Guru Tangkas di Pelosok Tasikmalaya Menerobos Batas
Kreativitas guru di pelosok Tasikmalaya, Jawa Barat, tidak ingin berpangku tangan pada keadaan. Mereka membuat pemancar televisi agar siswa tetap belajar saat pandemi Covid-19.
Oleh
tatang mulyana sinaga
·4 menit baca
Ketangkasan guru-guru di daerah terpencil semakin teruji saat pandemi Covid-19 melanda lebih dari 1,5 tahun terakhir. Kreativitas tidak mati demi siswa didik bisa mandiri.
Tiang bambu setinggi sekitar 12 meter itu menjulang di SD Negeri Cirangkong 1, Kecamatan Tanjungjaya, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Di ujungnya dipasang antena pemancar rakitan dengan jangkauan frekuensi siaran 1-2 kilometer. Ada kabel menuju kantor tata usaha sekolah.
Berukuran 2 meter x 3 meter, ruang itu dimodifikasi menjadi studio siaran guru-guru untuk menyampaikan materi pelajaran. Sementara para siswa menyimaknya melalui televisi di rumah. Sederhana, tetapi semuanya vital bagi warga yang tinggal berjarak 145 kilometer dari Kota Bandung itu.
Perangkat yang sangat berguna mendukung pembelajaran jarak jauh (PJJ) itu lahir dari ide dan tangan kreatif Wahyu Kamal (38), guru kelas V di sekolah itu. ”Ide ini muncul karena kendala menerapkan pembelajaran daring. Sebab, dari sekitar 200 siswa, hanya 20 persen yang orangtuanya mempunyai telepon pintar,” ujarnya, Minggu (22/11/2021).
Awal pandemi pada Maret 2020, guru-guru SD Negeri Cirangkong 1 dipusingkan dengan kebijakan pembelajaran daring. Selain mayoritas siswa tak mempunyai telepon pintar, kemampuan orangtua siswa membeli pulsa secara reguler juga terbatas.
Berselang tiga bulan, pembelajaran di sekolah itu berjalan tidak optimal. Kesimpulan ini diperoleh dari evaluasi pihak sekolah terhadap pelaksanaan PJJ.
Capaian penyampaian materi pelajaran hanya 30 persen. Tingkat partisipasi belajar siswa 35 persen. Sementara realisasi hasil belajar cuma 25 persen dari target.
Kondisi itu mendorong Wahyu bersama kepala sekolah dan guru lainnya mencari solusi atas masalah PJJ. Pembelajaran menggunakan gawai tidak mungkin diteruskan karena hasilnya kurang maksimal.
Pertengahan 2020, ide menyampaikan pembelajaran melalui saluran radio mengemuka. Ia memasang pemancar radio yang telah dirancang sebelumnya. Perangkat itu dibuat bermodal ilmu dan keterampilannya saat bersekolah di SMK Negeri 2 Tasikmalaya jurusan Elektronika periode 1999-2002.
”Ternyata tidak banyak warga yang memakai radio. Hanya sedikit yang bisa mengikuti pelajaran. Skema ini hanya berjalan satu bulan,” katanya.
Bukannya putus asa, bapak dua anak itu justru semakin terlecut mencari sistem belajar yang lebih baik. Ide pembelajaran lewat layar kaca muncul setelah melihat hampir di setiap rumah siswa memiliki televisi.
Gagasan itu disetujui guru-guru dan orangtua siswa melalui komite. Solusi kendala pembelajaran harus segera dihadirkan agar siswa tidak semakin ketinggalan pelajaran.
Perangkat pemancar radio dibongkar. Dengan menggunakan beberapa komponen seperti modulator, converter, booster penguat sinyal, dan pencatu daya, Wahyu membuat pemancar jaringan televisi. Anggarannya sekitar Rp 3 juta bersumber dari dana bantuan operasional sekolah.
Sistem pembelajaran ini diuji coba selama sebulan. Hal itu dilakukan untuk memantau kualitas sinyal di rumah-rumah siswa. Hasilnya, sinyal dalam radius 1-2 kilometer dari pemancar dari sekolah masih cukup kuat menangkap siaran.
”Cara kerjanya sederhana. Guru menyampaikan materi pelajaran di depan kamera laptop di ruangan siaran. Apa yang ada di layar laptop itu dapat dilihat siswa melalui televisi,” jelasnya.
Untuk mendukung kualitas suara, jaringan televisi lokal dengan kanal 64 UHF itu menggunakan mixer audio yang dibeli secara daring. Sementara satu set mikrofon dan penyuara kuping atau earphone berasal dari sumbangan donatur.
Perangkat itu tidak hanya memudahkan guru, tetapi juga siswa karena dapat mengikuti secara visual dan audio.
”Perangkat itu tidak hanya memudahkan guru, tetapi juga siswa karena dapat mengikuti secara visual dan audio,” ujar lulusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Universitas Pendidikan Indonesia 2008 tersebut.
Akan tetapi, pembelajaran melalui jaringan bernama SDN 1 Cirangkong TV itu masih mempunyai beberapa kelemahan. Salah satunya adalah guru dan siswa tidak dapat berinteraksi langsung karena komunikasi satu arah.
Untuk mengatasi hal itu, siswa mengikuti pembelajaran melalui televisi secara berkelompok. Satu kelompok terdiri atas 5-7 orang. Siswa yang mempunyai gawai dipencar agar setiap kelompok kebagian alat.
”Interaksi disampaikan melalui gawai. Misalnya, ada pelajaran yang belum dimengerti, siswa dapat memberitahukannya supaya guru mengulang kembali agar siswa paham,” jelasnya.
Dengan komponen yang sederhana, pembelajaran menggunakan jaringan televisi lokal cukup mudah diterapkan di sekolah lainnya. Namun, belum adanya regulasi tentang penggunaan frekuensi UHF untuk kepentingan pendidikan menjadi kendala utama.
”Oleh karena itu, pemerintah perlu mengeluarkan regulasi tersebut karena kepentingan mendukung sistem pendidikan yang mendesak seperti saat ini,” ujarnya.
Ketua Komite SD Negeri Cirangkong 1 Nur Kamal (44) mengapresiasi terobosan jaringan televisi untuk pembelajaran di sekolah itu. Sebab, jika dipaksakan menggunakan telepon pintar, orangtua siswa juga terbebani untuk membeli kuota internet sekitar Rp 100.000 per bulan.
”Belajar melalui TV juga memudahkan pengawasan. Jika menggunakan HP (handphone), orangtua belum tentu tahu apakah anak betul-betul belajar atau main gim,” ujarnya.
Menurut Nur Kamal, kreativitas guru di daerah terpencil sangat dibutuhkan dalam mengatasi kendala minimnya fasilitas dan buruknya jaringan internet untuk menerapkan PJJ. Oleh karena itu, pihaknya mendukung inovasi dari sekolah agar anak tidak ketinggalan pelajaran selama pandemi.
Ketika kebijakan diterapkan seragam di tengah pandemi, tenaga pendidik dari pelosok daerah berinovasi mendatangkan solusi. Kreativitas mereka memang masih mempunyai celah. Namun, setidaknya cukup memberi kenyamanan anak bangsa di pelosok tetap menuntut ilmu.
Editor:
Cornelius Helmy Herlambang, Aloysius Budi Kurniawan