Biarkan Mereka Memilih Cara Terbaik Berkomunikasi
Penyandang disabilitas memiliki ragam disabilitas yang berbeda-beda satu dengan yang lain. Maka, penting untuk memahami latar belakang dan situasi lingkungan disabilitas, agar bisa memenuhi kebutuhannya secara tepat.
Bolehkah memaksa penyandang disabilitas rungu bicara dengan menggunakan mulut atau bibir? Pertanyaan ini belakangan menjadi perbicangan menarik, bahkan mengundang perdebatan di masyarakat, terutama penyandang disabilitas setelah Menteri Sosial Tri Rismaharini berdialog dengan penyandang disabilitas rungu beberapa hari yang lalu.
Cara berdialog dari Mensos seusai membuka pameran dalam rangka Hari Disabilitas Internasional (HDI) 2021, Rabu (1/12/2021), dipersoalkan kalangan penyandang disabilitas. Hal itu berawal ketika Risma meminta Aldi, salah seorang penyandang disabilitas rungu yang menggunakan bahasa isyarat untuk menjelaskan arti sebuah lukisan.
Risma meminta Aldi berkomunikasi dengan cara berbicara menggunakan mulutnya. Diminta sang menteri bicara, sesaat kemudian Aldi terlihat terdiam sambil menatap Mensos.
Namun, Risma terus meminta Aldi untuk berbicara. ”Kamu punya banyak dalam pikiranmu, kamu harus sampaikan ke ibu apa pikiranmu. Sekarang ibu minta kamu bicara, enggak pakai alat,” ujar Risma mendesak.
Meski sempat terdiam, Aldi kemudian berusaha berbicara dan samar-samar terdengar suara keluar dari mulutnya yang kemudian dieja kembali Risma dengan kalimat, ”Aldi mau lestarikan alam,” dan Risma mengatakan Aldi bisa bicara.
Namun, beberapa saat kemudian, seorang pemuda penyandang disabilitas tuli yang bernama Stevan, dari Gerakan Kesejahteraan Tuna Rungu (Gerkatin) yang juga hadir langsung di acara tersebut mendekati Risma. Ia menjelaskan soal Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas atau Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD).
”Bahasa isyarat penting bagi kami, seperti mata bagi kami. Alat bantu dengar belum bisa mendengarkan suara, kalau suara tidak jelas belum bisa didengar juga,” katanya.
Mensos pun langsung menjawab. ”Jadi ibu tidak kurangi bahasa isyarat, tapi kamu tahu Tuhan berikan mulut, telinga, (dan) mata pada kita. Yang ingin Ibu ajarkan pada kalian, terutama anak yang gunakan alat bantu dengar, sebetulnya tidak mesti dia bisu. Jadi, karena itu kenapa ibu paksa kalian bicara. Ibu paksa memang, supaya kita bisa memaksimalkan pemberian Tuhan pada kita, mulut, mata, dan telinga,” katanya.
Risma bahkan menegaskan bahwa dirinya tidak melarang penggunaan bahasa isyarat. Namun, kalau disabilitas rungu bisa berbicara, itu akan lebih baik lagi. Risma berdalih bahwa dia melakukan itu karena dia belajar dari Angkie Yudistia, Staf Khusus Presiden.
Beberapa waktu lalu, ketika Risma baru saja menjadi Wali kota Surabaya, Angkie belum berbicara jelas seperti sekarang. Tapi, karena berlatih terus, maka dia bisa bicara jelas.
Penjelasan Risma langsung ditanggapi Stevan, yang menegaskan bahwa kemampuan anak-anak disabilitas rungu berbeda-beda, seperti Angkie kemampuannya beda dengan yang lain, ada yang bisa pakai bahasa isyarat, ada yang tidak. ”Aku sangat setuju. Tapi saya berharap kita harus mencoba, setuju? Ibu ingin mencoba anak bisa memaksimalkan, tidak ada kata menyerah, tidak boleh berhenti. Kamu boleh tetap gunakan bahasa isyarat,” ujar Risma yang terus memotivasi Stevan dan kawan-kawan berlatih bicara, semampunya karena Tuhan memberikan kelebihan. Itu yang harus dimaksimalkan.
