Borobudur, jumlah batu yang rapuh terdata 1.500 batu. Tahun lalu, BKB sudah melakukan penanganan dengan mengeraskan 45 batu. Mereka juga terus mengawasi dan menekan kemungkinan kerapuhan pada 1.455 batuan lainnya.
Kepala BKB Wiwit Kasiyati mengatakan, saat ini, pihaknya berupaya menggunakan bahan-bahan alam sebagai bagian dari bahan konservan batuan candi. Selain tidak membahayakan lingkungan, penggunaan bahan alam ini nantinya juga bisa dikembangkan dengan melibatkan warga desa sekitar sebagai petani, atau produsen bahannya.
”Dengan upaya ini, inovasi dari kami nantinya juga bisa berdampak sosial bagi warga sekitar,” ujarnya.
Selain temuan pengeras batu candi yang menggunakan abu sekam padi, sebelumnya BKB juga pernah menghasilkan inovasi pembersih mikroorganisme pada batuan candi. Pembersih tersebut hasil pencampuran minyak atsiri atau minyak sereh wangi, dan protein hewani atau gelatin sebagai bahan perekat keramik dan kayu.