Kepekaan Aparatur Negara kepada Masyarakat di NTT Perlu Terus Diasah
Sepanjang 2021, di tengah pandemi Covid-19, bumi Flores Sumba Timor dan Alor juga beberapa kali diterjang bencana yang mahadahsyat. Kepekaan aparatur negara di Provinsi Nusa Tenggara Timur ini masih perlu terus diasah.
Sepanjang 2021, bumi Nusa Tenggara Timur tak hanya diombang-ambingkan dengan amburadulnya penanganan Covid-19. Selama pandemi Covid-19 yang ditimbulkan oleh virus SARS-CoV-2, di provinsi ini juga diterjadi badai seroja, banjir bandang, serta gempa dan tanah longsor.
Ketika kasus Covid-19 sedang memuncak di hampir semua daerah, bencana lain pun datang menyelinap dan kian meluluhlantakkan seluruh sisi kehidupan warga provinsi itu.
Miris rasanya melihat penderitaan warga di provinsi dengan luas wilayah 47.932 kilometer persegi itu, ketika Covid-19 menyerang, dengan entengnya Gubernur Nusa Tenggara Timur Victor Laiskodat menyatakan warga NTT tak perlu terlalu khawatir dengan penyakit yang disebabkan virus SARS-CoV-2.
Alasannya fisik masyarakat di daerah berpenduduk 5,326 juta jiwa ini jauh lebih kuat dibandingkan dengan fisik orang asing sekalipun. Kekuatan itu muncul karena orang NTT rata-rata gemar makan sirih alias nginang dan mengonsumsi minuman tradisional, seperti sofi.
Apa yang terus-menerus diungkapkan kepala daerah ini sepertinya menjadi ”alasan” bagi warga untuk tidak taat protokol kesehatan, terus berkerumun terutama menggelar pesta, di pasar, bahkan sama sekali tidak patuh dengan segala anjuran agar bebas dari penularan Covid-19. Apalagi, selama pandemi Covis-19, yang proses penanganannya di NTT pun cenderung terseok-seok, bencana pun silih berganti menerjang.
Baca juga : Ambisi Sapi Wagyu dan Komunikasi Gubernur NTT
Ketidakpekaan aparatur negara pun kian menyengsarakan warga, terutama ketika bencana banjir bandang disertai longsor melanda. Berdalih menuju lokasi bencana sulit dijangkau, pejabat umumnya hanya menunjukkan kepedulian dari jauh, yakni dari ibu kota provinsi di Kota Kupang.
Dalam beberapa kejadian, pejabat di NTT baru mengunjungi warganya yang tengah didera bencana ketika pebabat dari pusat sudah lebih dulu berada di lokasi. Beberapa informasi menyebutkan, ada keluarga pejabat yang kena Covid-19 langsung diterbangkan untuk dirawat di Jakarta.
Alasannya pelayanan kesehatan di provinsi yang banyak melahirkan rohaniwan Katolik ini sangat tidak memadai. Sikap yang dipertontonkan pejabat ini barangkali menjadi alasan bagi banyak warga di provinsi ini menolak untuk menjalani karantina ketika positif Covid-19.
Bahkan provinsi ini sempat membuat aturan yang kontroversial yang menolak memberlakukan swab antigen atau PCR ketika warganya hendak melakukan perjalanan di wilayah itu, termasuk ke daerah lain. Dalihnya, wajib swab setiap melakukan perjalanan justru menambah beban biaya warga. Sebab, setiap hendak bepergian, warga harus merogoh kocek lebih dalam.
Minimnya kepedulian aparatur negara di daerah ini tecermin pada ketika seorang pria dengan baju safari dan sepatu pantofel berjalan di atas sisa endapan lumpur serta puing-puing bangunan di Kelurahan Waiwerang, Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, awal April 2021. Sementara di kiri dan kanannya terdengar tangis warga yang kehilangan anggota keluarga akibat tersapu banjir bandang.
Pria dimaksud adalah pejabat lokal yang hendak menerima kunjungan Menteri Sosial Tri Rismaharini. Risma yang turun dari helikopter lengkap dengan sepatu bot agak risih melihat tampang pejabat itu. Risma pun langsung menegurnya. ”Kok kamu rapi sekali?" Begitu kira-kira sindiran Risma.
Baca juga : Gubernur NTT Bebaskan Kewajiban Tes PCR dan Antigen bagi Pelaku Perjalanan dalam Wilayah
Kepadanya, Risma menanyakan tentang penanganan pengungsi, tetapi jawabannya tidak memuaskan. Dua hari setelah banjir bandang yang dipicu Siklon Tropis Seroja itu, dapur umur belum juga dibangun oleh pemerintah. Beruntung ada komunitas lokal yang berinisiatif membantu korban.
