Kekerasan seksual di Indonesia sudah pada tingkat darurat. Karena itu kehadiran Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang melindungi korban kekerasan seksual diharapkan segera terwujud.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah organisasi perlindungan perempuan mengapresiasi langkah Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau RUU TPKS untuk diajukan sebagai inisiatif DPR. Hal itu menjadi harapan di tengah kondisi kekerasan seksual yang makin darurat.
Terkait hal itu, DPR diminta memastikan RUU tersebut tidak menggantung lama dengan segera membahas dan mengesahkan RUU itu menjadi undang-undang. Karena itu, Forum Pengada Layanan (FPL) bagi Perempuan Korban Kekerasan mengajak warga untuk mengawal proses pembahasan agar fraksi-fraksi di DPR bisa mewakili suara rakyat, khususnya korban kekerasan seksual dan pendamping korban.
Oleh karena itu, Forum Pengada Layanan (FPL) bagi perempuan korban kekerasan mengajak masyarakat untuk tetap mengawal proses pembahasan, agar fraksi-fraksi di DPR mampu mewakili suara masyarakat, khususnya korban kekerasan seksual dan pendamping korban.
”Forum Pengada Layanan juga mendesak DPR memperbaiki substansi yang mengakomodasi kerentanan yang dialami perempuan korban kekerasan, seperti perempuan dengan HIV/ AIDS, korban pelacuran paksa, perempuan perdesaan, dan perempuan korban di kepulauan,” ujar Citra, anggota Tim Kampanye RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dari FPL, saat membacakan pernyataan pers FPL, di Jakarta, Kamis (9/12/2021).
Selain kepada DPR, FPL meminta kepada pemerintah agar segera menyiapkan Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang komprehensif dan mendukung pemenuhan hak perempuan korban kekerasan seksual.
”FPL mengajak media, masyarakat, keluarga korban dan pendamping untuk mendesak DPR melanjutkan pembahasan dan pengesahan RUU TPKS yang mengakomodasi kebutuhan korban dan pendamping,” kata Citra.
Dalam pernyataan yang juga dibacakan Nurhasanah dari Swara Parangpuan Sulut, FPL menyatakan draf RUU TPKS pada 8 Desember 2021 ada kemajuan dengan pengaturan kembali pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual dengan menggunakan transmisi elektronik, eksploitasi seksual oleh korporasi, hak korban juga keluarga dan perluasan alat bukti.
Namun, FPL memandang ada sejumlah kemunduran dalam draf RUU TPKS yang disetujui Badan Legislasi DPR. Misalnya, hukum acara yang tidak mencerminkan kekhususan dari kasus kekerasan seksual, menyeragamkan kewajiban lembaga layanan pemerintah dan masyarakat.
Selain itu, RUU yang disetujui DPR memangkas bentuk-bentuk kekerasan seksual yang sebelumnya diajukan FPL dan Komnas Perempuan untuk masuk dalam draf RUU tersebut, termasuk menghilangkan pasal pemerkosaan atau pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan pelacuran, dan aborsi.
”Hukum acara yang kita harapkan sesuai prosedur pemenuhan hak korban masih jadi pekerjaan rumah. Selain itu, yang menjadi tekanan kita, di bagian asas ada keimanan dan takwa, dalam proses penyusunan undang-undang menurut UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, asas ini baru ditemui,” ungkap Koordinator Sekretariat Nasional FPL Veni Siregar.
Inisiatif DPR
Sebagaimana diberitakan, Rapat Pleno Baleg DPR untuk Pengambilan Keputusan Atas Hasil Penyusunan RUU TPK Rabu (8/12/2021) petang, menerima hasil kerja Panitia Kerja Penyusunan RUU TPKS dan setuju untuk disampaikan dalam Rapat Paripurna DPR dan ditetapkan sebagai RUU Usul Inisiatif DPR.
Hukum acara yang kita harapkan sesuai prosedur pemenuhan hak korban masih jadi pekerjaan rumah.
Pada Rapat Pleno tersebut, tujuh fraksi menerima hasil kerja Panitia Kerja (Panja) Penyusunan RUU tentang TPKS dan menyetujui RUU tersebut dibawa dalam Rapat Paripurna DPR pada 15 Desember 2021, untuk kemudian ditetapkan sebagai RUU Usul Inisiatif DPR.
Ketujuh fraksi tersebut meliputi Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP), Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (FGerindra), Fraksi Partai Nasdem (FNasdem), Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB), Fraksi Partai Demokrat (FPD), Fraksi Amanat Nasional (FPAN), dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPP).
Namun, dua fraksi lainnya, yakni Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) menolak, dan Fraksi Partai Golkar (FPG) meminta menunda RUU tersebut dan dilakukan pembahasan lanjutan untuk disempurnakan.
Harapan besar terhadap DPR untuk segera membahas dan mengesahkan RUU TPKS menjadi UU terus disuarakan para aktivis FPL di daerah yang mendampingi para korban kekerasan seksual.
”Kami mendorong untuk RUU TPKS segera disahkan mengingat sangat banyak perempuan yang jadi korban akibat kekosongan aturan hukum. Pengesahan RUU TPKS diharapkan mencegah perilaku sewenang-wenang laki-laki terhadap perempuan,” ujar Yunri Kolimon dari Sanggar Suara Perempuan Soe, Nusa Tenggara Timur.
Dalam lima tahun terakhir kasus kekerasan seksual yang terjadi di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) meningkat. Bahkan kasus kekerasan seksual paling dominan terjadi. Sepanjang tahun 2019-November 2021, dari 369 kasus yang didampingi SSP 98 kasus diantaranya adalah kekerasan seksual, 86 kasus eksploitasi seksual, dan 112 kasus kekerasan seksual pada anak antara lain perkosaan, percabulan dan inses.
”Kasus kekerasan seksual yang dialami anak-anak, sebagian besar pelaku adalah orang terdekat korban antara lain ayah kandung, ayah angkat, kakek, paman, sepupu dan tetangga dan pacar, ” ujar Yunri.
Baca Juga: Kematian Tragis NWR, Alarm Kondisi Darurat Kekerasan Seksual
Situasi kekerasan seksual di daerah juga disampaikan Retno Ekaristi dari Yayasan Embun Pelangi Batam, Melsia (Gasira Maluku), Adel (Organisasi Perubahan Sosial Indonesia), dan Ayu Oktariani Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI).
Ayu menyampaikan kondisi perempuan yang hidup dengan HIV, yang jadi korban dari tidak adanya informasi kesehatan seksual reproduksi sebagai pencegahan HIV sejak dini. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan tahun 2019, jumlah perempuan dengan HIV sebanyak 132.147 kasus, termasuk ibu rumah tangga yang tertular dari pasangan atau suaminya.
”Perempuan dengan HIV kembali menjadi korban. Sebab, status HIV menimbulkan kerentanan pada stigma dan diskriminasi termasuk kekerasan yang dilakukan pasangan, bahkan keluarga dan layanan kesehatan,” ujarnya.