Pekerja perempuan juga rentan terhadap kekerasan dan pelecehan seksual. Selain itu, hingga kini pekerja perempuan juga kerap mengalami diskriminasi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kesejahteraan pekerja perempuan di Indonesia saat ini masih kerap tersisih dan mengalami diskriminasi dibandingkan dengan pekerja laki-laki. Korporasi perlu menyadari dan berkomitmen untuk meningkatkan kesejahteraan serta perlindungan terhadap pekerja perempuan.
Direktur Kerja Sama Hak Asasi Manusia (HAM) Kementerian Hukum dan HAM Hajerati menyampaikan, pekerja perempuan di Indonesia kerap menerima upah minim. Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018 mencatat, upah pekerja perempuan lebih rendah 11-20 persen dari pekerja laki-laki.
Pekerja perempuan juga rentan terhadap kekerasan dan pelecehan seksual. Menurut data Komisi Nasional Perempuan, angka kekerasan terhadap perempuan di tempat kerja mencapai 3.915 kasus pada 2018. Sementara pelecehan seksual terhadap pekerja perempuan terjadi dalam bentuk verbal maupun nonverbal.
Implementasi bisnis yang ramah terhadap pekerja perempuan akan berimplikasi pada peningkatan kewajiban.
Selain kerentanan tersebut, pekerja perempuan juga kerap mengalami diskriminasi. Temuan sejumlah serikat buruh, salah satu bentuk diskriminasi itu, yakni pekerja perempuan lebih sering mendapat status kontrak dibandingkan dengan pekerja laki-laki.
”Catatan menunjukkan, 30 sampai 45 persen buruh perkebunan sawit adalah perempuan dan bekerja pada bagian pemeliharaan seperti penyemprotan serta pestisida. Umumnya pihak manajemen tidak menyediakan cuti haid dan maternitas. Ada indikasi gangguan kesehatan yang memprihatikan akibat paparan bahan kimia,” ujarnya dalam webinar yang diselenggarakan INFID, Rabu (14/7/2021).
Hajerati menyatakan, perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam pekerjaan. Perlindungan terhadap hak perempuan sebagai tenaga kerja pada umumnya mencakup hak atas jaminan keselamatan kerja, jaminan hari tua, dan jaminan pemeliharaan kesehatan.
Dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebut, seorang tenaga kerja perempuan berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti sejumlah pelatihan kerja. Menurut Herjati, ketentuan ini seharusnya dijalankan korporasi dengan mengangkat dan menempatkan pekerja perempuan pada posisi tertentu sesuai kompetensi yang dilatih.
Herjati mengatakan, saat ini pemerintah telah melakukan sejumlah upaya dalam pemenuhan HAM perempuan yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional HAM 2021-2025. Aturan ini telah menjabarkan sejumlah tantangan, sasaran, aksi, penanggung jawab, hingga kriteria keberhasilan dalam pemenuhan HAM perempuan.
”Kami sudah membentuk gugus tugas nasional bisnis dan HAM dan akan dilaksanakan penyusunan strategi nasional yang di dalamnya fokus kelompok rentan dalam hal ini perempuan. Upaya yang dilakukan seperti peninjauan kembali, mengubah, dan harmonisasi kebijakan terkait pekerja perempuan,” ucapnya.
Tantangan
Meski demikian, Herjati juga mengakui sekarang masih ditemukan tantangan dalam menerapkan prinsip-prinsip panduan bisnis dan HAM dalam konteks mendorong asosiasi binsi dalam pemenuhan hak perempuan. Tantangan itu, yakni kebijakan dan regulasi di Indonesia yang masih belum sepenuhnya menjamin korporasi untuk menghormati HAM.
Selain itu, tantangan lainnya di antaranya kurangnya koordinasi para pihak dalam melaksanakan inisiatif nasional, kurangnya kesadaran pelaku usaha akan dampak HAM terkait kegiatan bisnisnya, dan kurangnya diseminasi serta pelatihan terhadap pelaku usaha.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Sustainability Professional (ISPP Indonesia) Maria Dian Nurani mengatakan, memastikan operasi bisnis yang ramah terhadap perempuan akan menemui tantangan dari aspek kebijakan, proses bisnis, hingga fasilitas. Di sisi lain, perlu juga kesediaan pekerja perempuan untuk menanggung kewajiban tambahan.
Menurut Maria, implementasi bisnis yang ramah terhadap pekerja perempuan akan berimplikasi pada peningkatan kewajiban. Pada akhirnya hal ini juga akan meningkatkan kapasitas sekaligus beban bagi perempuan.
Agar lingkungan pekerjaan lebih ramah terhadap perempuan, kata Maria, asosiasi bisnis terlebih dahulu perlu memberikan panduan terkait aspek apa saja yang perlu diubah dan disiapkan. Asosiasi harus memahami dampak bisnis terhadap perempuan baik itu karyawan, pemasok, ataupun konsumsen.
”Asosiasi bisa memberikan sistem pendukung untuk meningkatkan keberdayaan perempuan anggotanya. Hal ini disesuaikan dengan peran domestik perempuan,” ucapnya.
Direktur Eksekutif Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) Maya Juwita menyatakan, anggota IBCWE telah diminta untuk berkomitmen untuk menutup celah atau perbedaan gaji antara pekerja perempuan dan laki-laki. Anggota juga harus memiliki program yang mendukung perempuan ke posisi pimpinan atau manajemen lainnya.
”Anggota harus berkomitmen meningkatkan partisipasi pekerja perempuan dan berinvestasi pada kondisi kerja yang ramah terhadap perempuan. Terakhir, anggota juga harus transparan dalam melaporkan kondisi kesetaraan jender di tempat mereka,” katanya.