Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah, semakin rapuh dan renta. Beragam upaya konservasi dijalankan. Salah satunya merancang sandal khusus bagi para pengunjung untuk menekan laju keausan batuan candi.
Oleh
REGINA RUKMORINI/HARIS FIRDAUS/GREGORIUS M FINESSO
·5 menit baca
Dengan usia belasan abad, tubuh Candi Borobudur kian renta dan rapuh. Melewati ribuan musim, beban puluhan juta pengunjung, gempa, gunung meletus, hingga teror bom, perlakuan khusus niscaya diterapkan untuk memperpanjang umurnya.
Basiyo (57) menunjukkan sepasang sandal ”jamur” kreasinya, di rumahnya di Desa Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Jumat (12/11/2021). Sandal dengan satu jepitan jari berbentuk bulat di bagian depan serta pelindung kaki di bagian tengah itu menjadi inovasi terbaru upaya konservasi Candi Borobudur.
”Saya mengusulkan sandal yang terbuat dari bahan spons karena tidak keras, ringan, dan harganya tidak mahal,” ujar Basiyo, yang juga pemilik BW Craft di Kecamatan Borobudur.
Karena dibuat demi tujuan konservasi, perancangan sandal dilakukan serius. Sekitar 2018, Basiyo digandeng Balai Konservasi Borobudur (BKB) untuk merancang sandal khusus bagi pengunjung Borobudur karena dikenal dengan keahliannya membuat sandal dan aneka kerajinan. Ide pembuatan sandal merespons ancaman keausan dan kerusakan batuan candi akibat gesekan kaki pengunjung.
Atas usulan Basiyo, BKB pun melakukan pengujian laboratorium guna memastikan bahan spons cocok untuk sandal konservasi. Selanjutnya, pada 2020, dilakukan uji coba pemakaian spons jenis hati dan jenis batu untuk bahan sandal. Hasilnya, bahan spons hati dinilai lebih efektif.
Dari situ, mulai dibuat tiga desain sandal. Satu model yang disebut Basiyo ”sandal jamur” didesain menyerupai gambar dalam relief panel 150 Karmawibhangga Candi Borobudur. Adapun dua desain lain dirancang semacam selop. Saat memakai selop, telapak kaki cukup dimasukkan ke bagian pelindung atau pengikat agar telapak tidak bergeser. Satu sandal selop didesain dengan satu pelindung di bagian jari, sedangkan satu lainnya didesain dengan dua pelindung, yaitu di bagian jari dan tengah kaki.
Jika bagian alas terbuat dari spons, bagian atas sandal dibuat dari tiga material berbeda. Desain sandal jamur yang meniru relief Karmawibhangga dibuat dari bahan goni, sedangkan dua lainnya dari pandan dan enceng gondok.
Sandal ini nantinya akan dibagikan sebagai cendera mata kepada pengunjung yang akan memasuki kawasan candi. Agar tidak membawa kotoran, tanah atau pasir dari jalan, sandal tersebut baru diberikan saat pengunjung akan naik ke bangunan candi.
Ancaman pelapukan
Rancangan sandal konservasi adalah inovasi terkini. Namun, upaya penyelamatan Candi Borobudur dari ancaman pelapukan dan kerusakan batuan sudah dilakukan sejak lama. Koordinator Kelompok Kerja Pemeliharaan BKB, Bramantara, mengatakan, penelitian awal dampak kunjungan wisatawan terhadap batuan candi dimulai 2006 dan ditindaklanjuti pada 2008. Saat itu, berhasil dipastikan pijakan dan gesekan alas kaki pengunjung beserta material yang menempel di bawahnya ikut mempercepat keausan batuan candi.
Dari hasil riset, BKB mendapati upaya mengurangi dampak kerusakan dan keausan batuan bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu memasang pelapis di tangga candi dan merancang alas kaki khusus bagi pengunjung. Pelapisan anak tangga candi dilakukan lebih dulu. Saat itu, dipasang dua jenis pelapis, yaitu papan kayu dengan rangka sama-sama berbahan kayu dan papan kayu dengan rangka besi. Khusus papan kayu berangka besi, bagian bawahnya dilapisi karet.
