Paradigma tentang pendidikan vokasi harus berubah. Yang diutamakan bukan sekadar terampil bekerja, tetapi juga punya keterampilan non-teknis dan karakter baik.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendidikan vokasi mesti memastikan kepuasan dunia usaha dan industri dalam memperoleh lulusan pendidikan vokasi yang tak sekadar terampil bekerja, tetapi juga memiliki keterampilan non-teknis atau soft skill dan karakter bekerja yang baik. Oleh karena itu, pendidikan vokasi harus mampu mempersembahkan tenaga kerja yang kreatif dan inovatif, bukan sekadar menjadi seorang tukang.
Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi, kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Wikan Sakarinto mengatakan, paradigma memandang pendidikan vokasi harus berubah. Yang diutamakan di sana bukan untuk mengasah keterampilan teknis (hard skill) semata-mata.
”Saat ini yang menjadi permasalahan SMK lebih pada penciptaan soft skill dan karakter. Keterserapan lulusan vokasi seperti sekolah menengah kejuruan (SMK) semakin membaik. Dari data Badan Pusat Statistik periode Agustus 2020 dibandingkan dengan Agustus 2021, tingkat pengangguran terbuka luusan SMK dari 13 persen turun jadi 11 persen. Namun, masih jadi tantangan dari kepuasan pengguna atau industri, link and match-nya masih dikeluhkan,” ujar Wikan di webinar Road to DUDI Awards 2021 bertajuk Peran Strategis Industri dalam Pembangunan Sumber Daya Manusia Vokasi, Selasa (23/11/2021).
Wikan mengakui, di atas kertas banyak SMK dan perguruan tinggi vokasi yang mengatakan sudah menjalankan praktik 60 persen dan teori 40 persen. Jika ditelisik lebih dalam, praktik kerja yang dilakukan masih lebih banyak simulasi sehingga pelatihan dilakukan tidak dengan standar dunia usaha dan dunia industri (DUDI). Pembentukan keterampilan halus dan karakter belum masuk secara kuat dalam proses pembelajaran.
Namun, siswa bukan sekadar jadi tukang yang mengerjakan, tapi ada perencanaan, komunikasi, presentasi, kreativitas, ada kolaborasi. Jadi terbangun hard skill, soft skill, dan karakter.
”Kami mendorong dengan pembelajaran vokasi dengan project based learning yang memang sesuai industri sejak dari kelas 1. Kalau mengerjakan praktik, mestinya mengerjakan yang pesanan industri. Jadi sejak awal sudah sesuai. Siswa bukan sekadar jadi tukang yang mengerjakan, tapi ada perencanaan, komunikasi, presentasi, kreativitas, ada kolaborasi. Jadi terbangun hard skill, soft skill, dan karakter,” kata Wikan.
Akedemisi dan mantan Wakil Direktur Kerja Sama Usaha Politeknik Manufaktur (Polman) Bandung Otto Purnawarman mengatakan, tantangan pendidikan vokasi dengan kurikulum yang tidak fleksibel dan tuntutan link and match bisa menghambat kemajuan pendidikan vokasi. Keterampilan halus dan etos kerja selalu menjadi bagian dari perkuliahan di Polman Bandung. Pengajaran ini ditanamkan oleh dosen-dosen asing yang pernah mengajar di sana.
Supaya mesin berumur panjang, siswa harus membersihkan sudut-sudut mesin dengan seksama, seperti yang dilakukan di industri. Kalau ada siswa yang tidak disiplin, bukan dihukum push up atau sejenisnya, tetapi dikonversi dengan waktu kerja yang ditambah.
”Ketika pendidikan vokasi berkualitas dari sisi hard skill, soft skill, dan etos kerja, kami yakin lulusan vokasi akan jadi tenaga kerja yang andal dan berdaya saing,” kata Otto.