Baca juga : Penuhi Hak Penyandang Disabilitas
Cara Risma tersebut mengundang perdebatan. Pada satu sisi, sikap tersebut dipandang sebagai bagian dari mendorong penyandang disabilitas untuk memaksimalkan kemampuan berbicaranya. Langkah Risma dipandang sebagai hal positif karena bisa memotivasi penyandang disabilitas rungu untuk berlatih terus, tidak mudah menyerah dengan ragam disabilitasnya.
Namun, di sisi lain, kalangan penyandang disabilitas menilai hal tersebut sebagai pemaksaan. Risma sendiri pada hari itu dan beberapa hari sesudahnya langsung mengklarifikasi maksudnya dan memastikan tidak ada niat apa pun terhadap penyandang disabilitas. Selain ingin memastikan alat bantu dengar berfungsi baik, dia ingin penyandang disabilitas rungu tidak menyerah dan mendorong mereka memaksimalkan kemampuan telinganya dan mulutnya.
Karena itulah, ketika menyerahkan bantuan alat bantu, dia memberikan kesempatan kepada penyandang disabilitas rungu untuk mencoba merespons komunikasi untuk memastikan bahwa alat bantu dengar itu berfungsi dengan baik. Bagi Mensos, respons penyandang disabilitas, dalam hal ini penyandang disabilitas rungu, terhadap lingkungan tersebut sangat penting. Sebab, berdasarkan pengalaman di atas, ada saja hal-hal tak terduga.
Dalam perbincangan dengan dengan media, Mensos pun menekankan pentingnya bagi penyandang disabilitas, termasuk rungu, memiliki self defense. Sehingga, dalam kondisi tertentu, mereka bisa mengatasi sendiri apa yang mereka hadapi karena tidak selamanya, lingkungan di mana mereka berada ramah terhadap mereka.
”Dalam kesempatan tersebut, saya meminta mereka mencoba bersuara. Bagi sebagian penyandang disabilitas rungu, bersuara bukan pekerjaan mudah,” ujar Risma.
Ketua Umum Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Gufron Sakaril yang juga hadir menyaksikan hal tersebut mengakui tidak menyangka Mensos akan melakukan hal itu. Kendati memahami, tujuan Mensos untuk mendorong disabilitas rungu berbicara, dia melihat kejadian tersebut merupakan pembelajaran berharga bagi semua pihak.
”Kita mesti lebih bisa memahami kondisi disabilitas seseorang, apa pun jenis disabilitasnya. Kita harus punya pemahaman bagaimana interaksi dengan mereka. Kita harus paham, bagaimana berkomunikasi dengan mereka. Penting bagi masyarakat belajar sensitif dengan disabilitas,” paparnya.
Bagi Gufron, menggunakan bahasa isyarat atau bibir itu adalah pilihan. ”Apa pun alasannya kalau minta bicara bibir tidak bisa dibenarkan. Karena itu pilihan, kalau orang enggak mau gimana?” ujar Gufron.
Hak berkomunikasi
Koalisi Organisasi Penyandang Disabilitas Anti Audism menilai sikap Mensos tersebut bertentangan dengan prinsip dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan CRPD dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
UU Penyandang Disabilitas mengatur hak berekspresi, berkomunikasi, dan memperoleh informasi dari penyandang disabitas, serta kewajiban pemerintah pusat dan daerah agar wajib mengakui, menerima, dan memfasilitasi komunikasi penyandang disabilitas dengan menggunakan cara tertentu termasuk Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo).
Bahkan, saat ini cara pandang terhadap disabilitas pun sudah berubah, dari sebelumnya pendekatan belas kasih (charity-based approach) kini pendekatan HAM (human right approach).
