Perempuan Kepala Keluarga, Para Pejuang Pendidikan Anak
Pencantuman nama ayah pada ijazah anak dinilai tidak adil oleh para perempuan kepala keluarga yang membesarkan dan menafkahi anak tanpa peran suami.
Selembar ijazah kelulusan anak dari tingkat SD, SMP, hingga SMA/SMK selama ini hanya mencantumkan nama ayah sebagai orangtua peserta didik. Kebiasaan yang didukung keputusan pemerintah, kini dirasa tak bisa lagi dipertahankan. Para ibu menuntut ada kesetaraan dan keadilan dalam pencantuman nama ayah atau ibu dalam perjalanan pendidikan anak mereka.
Tuntutan para ibu agar namanya juga bisa dimasukkan dalam ijazah anak bukan sekadar kesetaraan. Di sini ada kisah tentang ibu tunggal, ibu kepala keluarga, yang berjuang sendiri membiayai dan mendidik anak-anaknya tanpa dibantu suami sebagai ayah dari anak-anak buah perkawinan mereka.
Bagi sebagian keluarga, sang ayah tak menjalankan perannya dalam menafkahi keluarga, termasuk membiayai pendidikan anak dan tidak mendampingi tumbuh kembang anak. Bahkan, tanpa kabar berita ayah pergi entah ke mana. Namun, nama ayahlah yang harus ada dalam data sebagai orangtua di ijazah. Sekolah pun secara kaku tetap mencantumkan nama ayah saja sebagai orangtua siswa di selembar ijazah yang penting seumur hidup.
Poppy Dihardjo, seorang orangtua tunggal dari Komunitas Perempuan Tanpa Stigma, menginisiasi agar nama ibu juga bisa dicantumkan di ijazah. ”Dari ada pasangan sampai pergi entah ke mana, yang membiayai anak-anak, saya. Nama saya tidak bisa dicantumkan sebagai orangtua, kayak ada tonjokan di hati,” kata Poppy di webinar bertajuk Diskriminasi terhadap Ibu Tunggal, Janda, dan Perempuan Kepala Keluarga Dalam Sistem Pendidikan di Indonesia. Acara yang digelar bertepatan dengan Hari Ibu, Rabu (22/12/2021), ini digelar Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka), Perempuan Tanpa Stigma, dan Change.Org.
Dari ada pasangan sampai pergi entah ke mana, yang membiayai anak-anak, saya. Nama saya tidak bisa dicantumkan sebagai orangtua, kayak ada tonjokan di hati.
Poppy mempertanyakan secara kritis apa yang dibutuhkan untuk perempuan sebagai ibu tunggal diakui sebagai orangtua yang namanya tertulis di ijazah anaknya. Dia pun membuat petisi di change.org yang menembus 16.000 penanda tangan sehingga mendapat respons dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Pada 24 November 2021, terbit Surat Edaran Sesjen Kemdikbudristek Nomor 28 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Pengisian Blangko Ijazah Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah. Di situ dicantumkan bahwa dalam mengisi lembar ijazah dapat mencantumkan nama ayah, ibu, atau wali peserta didik mengikuti permohonan ayah, ibu, atau wali peserta didik yang bersangkutan.
Memilih keluar
Ada beragam kisah pilu di balik kehidupan perempuan sebagai ibu tunggal, janda, dan kepala keluarga. Mereka memilih untuk keluar dari perkawinan atau hubungan dengan pasangan yang tidak sehat karena kekerasan dalam rumah tangga, ketidakcocokan, atau alasan lain demi kebahagiaan diri dan masa depan anak-anak. Namun, tak mudah melawan stigma sosial yang telanjur dilekatkan kepada para janda. Mereka dianggap sebagai perempuan bermasalah dan negatif.
Beruntung ada komunitas seperti Pekka yang menjadi kawan dalam menemani perjuangan para perempuan kepala keluarga tersebut, termasuk memperjuangkan masa depan anak-anak lewat pendidikan.
Baca juga: Perempuan Punya Hak Sama dalam Pekerjaan
Siti Nurhalimah (52) dari Lombok Tengah, misalnya, memperjuangkan akta lahir anaknya untuk syarat kelulusan dengan mencantumkan nama dirinya sebagai ibu. Anaknya lahir di Jeddah, Arab Saudi, dari perkawinan yang tercatat di Indonesia. Namun, dia menghadapi kesulitan karena harus sidang, sedangkan dirinya tidak memiliki uang. Dalam perjalanan yang panjang, akhirnya Siti bisa mendapatkan akta kelahiran anak dengan hanya mencantumkan nama dirinya sebagai orangtua. Bahkan, dia membantu para perempuan desanya mengatasi masalah yang sama terkait surat kawin hingga akta lahir anak.
Karmani Sekar, ibu kepala keluarga lainnya dengan dua anak, juga merasakan sulitnya perjuangan menyekolahkan anak. Dia ditinggal pergi suami tanpa harta benda untuk membiayai sekolah dan hidup dua anaknya. Dia menjadi petani, tetapi didiskriminasi kelompok petani lain hanya karena perempuan.