Direktur Perencanaan dan Pelayanan Pusat Studi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Soeprayitno mengatakan, investasi pada pendidikan vokasi penting yang memang hasilnya tidak dipetik dalam waktu singkat. Namun, dengan penyiapan lulusan vokasi yang terampil, serta memiliki keterampilan halus dan karakter, DUDI juga diuntungkan.
”Di perusahaan-perusahaan ada corporate university untuk mendidik sumber daya manusia. Sebenarnya jika pendidikan vokasi bisa menjadi lulusan yang berkualitas, ya, perusahaan tidak perlu berinvestasi untuk corporate university,” kata Soeprayitno.
Soeprayitno mendukung link and match yang harus kuat antara DUDI dan pendidikan voaksi yang diwujudkan dengan nota kesepahaman tentang kurikulum, sarana dan prasarana, serta teknologi terapan. Namun, perlu dipahami link and match yang penting itu dalam penyesuaian bisnis karena sebagian proses bisnis bisa dipindahkan ke pendidikan vokasi karena lebih murah. Sayangnya, tidak semua lembaga pendidikan vokasi memiliki fasilitas yang baik.
Lalu, penyesuaian talenta atau penyiapan SDM. Pekerjaan lenyap dan muncul sehingga butuh talenta yang sesuai. Ada juga penyesuaian sosial dengan program CSR (corporate social responsibility) perusahaan memberikan bantuan bagi peningkatan kualitas pendidikan vokasi.
Sebagai pebisnis, ujar Soeprayitno, memiliki SDM tenaga kerja yang andal tentunya sangat diharapkan untuk meningkatkan kinerja bisnis. Di dunia kerja, yang dibutuhkan itu keterampilan halus dan karakter. ”Namun, sering kali pendidikan vokasi sibuk dengan lulusan yang mengejar kompetensi dengan ijazah dan sertifikasi. Padahal, perusahaan mencari orang yang qualified,” katanya.
Wikan mengatakan, kemitraan DUDI dan pendidikan vokasi semakin dikuatkan. Acara DUDI Awards yang memasuki tahun kedua ini untuk memberikan penghargaan agar link and match menjadi kebiasaan yang baik bagi Indonesia dan saling bisa memahami karena saling menguntungkan.
Pendidikan dipercepat
Penguatan pendidikan vokasi juga terus dilakukan Kemendikbudristek. Di tingkat SMK, Merdeka Belajar diwujudkan dengan SMK Pusat Keunggulan. Ada pelatihan kepala sekolah untuk mampu menjadi CEO (chief executive officer). Para guru pun ditingkatkan kemampuannya agar selaras dengan perkembangan DUDI saat ini.
Pada tahun 2020, Kemendikbudristek melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi telah meluncurkan Program Diploma Dua (D-2) Jalur Cepat. Program ini akan mulai dibuka pada tahun ajaran 2022/2023. Siswa lulusan SMK yang telah lulus seleksi program D-2 jalur cepat akan mulai menjalani pendidikan D-2 di pendidikan tinggi vokasi, baik negeri maupun swasta.
Dalam program D-2 Jalur Cepat ini, mahasiswa dapat menempuh pendidikan di pendidikan tinggi vokasi dalam waktu tiga semester atau 1,5 tahun dengan total beban kredit minimum sebesar 72 SKS. Calon mahasiswa dapat menyetarakan sertifikasi kompetensi/ keahlian yang dimiliki sejak duduk di bangku SMK sebagai kredit perkuliahan melalui mekanisme Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL).
Selanjutnya, perkuliahan dilanjutkan di pendidikan tinggi vokasi yang ditempuh selama satu semester dan program magang di dunia kerja atau industri selama dua semester. ”Kita melakukan RPL terhadap hasil belajar dan pengalaman lulusan SMK selama tiga tahun yang dapat diakui antara 12-20 SKS yang setara dengan proses pembelajaran satu semester. Jadi, capaian hasil belajar dan pegalaman SMK selama tiga tahun kita akui setara dengan 12-20 SKS sehingga cukup tiga semester di politeknik,” kata Wikan.