Karena itu, tindakan Mensos terhadap Aldi menuai kritik. Risma dituntut minta maaf karena menyinggung perasaan warga negara penyandang disabilitas rungu di Indonesia. Perbuatannya merupakan sikap diskriminatif yang berbasis pada perspektif audism atau dapat dimaknai sebagai bentuk pemikiran seseorang yang menganggap orang yang dapat mendengar lebih superior dibandingkan penyandang disabilitas rungu.
Perspektif tersebut dianggap berbahaya karena dapat berdampak kepada tindakan-tindakan diskriminasi lainnya dalam bentuk lain. Selain itu, cara pandang itu juga bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia.
”Perspektif tersebut dianggap berbahaya karena dapat berdampak kepada tindakan-tindakan diskriminasi lainnya dalam bentuk lain. Selain itu, cara pandang itu juga bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia,” ujar Fajri Nursyamsi yang mewakili Koalisi Organisasi Penyandang Disabilitas Anti Audism, saat membacakan pernyataan pers, Jumat siang.
Maka, untuk mendukung penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas, penting untuk memahami keunikan atau perbedaan cara seorang penyandang disabilitas berinteraksi dan berkomunikasi. Bagi seorang disabilitas rungu, mendapatkan informasi dengan cara visual, yaitu menggunakan indera penglihatan (mata), harus dihormati dan difasilitasi.
Baca juga : Pesan Kasih Sayang pada Hari Disabilitas Internasional
Karena itulah, pilihan komunikasi seseorang dengan menggunakan bahasa isyarat tidak boleh dilarang dan dipaksa untuk mengganti cara berkomunikasinya. Peran pemerintah dan pemerintah daerah dalam hal ini adalah menyediakan aksesibilitas dan akomodasi yang layak, seperti juru bahasa isyarat (JBI), juru tik, dan alat bantu dengar (ABD), serta melakukan sosialisasi kepada masyarakat umum terkait keragaman cara berkomunikasi agar tercipta lingkungan yang inklusif.
Karena itulah, penyandang disabilitas rungu seperti Udana Maajid Pratista, Surya Sahetapy, dan Iis Arum Wardhani merasa nyaman ketika melihat disabilitas rungu diminta bicara dengan bibir. Mereka berharap ke depan, disalibilitas rungu diberi kebebasan memilih cara berkomunikasi.
Intinya, setiap pilihan itu kembali kepada yang bersangkutan. Apakah mau memilih berkomunikasi dengan bahasa isyarat atau bahasa bibir, semuanya kembali kenyamanan mereka masing-masing.
Semoga Peringatan HDI 2021, yang diperingati pada 3 Desember 2021 menjadi momentum untuk semakin mewujudkan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Semua pihak diajak untuk semakin menyadari, memahami, peduli, juga peka terhadap situasi dan kondisi yang dihadapi para penyandang disabilitas.
Maka, pada Puncak HDI 2021, Jumat (3/1/2021), Presiden Joko Widodo mengajak semua peduli dengan penyandang disabilitas dan mendorong agar penyandang disabilitas meningkatkan kapasitas. Mereka juga harus diajak menggunakan teknologi adaptif melalui penggunaan alat-alat bantu serta harus diajak dalam perakitan kursi roda, motor roda tiga, dan tongkat adaptif.
Penyandang disabilitas juga harus diberikan ruang aksesibilitas untuk mengembangkan potensinya sebagai modal untuk menolong diri sendiri dan juga kontribusi bagi lingkungan. Karena itu, selain meningkatkan kemampuan diri, akses penyandang disabilitas untuk memperoleh kesempatan kerja dan wirausaha harus terus difasilitasi, demikian juga penguatan kapasitas yang lain juga harus terus didukung.
Namun, yang terpenting menurut Presiden Jokowi adalah komitmen dan layanan terhadap disabilitas karena itu merupakan ukuran terhadap kemajuan bangsa. Selamat HDI 2021.