Guru Perlu Manfaatkan Informasi Berkualitas untuk Pembelajaran
Para pendidik perlu memahami bahwa penggunaan teknologi digital bagai pisau bermata dua, ada positif dan negatif. Akibat berita palsu dan berita bohong, banyak masalah muncul dan kemudian mengakibatkan perpecahan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Akses informasi di era digital semakin terbuka sehingga kemampuan untuk memilih dan memilah informasi berkualitas semakin penting. Para guru dapat memanfaatkan informasi berkualitas dan tepercaya ini ke dalam ruang kelas untuk mendiskusikan dengan siswa guna membiasakan pembelajaran yang membangun kemampuan berpikir kritis.
Dukungan bagi guru-guru Indonesia untuk semakin memiliki literasi digital, terutama dalam pemilihan informasi yang dapat digunakan sebagai tambahan pembelajaran di sekolah, diberikan Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) dan harian Kompas lewat webinar literasi digital yang digelar secara daring, Rabu (1/12/2021). Webinar yang digelar PB PGRI dan harian Kompas ini dalam rangka HUT Ke-76 PGRI dan Hari Guru Nasional 2021. Dalam kesempatan ini, 1.000 guru mendapatkan akun gratis berlangganan kompas.id selama 12 bulan.
Ketua Umum PB PGRI Unifah Rosyidi mengatakan, keterbukaan informasi amat luas. Namun, guru tidak cukup hanya mendapatkannya dari media sosial. ”Banyak akses informasi terbuka, tetapi belum tentu sistematis dan dapat digunakan untuk pembelajaran,” kata Unifah.
Oleh karena itu, kata Unifah, PGRI menyambut baik tawaran untuk belajar tentang literasi digital bersama harian Kompas. Sebab, PGRI yakin Kompas memegang nilai-nilai pendidikan karena pendirinya, PK Ojong dan Jakob Oetama, adalah pendidik. ”Informasi di Kompas disajikan dengan pendekatan seorang pendidik. Meskipun Kompas sudah besar, tapi selalu ingat sama guru. Di satu sisi kita melihat Covid-19 membuka peluang belajar mandiri dan belajar luas, tetapi banyak berita bohong. Bekal literasi digital penting bagi guru karena kita tampil menjadi sumber inspirasi bagi anak-anak. Hal ini tidak cukup didapat dari mengobrol, tetapi harus membaca dari sumber informasi berkualitas,” kata Unifah yang juga Guru Besar Pendidikan di Universitas Negeri Jakarta ini.
Menurut Unifah, pendidikan pasca pandemi kini perlu dikembangkan dengan model flipped classroom. Untuk materi bahan ajar dari konsep dan teori sudah bisa diajarkan secara digital. Kesempatan guru bertemu dengan siswa di ruang kelas kini dioptimalkan untuk melatih berpikir kritis, komunikatif, dan kolaboratif. Hal ini membutuhkan bahan rujukan sebagai referensi untuk pendorong diskusi di kelas, salah satunya dengan memanfaatkan berbagai informasi dari sejumlah perspektif yang disajikan Kompas.
Pemimpin Redaksi Harian Kompas Sutta Dharmasaputra mengatakan, misi Kompas sama dengan misi guru. Pemberian nama Kompas dari Presiden Soekarno bertujuan supaya Kompas menjadi pemberi arah dan jalan.
Seperti guru, berperan penting dalam memberi arah dan jalan bagi murid untuk mengarungi kehidupan. Dulunya, PK Ojong juga guru SD. Demikian juga Jakob Oetama seorang guru.
”Seperti guru, berperan penting dalam memberi arah dan jalan bagi murid untuk mengarungi kehidupan. Dulunya, PK Ojong juga guru SD. Demikian juga Jakob Oetama seorang guru,” kata Sutta.
Sutta memaparkan, dalam penggunaan internet, masyarakat Indonesia berada di depan jika dibandingkan dengan negara-negara yang memiliki produk domestik bruto (PDB) tinggi, seperti Singapura dan Amerika Serikat. Hal ini terlihat dari jumlah akun media sosial di Indonesia yang tertinggi nomor ketiga di dunia.