”Saya berjuang untuk bisa masuk kelompok tani agar dapat bantuan pupuk. Saya malah disuruh kejar truk pupuk. Sungguh tidak ada dukungan bagi perempuan janda,” kata Karmani.
Kesulitan dialami Karmani karena di kartu keluarga (KK) masih ada nama suami yang tercantum sebagai wiraswasta. Akibatnya, Karmani kesulitan mendapat bantuan keringanan dari sekolah atau desa karena dianggap masih bersuami. Padahal, dia butuh bantuan. Akhirnya, dia pun memutuskan untuk mengurus KK dengan mencantumkan status mati pada kolom suami. Belenggu akibat suami yang hidup tapi tidak berperan apa-apa mulai lepas. Dia bangkit dan anaknya bisa kuliah.
Sekolah menolak
Upaya untuk memperjuangkan keadilan juga dilakukan Nanda Ismael dari Komunitas Save Janda. Dia hendak menghapus nama ayah di ijazah anak pertamanya, tetapi tidak bisa. Lalu, dia memperjuangkan hal yang sama pada putri keduanya karena selama 10 tahun tak dibiayai. Akan tetapi, tidak digubris sekolah. Alasannya, di ijazah anak nama yang tertulis selama ini nama ayah.
”Saya sudah lama menjanda. Segala yang berkaitan dengan kehidupan putri saya, sepenuhnya tanggung jawab saya dan tidak ada sumbangan dari ayahnya. Saya keberatan ada nama ayahnya di ijazah. Tapi, tidak digubris. Kami para ibu tunggal yang berjuang setengah mati membiayai dan mendidik anak seorang diri. Sangat lumrah dan wajar, kami para ibu, nama kamilah yang kami minta ada di ijazah,” tutur Nanda.
Baca juga: Kekuatan Terpendam Perempuan Kepala Rumah Tangga
Bunga Priana dari Komunitas Perempuan Tanpa Stigma tersadar betapa besar diskriminasi yang menimpa ibu tunggal. Saat kelulusan anaknya dari TK, anak dipanggil dengan menyebutkan nama ayah.
”Anak yang dipanggil disebutkan anak dari bapak. Kecuali nama ibu juga disebut, saya tidak sedih. Tapi, saya tidak pernah ngomong ke pihak sekolah karena malu dan takut dibilang terbawa perasaan. Padahal, bapaknya tidak pernah menafkahi anaknya sesuai keputusan saat bercerai,” kata Bunga.
Ketika Bunga mencari keadilan untuk menuntut suaminya ikut menafkahi anak-anak, justru dia diminta pasrah saja. ”Malah ada yang bilang sudah syukur hak asuh jatuh ke saya karena saya bekerja. Saya dibilang tidak usah lagi mengganggu karena suami juga punya keluarga sendiri,” kata Bunga.
Rika Irdayanti dari Biro Hukum Kemendikbudristek mengatakan, berdasarkan SE 24 November lalu, nama ayah, nama ibu, atau nama wali peserta didik bisa dicantumkan di ijazah anak. Sosialisasi akan terus dilakukan agar sekolah tidak ragu menerapkannya saat di ijazah diminta untuk ditulis nama ibu peserta didik.
”Untuk nama ibu di ijazah anak sudah tidak masalah. Tapi, untuk yang sudah telanjur hanya nama ayah sulit untuk diubah karena terkait blangko yang terbatas,” kata Rika.
Pendiri dan Direktur Yayasan Pekka Nani Zulminarni mengatakan, beragam cerita tetang perempuan ibu tunggal, janda, dan kepala keluarga yang memperjuangkan keadilan ini memberikan gambaran relasi kuasa dalam lembaga perkawinan dan keluarga yang masih kuat dengan budaya patriarki.
Saat ini, perempuan sebagai kepala keluarga berkisar 25 persen. Pemberdayaan para perempuan ini menjadi penting supaya bersama-sama berjuang untuk bangkit dan melawan diskriminasi.
Baca juga: Potret Tangguh Perempuan Kepala Keluarga
Sementara itu, Imam Nahe’I dari Komisi Nasional Perempuan mengatakan, masih banyak ruang diskriminasi terhadap perempuan yang harus diperjuangkan bersama. Praktik diskriminasi terhadap perempuan sebagai ibu tunggal, janda, atau kepala keluarga memang belum secara kuat diperjuangkan.
Rohika dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengatakan, masih banyak diskriminasi pada perempuan sebagai praktik budaya patriarki. ”Kami dari pemerintah akan bersikap dan melakukan upaya terkait kebijakan, tantangan para ibu kepala keluarga dengan stigmatisasi dan pelabelan negatif yang masih terjadi di sekitar kita. Negara melalui pemerintah, lewat Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender berupaya untuk menghapus diskriminasi pada perempuan karena budaya patriarki,” kata Rohika.