Tingkatkan Literasi Digital Siswa untuk Menangkal Hoaks tentang Covid-19
Hoaks turut memengaruhi siswa mengabaikan protokol kesehatan dan vaksinasi Covid-19. Peningkatan literasi digital oleh sekolah dan lembaga terkait sangat dibutuhkan agar siswa lebih bijak memilah informasi.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kabar bohong atau hoaks turut memengaruhi siswa mengabaikan protokol kesehatan dan vaksinasi Covid-19. Upaya meningkatkan literasi digital oleh sekolah dan lembaga terkait sangat dibutuhkan agar siswa lebih bijak memilah informasi sehingga tidak terhasut hoaks.
Hasil survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menyebutkan 12,88 persen dari 2.358 siswa menengah atas (SMA) sederajat di 34 provinsi menganggap vaksinasi Covid-19 bertentangan dengan agama.
Survei pada September-Oktober 2021. Batas kesalahan atau margin of error survei 2,02 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen. Responden merupakan siswa sekolah di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi serta Kementerian Agama. Para siswa berasal dari berbagai suku dan agama.
Keraguan siswa terhadap vaksinasi didasarkan pada sejumlah informasi bohong. Mulai dari Covid-19 hanya flu biasa yang dinyatakan berbahaya oleh pihak tertentu untuk mendapatkan keuntungan, Covid-19 merupakan senjata biologis negara maju demi menguasai negara berkembang, hingga skenario rumah sakit mencari keuntungan.
Hasil survei juga menunjukkan 39 persen siswa percaya pandemi Covid-19 merupakan hukuman dari Tuhan. Sementara 48 persen responden memiliki sikap fatalis atau percaya upaya manusia tidak banyak berarti karena segala sesuatu sudah ditentukan nasib.
”Mengenai intervensi pada hoaks dan perasaan deprivasi relatif pada siswa, diperlukan strategi literasi digital kepada siswa dengan mengoptimalkan internet di seluruh Indonesia,” ujar peneliti PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Yunita Faela Nisa, dalam peluncuran hasil penelitian ”Anak Muda dan Covid-19: Berbineka Kita Teguh, Ber-hoax Kita Runtuh” secara daring, Rabu (5/1/2021).
Kondisi itu berkaitan dengan hasil survei lainnya yang menyatakan 21,1 persen responden belum konsisten mengenakan masker. Sementara 41,2 persen siswa masih abai mencuci tangan dengan sabun dan 64,8 persen lalai menghindari kerumunan.
Menurut Yunita, kepercayaan pada hoaks berkaitan dengan daya berpikir kritis siswa. Mereka perlu mengembangkan kemampuan berpikir probabilistik, tidak kaku, dan tidak mutlak.
Berdasarkan survei tersebut, keluarga menjadi pihak yang paling dipercaya siswa disusul tokoh agama. Keterlibatan kedua pihak perlu dioptimalkan untuk menangkal hoaks terkait pandemi. ”Ini akan membantu siswa dalam memilah informasi yang benar. Keluarga dan ulama mesti dilibatkan untuk memberikan intervensi agar generasi muda selektif menentukan referensi keagamaan dan kesehatan,” kata Yunita.
”Faktor yang membuat kepercayaan siswa pada hoaks adalah fatalisme dan deprivasi relatif. Mereka yang bersifat fatalis akan semakin cenderung percaya terhadap teori konspirasi atau hoaks yang berkembang,” ujar peneliti lainnya, Narila Mutia Nasir.
Kepercayaan pada hoaks berkaitan dengan daya berpikir kritis siswa. Mereka perlu mengembangkan kemampuan berpikir probabilistik, tidak kaku, dan tidak mutlak.
Narila menuturkan, hoaks berdampak pada perilaku kesehatan siswa. Imbasnya, protokol kesehatan tidak dijalankan dengan ketat.
”Padahal perilaku hidup sehat merupakan salah satu bentuk respons terhadap pandemi untuk menjaga imunitas tubuh,” ujarnya.
Koordinator Imunisasi Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan Kementerian Kesehatan Iqbal Djakarya menuturkan, hasil survei tersebut menjadi masukan bagi pihaknya untuk memperkuat sosialisasi terkait pentingnya protokol kesehatan, perilaku hidup sehat, dan vaksinasi. Keterlibatan peneliti dan sekolah juga penting dalam mengedukasi masyarakat, termasuk siswa.
”Tadi disampaikan masih banyak beranggapan Covid-19 adalah suatu hukuman dari Tuhan. Kalau ini dikedepankan, yang terjadi tentu bukan meningkatkan upaya pengendalian pandemi, tetapi justru abai dan kurang peduli terhadap protokol kesehatan,” jelasnya.