Namun, perhatian Indonesia terhadap berita palsu dan misinformasi masih rendah. ”Kalau penggunaan internet kita di depan, tetapi perhatian kita pada misinformasi dan berita palsu jauh terbelakang,” kata Sutta.
Para pendidik perlu memahami bahwa penggunaan teknologi digital bagai pisau bermata dua, ada positif dan negatif. Akibat berita palsu dan berita bohong, banyak masalah muncul dan kemudian mengakibatkan perpecahan.
Ada juga gangguan mental pada anak-anak didik. Salah satu hal yang penting dilakukan adalah menekankan rasa percaya diri sendiri pada siswa agar tidak terlalu merisaukan tanggapan-tanggapan di media sosial. ”Media sosial memungkinkan semua orang membuat konten, memublikasikan, dan menyebarkan. Ada obesitas informasi karena banyak informasi yang dikonsumsi. Jadi perlu memilih informasi yang sehat supaya tetap berpikiran sehat,” ujar Sutta.
Informasi itu seperti labirin. Kalau guru mendapat informasi benar, maka hal tersebut akan mempercepat mereka untuk mencapai tujuan. Dengan demikian, murid juga akan cerdas dan baik. Sebaliknya, ketika informasi yang disampaikan keliru, maka tanpa sadar guru membuat anak-anak didik berputar-putar dalam labirin.
”Solusinya adalah dengan mengonsumi informasi berkualitas. Perlu kemampuan untuk menyeleksi informasi dengan melihat penulisnya apakah ada kompetensi atau tidak. Lalu, organisasi redaksi/penulis, narasumber yang dipilih, serta pembaca, karena bisa ikut menyebarkan, mengomentari, dan membagikan informasi yang didapat,” jelas Sutta.
Sutta mengingatkan para guru tentang kerja algoritma yang memaksa kita menerima informasi sejenis yang bisa ”mencuci otak” masyarakat. Karena itu, di negara maju kini publik cenderung berlangganan informasi yang berkualitas agar tidak terpapar konten yang tidak membangun.
Ketua Departemen Komunikasi dan Informasi PB PGRI Wijaya Winarja mengatakan, platform media sosial paling banyak digunakan dari yang tertinggi Youtube, lalu Whatsapp, Instagram, Facebook, dan Twitter. Kelima platform ini juga menjadi tempat memviralkan informasi bohong atau misinformasi.
Isu hoaks paling banyak tentang suku agama, ras dan, antargolongan (SARA). Lalu tentang makanan dan minuman, sosial politik, kesehatan, dan penipuan keuangan.
Menurut Wijaya, PGRI mengembangkan komunitas belajar para guru bernama Lingkar Belajar Guru yang akan semakin meluas di tahun 2022. Salah satu gerakan yang mereka lakukan adalah kampanye dan advokasi untuk memerangi hoaks.
”Sebagai pendidik, kita jangan mudah ikut-ikutan mudah memviralkan informasi yang belum jelas, apalagi hoaks,” kata Wijaya.
Penggunaan gawai oleh siswa tidak lagi bisa dilarang karena kini digunakan dalam pembelajaran. Namun, guru dapat membantu siswa untuk menggunakan gawai secara benar.
Guru bisa membuat kesepakatan dengan siswa tentang penggunaan gawai di sekolah. Jaringan internet di sekolah bisa diproteksi dari akses konten yang tidak sesuai dengan komitmen internet sehat. Bisa juga akun anak dikoneksikan dengan akun orangtua jika ada informasi yang tidak sesuai dengan usia anak.
”Guru bisa terus mengirim konten positif dan menyuruh siswa mengunduh aplikasi positif sehingga memori anak dipenuhi konten positif. Nanti, anak didik akan terbiasa memutuskan hal yang baik untuk dirinya,” kata Wijaya.