”Untuk menentukan material karet yang cocok, kami sempat berdiskusi dengan Balai Besar Karet, Kulit dan Plastik di Yogyakarta,” ujar Bramantara. BKB juga sempat membandingkan upaya pemasangan bantalan anak tangga di Angkor Wat, Kamboja, dan sebuah kuil di Korea Selatan.
Pelapis anak tangga tersebut dipasang kurun 2014-2016. Setelah dua tahun, pelapis terpaksa dilepas karena menuai protes dari pengunjung dan sejumlah pakar. “Pelapis anak tangga dianggap menganggu estetika visual Candi Borobudur,” kata Bramantara.
Selanjutnya, pada 2020, BKB mencoba mewujudkan alternatif penyelamatan kedua dengan membuat sandal khusus bagi pengunjung. Selain tidak menganggu estetika candi, pembuatan sandal dinilai berdampak baik bagi perekonomian warga karena bisa melibatkan banyak UMKM sekitar untuk terlibat sebagai produsen.
Ancaman keausan dan kerusakan batuan Borobudur tak bisa diabaikan. Berdasarkan perhitungan BKB tahun 2010, sebesar 70 persen batuan di bagian tangga candi telah mengalami keausan. Laju keausan batuan candi di tangga naik, terukur 0,175 sentimeter per tahun, sedangkan di tangga turun mencapai 0,2 sentimeter per tahun. Sementara di bagian lantai mencapai 0,042 sentimeter per tahun.
Hanya saja, perhitungan tersebut dibuat ketika jumlah pengunjung Candi Borobudur baru sekitar 2 juta orang per tahun. Padahal, jumlah wisatawan pada 2019 sudah melebihi 4 juta orang. Gesekan kaki wisatawan adalah faktor dominan yang memicu keausan batuan, terutama bagian tangga candi. Untuk itu, jumlah pengunjung dalam satu waktu, mau tak mau, mesti dikurangi. Kepadatan wisatawan Candi Borobudur harus dipecah.
Terkait dengan hal tersebut, mulai tahun ini, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi memberikan pelatihan kepada 20 desa di Kecamatan Borobudur. Warga diajak mengenali potensi desa yang nantinya bisa diolah menjadi ikon, produk, atau pertunjukan sebagai daya tarik wisata baru. Hal itu diharapkan menarik pelancong sehingga tidak sekadar terpusat di candi.
Adapun PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko juga sudah merancang empat paket wisata tema khusus di desa sekitar Borobudur. Empat tema tersebut adalah kemaritiman, flora, fauna, dan kesehatan. Dengan bersumber pada cerita-cerita dalam relief candi, para wisatawan akan diajak belajar dan menyerap makna dari cerita relief dengan melihatnya langsung di alam, museum, serta aktivitas sehari-hari warga.
Vice President Sales and Marketing PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko Pujo Suwarno mengatakan, program ini akan dioptimalkan menjadi pola kunjungan baru. ”Pengunjung tidak hanya diarahkan ke candi, tetapi juga ke kawasan sekitarnya. Bahkan, jika ada yang ingin melihat relief, bisa menyaksikan di miniaturnya di Sanggar Nakula Sadewa, Kecamatan Muntilan,” kata Pujo.
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo mengatakan, dengan memecah pengunjung Candi Borobudur ke kawasan sekitarnya, potensi ekonomi wilayah diharapkan lebih tergali maksimal. Dengan tidak menjadi wisata tunggal, pelancong juga akan lebih lama berlibur di Borobudur.
”Ini menjadi bagian besar penataan Borobudur. Magnet Borobudur tidak hanya candinya, tetapi juga seluruh sumber daya di sekitarnya, baik kesenian rakyat, kerajinan, kuliner, maupun lainnya,” ujarnya. Sejalan dengan itu, konservasi mesti dilakukan agar usia mahakarya ini lebih panjang sehingga generasi berikut tetap dapat menikmati warisan nenek moyang bangsa.