Beberapa hari kemudian, Kompas menemui pejabat tersebut, dan masih dengan penampilan rapi. Saat ditanya data mengenai sebaran jumlah pengungsi, dengan santai ia menjawab tidak tahu. ”Orang ini tidak bisa melayani warga. Dia tidak peduli,” ujar seorang jurnalis lokal.
Tidak merakyat
Gaya pejabat yang elitis dan tidak merakyat masih sering dijumpai di NTT. Mereka seakan membuat jarak dengan masyarakat, bahkan ketika situasi bencana sekalipun. Kebutuhan mendesak tidak tertangani secara baik. Penanganan bencana menjadi amburadul.
Orang ini tidak bisa melayani warga. Dia tidak peduli.
Di sudut lain NTT, seperti di Kabupaten Malaka, pengurusan administrasi kependudukan tidak mudah. Masyarakat dari kampung-kampung terpencil yang ingin mengurus kartu tanda penduduk rela antre berjam-jam di kantor catatan sipil setempat. Setelah menyerahkan berkas, mereka diminta menunggu dalam ketidakpastian. ”Nanti baru datang cek lagi,” ujar petugas.
Padahal lokasi tempat tinggal mereka jauh dari Betun, ibu kota kabupaten. Mereka yang berasal dari Kecamatan Io Kofeu atau Botin Leobele harus menyewa ojek Rp 300.000 untuk satu kali perjalanan pergi dan pulang. Sampai mendapat satu KTP, mereka bolak-balik Betun beberapa kali. Biaya yang dikeluarkan menembus Rp 1 juta.
Pelayanan semacam itu memaksa warga menggunakan jasa pihak lain untuk mempercepat pengurusan. Dan ini butuh uang pelicin. Jalur lain yang biasa ditempuh adalah meminta tolong tim sukses dari pemerintahan yang berkuasa. Hal ini otomatis membawa konsekuensi kepada pilihan politik pada momentum kontestasi.
Bupati Malaka yang baru, Simon Nahak, berkomitmen untuk memperbaiki pelayanan publik, tetapi belum tampak perubahan yang signifikan. Pengurusan administrasi masih sulit. Banyak masyarakat yang hak mereka, seperti bantuan pemerintah, tidak terpenuhi gara-gara tidak mempunyai kartu identitas diri.
Baca juga : Kidung Duka Kerusakan Alam NTT yang Tak Terkendali
Sementara di Kabupaten Kupang, ratusan pegawai negeri sipil selalu terlambat masuk kantor setiap hari. Mereka tinggal di Kota Kupang, sedangkan kantor mereka di Oelamasi, ibu kota Kabupaten Kupang, yang berjarak sekitar 30 kilometer. Pelayanan publik tidak bisa berjalan dengan optimal.
Biaya tinggi
Banyak masyarakat dari pedalaman, seperti Amfoang, yang mengurus kebutuhan administrasi di Oelamasi terpaksa harus menyewa indekos. Pengurusan itu pun membutuhkan waktu berminggu-minggu. Pasalnya, petugas yang diberi tanggung jawab sering terlambat ke kantor.
Bupati Kupang Korinus Masneno kepada Kompas, beberapa waktu lalu, mamaklumi kondisi tersebut. Ia tidak bisa memaksa ribuan pegawai untuk pindah tempat tinggal ke Oelamasi dan sekitarnya. Sebelumnya, kantor Pemerintah Kabupaten Kupang berada di wilayah Kota Kupang. Para pegawainya pun membeli atau membangun rumah di Kota Kupang.
Contoh pelayanan publik dari tiga kabupaten di atas cukup menggambarkan wajah pelayanan publik di NTT. Masyarakat sipil dan lembaga bentukan pemerintah, seperti Ombudsman, juga kerap memberi sorotan terkait hal itu, tetapi tidak banyak yang berubah.
Meski begitu, ada banyak daerah juga melakukan inovasi pelayanan publik kendati tidak signifikan. Namun, komitmen itu perlu diapresiasi. Memang butuh waktu lama untuk menyamakan standar pelayanan publik dengan kota-kota lain di Indonesia, seperti Surabaya.
Wakil Gubernur NTT Josef N Soi menyadari bahwa banyak birokrat yang bermental bos sehingga tidak sungguh-sungguh sebagai pelayan. ”Kunci utamanya ada pada pemimpin di setiap satuan kerja dan pucuk tertinggi. Kalau itu berjalan dengan bagus, pasti di bawah juga ikut,” katanya.
Namun, terkadang, sudah terbentuk sebuah sistem yang telanjur buruk sehingga pemimpin baru yang ingin mengubah pun kesulitan. Semua akan kembali pada pribadi sang pelayan publik bahwa keberadaan mereka untuk publik. Sebab, gaji mereka dibayar dengan uang rakyat. Sebagai pelayan rakyat, jangan pula terlalu banyak gaya, yang bikin rakyat malah kian menderita.
Lihat juga : Benteng Alam Peredam Tsunami di Utara Flores