Jakarta Biennale 2021 diadakan setelah tertunda selama empat tahun. Ajang seni rupa dua tahunan itu menampilkan karya puluhan seniman yang merespons isu publik, seperti HAM dan kesetaraan jender.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ajang seni rupa dua tahunan, Jakarta Biennale 2021, digelar setelah tertunda karena pandemi Covid-19, yaitu pada 21 November 2021 hingga 21 Januari 2022. Karya seni para seniman merefleksikan sejumlah isu, seperti pandemi, perubahan iklim, jender, dan hak asasi manusia.
Tema Jakarta Biennale 2021 adalah ”Esok”. Direktur Program Jakarta Biennale 2021 Farah Wardani mengatakan, tema ini diambil karena masyarakat memasuki dekade baru pada 2020. Hal ini tidak hanya membawa generasi baru, tetapi juga isu baru serta isu lama yang belum selesai. Esok merupakan respons terhadap perubahan zaman.
”Esok tidak dimaknai secara utopis, futuristik, atau seperti science fiction. Esok dilihat dari berbagai aspek, baik kemanusiaan, sosial, maupun lingkungan yang masih menjadi persoalan yang mesti kita hadapi,” kata Farah saat dihubungi, Senin (22/11/2021).
Para seniman lalu diminta menafsirkan tema ini sesuai perspektif masing-masing. Ada 38 seniman dari beragam daerah di Indonesia yang terlibat. Ada belasan seniman yang berasal dari luar negeri, antara lain dari Inggris, China, Korea Selatan, Singapura, Australia, Mesir, Jepang, Austria, Thailand, dan Skotlandia.
Karya mereka dikurasi oleh tiga kurator, yaitu Grace Samboh (Indonesia), Sally Texania (Indonesia), dan Qinyi Lim (Singapura). Farah mengatakan, karya seni yang dikurasi adalah yang memiliki pesan. Karya tersebut diharapkan menumbuhkan diskusi publik tentang isu tertentu.
”Perspektif seni zaman sekarang beragam sekali. Praktik seni pun berkembang dengan adanya teknologi. Segala medium diberdayakan untuk menyampaikan ekspresi artistik dan intelektual (para seniman),” ucap Farah.
Menurut Direktur Artistik Jakarta Biennale 2021 Dolorosa Sinaga, Esok merupakan peluang seniman untuk menginspirasi publik. Seni dinilai bukan hanya media ekspresi artistik, melainkan juga untuk menginisiasi perubahan sosial.
”Esok adalah tantangan bagi seniman dan kita semua untuk menemukan alasan mengisi alam semesta dengan kekuatan seni,” kata Dolorosa.
Lebih jauh, seni dinilai punya peran penting dalam peradaban. Isu-isu yang direspons oleh seni merupakan refleksi terhadap kondisi masyarakat di suatu zaman.
Farah mengatakan, seni dapat menjadi media untuk mendiskusikan kritik, politik, hingga hal-hal yang dinilai tabu bagi publik. Seni juga menjadi media menyampaikan hal yang sulit diungkapkan. Menurut dia, mengekspresikan diri lewat seni bisa jadi lebih efektif daripada berdebat di media sosial.
”Peran Jakarta Biennale adalah untuk mendukung dan mengakomodasi ekspresi seni yang bisa memberdayakan dan ’memperbaiki’ (masyarakat), tentu dengan cara yang tidak menggurui,” ujarnya.
Grace Samboh mengatakan, seni dapat mengaktifkan isu-isu publik di masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Melalui Jakarta Biennale 2021, semua orang diberi kesempatan untuk terlibat dan memahami isu tersebut.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pekan lalu berharap agar ajang seni ini dapat menjadi inspirasi bagi generasi baru. Ia juga berharap acara ini mendorong perkembangan dunia kreatif di Jakarta, khususnya setelah pandemi.
”Pemprov DKI Jakarta berkomitmen mendukung Jakarta Biennale ke depan. Kami harap ini dijalankan secara rutin dan kolaborasi berjalan terus,” kata Anies.
Jakarta Biennale 2021 dapat diakses publik secara luring di tiga tempat di Jakarta. Ketiganya ialah Museum Nasional, Museum Kebangkitan Nasional (STOVIA), serta sejumlah ruang publik, seperti Taman Menteng dan Jalan Cikini Raya. Pihak penyelenggara juga berencana menampilkan karya seni di Pos Bloc Jakarta.